“Apa yang kamu lihat dari kayu pohon kamboja ini?” tanya pamanku seorang pematung, yang biasa kupanggil Pak Yan Darlun.
Aku ingat bertahun-tahun yang lalu, ketika almarhum papa selalu membawaku berlibur ke Bali untuk pulang kampung, saat ada perayaan di pura keluarga (odalan ring sanggah). Dua atau tiga hari setelah acara keluarga itu, almarhum papa akan membawaku ke rumah kakaknya yang biasa kupanggil Iwe Mang—panggilan bude dalam bahasa Bali—di Mas, Ubud.
Pada pukul sembilan pagi (waktu Bali) di bale tengah, tempat di mana beliau biasa mematung, aku melihatnya duduk bersila. Tak bergeming. Hanya memandangi sebuah bongkahan kayu besar dengan serat-serat kasar.
Aku berjalan pelan. Mengendap. Ingin mengejutkan Pak Yan. Sayangnya pematung pria berusia 50 tahun itu sangat peka bahkan dengan langkah kakiku. “Pak Yan, tak tertipu,” katanya sambil membalikkan badannya, tersenyum dan menatapku. Aku meringis. Merasa ketahuan.
“Mai, mai (sini duduk),” katanya mengundang. Kami hanya duduk bersama dan sampai pertanyaannya itu yang akhirnya membawaku pada jalan yang mungkin akan kulalui meski tak mulus.
Baca juga: Tawur Kesanga 2023: Boneka Buto dan Dentingan Lonceng di Kota Malang
Aku ingat saat Pak Yan, bertanya padaku tentang sebongkah kayu kamboja kering yang ia tidurkan di lantai, aku hanya menjawab, “kayunya aneh. Seperti orang tidur.”
Pak Yan kemudian tersenyum. Ia membelai kepalaku. “Meski kayu ini aneh. Kalau ada tangan yang bisa mengolah, hasilnya pasti akan cantik,” jawabnya. Suara serak Pak Yan benar-benar teringat sampai detik aku menuliskan ini.
“Masak?!” seruku tak percaya. Yang hanya dijawab oleh anggukan kepala oleh pamanku.
“Walau bukan sekarang atau bukan dari orang lain, tapi hasil terbaik justru bisa datang dari hatimu,” katanya lagi.
Aku masih SMP saat itu. Dan setiap kami mau pulang ke Jawa, pamanku selalu berbicara dengan papa. Entah apa yang mereka bicarakan. Barulah ketika aku SMA papa memberitahuku, kalau pamanku meminta papa dan mama untuk tidak memaksa pilihan apa yang ingin kupelajari. Karena menurut Pak Yan, kepekaan yang kumiliki jika terasah bisa membuat banyak orang terbantu. Seaneh apapun kepekaan yang kumiliki.
Baca juga: Indonesia Travel dalam Batik Nusantara: Aceh Hingga Kalimantan
Ketika akhirnya aku memilih bidang sastra (karena aku merasa lebih nyaman dengan buku, yang katanya hanya benda mati dan tak bisa bicara), justru dari seni-sastra lah yang membuatku merasa diterima. Buku bahkan memahamiku tanpa sedikitpun berusaha menghakimi. Ia membiarkanku belajar pelan tanpa harus menggertak atau memaksa untuk cepat. Dari huruf dan kata pula, aku bisa belajar menjadi manusia setengah utuh di dunia yang menuntut banyak validitas serta keinginan serba cepat.
Dan saat kumenuliskan ini, aku baru memahami konteks Pak Yan, bahwa yang ‘berbeda’ dalam diriku dan bahkan orang lain, sebenarnya masih punya tempat jika diberi ruang. Bukan untuk terkenal, tapi untuk meninggalkan jejak.
Pamanku mungkin bukan orang tersohor yang selalu hidup di tengah sorotan kamera. Hidupnya biasa saja. Meski rumahnya cukup besar tapi beliau tidak pernah merasa berlebih. Aku dan paman cukup dekat (bahkan lebih dari sekedar dekat hanya untuk berkata ‘halo apa kabar?’ kalau berjumpa).
Tapi setiap aku melihat karyanya, ada perasaan yang tertinggal. Salah satu karya Pak Yan yang pertama kali kulihat dari sebuah kayu berwarna hitam. Kayu itu berhasil dipahatnya tanpa mengubah struktur dan lekukan kayu, menjadi wanita menyusui anaknya sembari berbaring menyamping. Sayangnya patung itu luput dari dokumentasi.
Dan satu lagi tentang wanita yang dipeluk seekor garuda. Sebuah simbol yang hangat tentang pesona wanita yang berhasil tergambarkan jelas dari seorang pria. Bukan tanpa alasan Pak Yan memberikan representasi ini, karena dibalik wajah tegasnya, beliau sangat mencintai istrinya. Sangat dalam.
Baca juga: Gerbang Tradisi dan Simbol Antar Lelaku
Mungkin karena terlalu sering memperhatikan hal yang terlewat (seperti mengamati rasa cinta pamanku pada Iwe Mang) membuat orang kadang menganggap caraku memandang sesuatu terasa janggal. Misalkan saja seperti seorang tetangga yang lewat di depan rumah dan memandangku dengan mata dan dahi berkerut, saat aku sedang berjongkok memperhatikan satu bunga liar yang tumbuh di sela-sela selokan kering. Padahal saat itu yang terlintas dalam kepala, “tanaman itu pasti punya nama. Tapi siapa namanya?”
Kadang dengan iseng, aku memotret sekenanya. Membayangkan bagaimana jika dia bisa bicara dan apa yang ingin dia ceritakan kalau kami duduk di serambi.
Sampai salah satu kakak sepupu bernama Bli Tut, anak ke-empat dari Pak Yan, bilang, “pantas bapak selalu bilang. Dinda cocok jadi crafter, seniman. Sukanya ngomong sama rumput di tukad (sungai).”
Kata-kata paman dan kakak sepupuku itu yang membawaku pada keinginan menjadi seorang storigraf-crafter, yang maksudnya adalah seseorang yang berusaha menghidupkan seni yang kata orang abstrak, menjadi suara yang bisa terasa dan terpahami. Entah itu berupa tanaman, serangga kecil, foto, lukisan atau bahkan patung. Sesederhana Pak Yan yang selalu bilang, yang aneh pun pada akhirnya bisa cantik jika ada yang mau mendengar dan mengolahnya.
Rasanya aku ingat ide di kepalaku sesekali tak berhasil keluar dengan mulus. Buntu. Kadang benar-benar kosong. Sesekali juga distraksi aktifitas membuatku jalan setengah-setengah. Sepuluh menit aku menulis, menit berikutnya menyalakan kompor dan detik ke tiga puluh tujuh menyalakan mesin cuci. Saat kembali ke meja dan laptop, isi kepala kosong. Lupa segalanya.
Baca juga: Tradisi Belis di Antara Kehormatan Wanita dan Kesulitan Pria
Aku menghela nafas. Lalu aku kembali menatap keluar jendela. Menatap dari jendela ke sebuah rumah kosong tak berpenghuni di depan rumahku. Dari sana aku juga melihat tukang sayur yang berjongkok di depan rumah kosong itu sambil merokok. Kemudian, aku beranjak dan pergi keluar rumah. Sekedar cari angin.
Jalanan di samping rumah di tanami tanaman liar dan juga tanaman indah berbagai bentuk. Dari asoka tak berbunga sampai pohon cempaka yang rimbun. Di luar pagar justru kutemukan kehidupan kecil yang diam-diam menyapa. Ulat berwarna hijau dan serangga mirip tomcat. Kupotret mereka. Hasil jepretanku kuamati lagi. Flasshhh! Kilatan adegan pembicaraan hadir di kepala. Seolah mereka yang kecil ini, ingin sama eksisnya seperti manusia di jaman sekarang.
Aku bukan fotografer. Bukan juga penyair. Hanya berusaha mengintikan kehidupan kecil yang jadi bagian dari dunia yang cukup besar. “Bentuklah makna. Cobalah jadi sensemaker ketika kamu bekerja bahkan saat melihat hal sederhana,” begitu kata Pak Yan. Dan sampai detik ini, membentuk makna dari hal sederhana tidak sesederhana kita melihat hal yang sudah terbentuk. Entah yang dibentuk oleh alam atau bahkan persepsi manusia yang sangat beragam.
Nama storigraf-crafter mungkin tidak sementereng blogger yang sangat luas dan terkenal. Tak juga seperti konten kreator yang mudah naik panggung dengan flash light-nya. Tapi, nama storigraf-crafter masih berusaha untuk menghidupkan makna bagi mereka yang kecil dan mengajak siapapun untuk sesekali berjalan melambat di dunia yang serba cepat dan melelahkan.
Kadang ada bunga yang jatuh di jalan belum tentu ia mati atau layu. Bisa jadi ia lelah dengan ketinggian dan kuatnya angin, lalu berusaha jatuh untuk merasakan rasanya bumi.
Baca juga: Berkenalan dengan Budaya Lapita. Budaya di Kepulauan Oceania.
Kadang serangga kecil yang tak terkenal, justru punya peran besar dalam ekosistem alam. Bisa jadi ia bukan hama, hanya hewan yang sekedar berteduh untuk hidupnya yang singkat.
Kadang lukisan atau patung abstrak bukan tak bisa dimengerti, hanya saja kita belum menemukan suara dari bentuknya. Bisa jadi ia diam menunggu, sampai ada orang yang berusaha menterjemahkan bahasa bentuknya.
Kalau terbiasa duduk dan mengamati hal besar, kadang kita lupa bahwa yang sederhana pun bisa begitu nikmat. Sama nikmatnya seperti lauk tahu, tempe dan sambal terasi. Dan storigraf-crafter berusaha menangkap cerita dari kesederhanaan itu dan bisa hidup di berbagai media luas seperti blog atau media cetak.
In memoriam for paman I Wayan Darlun (1948-2020) dan papa, I Wayan Suardika (1948-2023).
Thank you for teaching me how to see beauty in amidst simplicity and to listen with my heart.
Terima kasih sudah membaca sampai habis cerita remeh-temeh ini. Semoga kita selalu bisa mengingat hal kecil yang mampir dalam kehidupan besar kita.
Happy Monday! Jya, mata ne~~
View Comments
Aku jadi membayangkan detail kecil yang sering kita lupakan. Storigraf ini seperti puisi visual, ya, Kak. Keren banget konsepnya
Hooh deh. Seringnya, kita tuh emang mengabaikan detail kecil. Padahal, detail terkecil itu terkadang sesuatu yang penting atau malah mengundang kebahagiaan. Keren dah storigraf Crafter tuh
Turut berduka cita ya kak. Terkadang hidup ini begitu keras dan tidak bisa ditebak. Kapan urusan di dunia ini akan selesai dan kapan belum akhir...
Aku baru dengar istilah storigraf-crafter. Kalau aku tak salah tangkap definisinya, rasanya memang kita butuh seseorang yang bisa menggambarkan karya senin (semoga benar ya). Unik sekali perspektifnya, Mbak. Saya suka sih pemikiran mungkin bunga lelah ya jadi jatuh ke tanah. Kadang ada angle yang kita ngga tau atau ngga mainstream.
aku baru tau ada istilah storigraf. Kalau istilah crafter sepertinya memang sudah umum disebut dalam keseharian. Apalagi kalau digabung menjadi storigraf crafter, juga masih awam buatku.
Membaca post ini, jadi membuka wawasan baru buatku
Hehehe.. nemunya istilah ini juga karena perasaan mbak. Karena belum ketemu juga sih istilah yang pas buat apa yang kulakukan. Bukan fotografer profesional, tapi suka foto tipis-tipis. Suka nulis, tapi kadang nulisnya random. Suka dunia tumbuhan, tapi bukan ahli botany. 😅
Akhirnya nemuin istilah yang menggambarkan gaya penulisan mbak Dinda, ternyata disebutnya storigraf crafter yaa. Aku jujur selalu amaze dengan gaya penulisanmu itu lho mbak, macem 'kok bisa yaa, sebagus ini penggambarannya'. Dirimu selalu berhasil menemukan hal-hal mikroskopis yang acapkali terabaikan dalam kehidupan, lalu menyajikannya kembali dengan penuh makna dan renungan mendalam.
Membaca tulisanmu itu membuat daku jadi berpikir lebih dalam, mensyukuri dan mencoba lebih sering lagi dalam menangkap detil2 kehidupan yang sering terabaikan. Bahkan sekedar rumput liar di halaman rumah saja bisa jadi tulisan yang menarik.
Oya, doa terbaik untuk Almarhum Paman dan Papamu ya mbak.
Terima kasih Mas Fajar.
Semoga doa terbaik juga kembali ke Mas Fajar dan keluarga ya.
Storigraf itu sebutan yang tercetus gitu aja sih, karena nggak tahu bahasa yang pas untuk yang kulakukan. Cuma aku merasa itu menarik, jadi kuambil saja. Hehehe.. :D
Dinda selalu ajaiiibb
menghadirkan PoV yg out of the box
ternyata memang sedari kecil udah dikenalkan dan diakrabkan dgn hal² yg berbau art.
tak heran tulisan² kamu tuh "bernyawa"
Jujur ini pertama kalinya saya dengar storygraf crafter. Yg ada di bayangan saya itu pemahat beneran. Ternyata profesi semacam ini ada namanya ya
Cantiknya hasil karya Pak Yan....detail banget mbaa ini..bener2 butuh ketekunan..dan ternyata jiwa seni memang sudah tumbuh dari keluarga ya mbaa..
Gak heran kalo tulisannya juga mempunyai ciri khas tersendiri...tidak biasa namun enak buat dibaca ...
Dan aku baru tahu loo ada istilah storigraf-crafter disini, makanya beberapa tulisan nya juga menggambarkan apa yang ada dalam pikiran benda2 tersebut seandainya mereka bisa bicara...
Aku sukaa mbaa dengan gaya penulisannya,,berbeda dan berciri khas:)
Terima kasih mbak Eryka. Semoga kata-kata mbak ini jadi semangat buatku jadi lebih baik lagi.. :)
waw, butuh keahlian khusus ya buat karya seni kaya gitu. dan harus detail oriented banget. nggak kebayang bikinnya berapa lama dan gimana proses kreatifnya. kereeen
Aku belum kenal sama storigraf crafter. Masih asing di telingaku. Mungkin lebih ke pengamat kehidupan kecil gitu ya, Kak.
Apapun itu. Lakukan dengan bahagia ya, Kak. Biar terasa lebih menyenangkan.
Paman yang baik dan memperlakukan kakak seperti anaknya sendiri. Paling suka baca pas bagian beliau berpesan kalau kakak tidak boleh dipaksakan. Jadi tidak ada rasa stress karena terpaksa kuliah di bidang yang tidak disukai.
Patungnya artistik sekali.