Gerbang

Pawang Hujan, Prediksi BMKG dan Pendengar Kisah untuk Langit

Pagi itu semua tampak sibuk. Dag! Dig! Plak! Bruk Bruk! Suara riuh terdengar dari depan kamar yang pintunya terbuka lebar. Aku menatap mereka yang berseliweran dari luar kamar dengan pandangan nanar.

Sampai seorang perias wajahku menyadarkan lamunan pada mereka yang sibuk itu. “Mbak, matanya dipejamkan dulu. Buat pasang bulu mata,” kata wanita yang kukenal dengan nama Mbak Ari. Seorang MUA yang melukis wajahku dengan penuh kehati-hatian di momen sakral saat itu.

“Mar, tolong minta Lia panggilkan Pak Darto! ” seru ibuku dari arah luar kamar. Suara ibu itu menabuh genderang di telingaku saat nama Pak Darto disebutkan.

Ketika Mbak Ari sudah selesai memasangkan bulu mata buatan itu. Aku mengerjapkan mata. Dari jendela kamar yang langsung menghadap ke kolam teratai halaman rumah yang kulitat hanya kelabu. Entah mengapa justru di hari bahagia itu lalu lintas pikiranku mendadak riuh dengan pertanyaan, yang baru terjawab sembilan tahun kemudian.

Langit Dengan Segala Kerumitan Untuk Dipahami

Terop sudah terpasang rapat, tapi tampaknya hujan menolak untuk reda. Angin sesekali menggoyangkan terop pelan seolah mereka adalah bagian dari pesta kebahagiaanku. Sementara aku? Tentu saja harus meringkuk di dalam kamar, menunggu si hujan untuk berhenti bermain.

Baca juga: Berkenalan dengan Budaya Lapita. Budaya di Kepulauan Oceania.

Aku menyipitkan mata. Kulihat Pak Darto, si pawang hujan. Pria tua dengan janggut perak dan baju tenun berwarna merah itu membawa mangkuk kuningan. Mulutnya komat-kamit seperti membaca mantra. Asap dari beberapa tangkai dupa tampak sangat pekat. Mirip kabut di hari hujan. Aku mendesah lagi

“Apa yang kaupikirkan?” tanya Balaram, suamiku. Ia kemudian berdiri di belakangku menyentuh pundakku yang kaku. “Pawang hujan,” jawabku.

“Memang kenapa dengan pawang hujan? Mereka kan membantu kita agar hujan cepat reda. Tenang saja, sebentar lagi hujan akan reda,” katanya lagi.

“Bukan itu yang kupikirkan,” sahutku lagi.

“Lalu?”

Baca juga: Masyarakat Adat dan Para Pengabdi Modernitas

“Aku kira modern atau kuno sekalipun, kita tetap punya misi yang sama,” kataku. Aku membalikkan badan. Menatap mata pria itu. “Berusaha menterjemahkan bahasa langit dan alamnya,” kataku lagi. Sembari menahan senyum. Suamiku hanya bisa berkerut dahi dan menggaruk leher meski tak gatal. Reaki berulangnya ketika berusaha menterjemahkan pikiranku yang cukup ruwet.

Dalam riuhnya hujan dan adegan Pak Darto, aku merasa langit bukan hanya langit. Ia adalah bahasa penuh teka-teki dan simbol, yang berusaha untuk ditemukan.

Tutur Langit, Laku Manusia

Sembilan tahun kemudian (setelah hari pernikahan dengan hujan yang menolak permintaan Pak Darto untuk berhenti) kehadiran hujan tetap menjadi misteri untukku dan Balaram. Di tempat yang berbeda, aku melihat hujan yang sama dengan langit yang berbeda.

“Kok nggak sesuai sama prediksi BMKG sih!” keluh Balaram. Kesal. Hari itu rencana kami untuk piknik di taman kota batal. Aku mendengar keluhannya hanya bisa tersenyum.

“Namanya juga prediksi. Kan nggak bisa seratus persen,” jawabku santai.

Baca juga: Upacara Kedewasaan Di Bali dan Di Jepang yang Berbeda Tujuan

“Mirip aja gitu sama Pak Darto dulu. Kita bayar mahal-mahal hujan baru reda dua jam kemudian.” Balaram mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Dan, aku paling suka dengan ekspresinya yang kesal itu. Menggemaskan.

“Itulah kenapa dulu aku bilang, kuno atau modern sekalipun punya kesamaan dalam memandang hal. Sama-sama ingin menerjemahkan simbol langit dan pertanda alam.”

“Bah! Tapi tetap ajalah yang namanya pawang hujan itu nggak logis, mana bisa dia menerjemahkan bahasa alam, langit atau apapun itu hanya dengan bau kemenyan.”

“Itu menurutmu yang hidup di dunia serba logis,” jawabku lagi. Aku menatap langit cerah dan kontras dengan hujan yang turun siang itu. “Tidak bagi mereka yang berusaha mencari makna bahasa alam, lewat panggilan ritual seperti Pak Darto. Setidaknya aku tahu itu dari Claude Lévi-Strauss.” Aku lantas menggamit lengan Balaram dan menyadarkan kepalaku pada bahunya.

“Kau percaya itu?”

Baca juga: Indonesia Travel dalam Batik Nusantara: Aceh Hingga Kalimantan

“Aku percaya keduanya,” jawabku mantap, “karena pada dasarnya pawang hujan atau pun perhitungan prediksi BMKG bekerja dalam struktur dan tujuan yang sama. Pawang hujan mencari jawaban dari hal yang tidak pasti lewat struktur-struktur ritual. Sementara, satu lagi mencari jawaban lewat grafik dan perhitungan logis. Dan bukankah kita semua gila akan kepastian?” tanyaku lagi tanpa menatap wajah Balaram, yang sudah pasti kesal. Tapi sekali lagi, aku sangat menikmatinya.

Langit rupanya punya bahasa lain. Yang kadang bertolak belakang dengan hujan. “Seperti oposisi biner dalam teori Lévi-Strauss,” pikirku saat itu.

Manusia yang Berusaha Mendengar Cerita Langit

Percakapan dan berdebatan sepanjang siang itu menempel hingga malam ini. Aku dan Balaram memang dua kutub yang bertolak-belakang, mirip oposisi biner dari teori strukturalisme Lévi-Strauss. Ada pagi-malam, dingin-panas, laki-perempuan.

Meski kami berseberangan, tapi aku dan dia hidup dalam satu atap di mana saling menerjemahkan berbagai hal dari ketidakpastian kehidupan yang kami jalani. Tidakkah terlalu femiliar dengan perdebatan dunia nyata terhadap kehadiran pawang hujan dan BMKG? Berseberangan.

“Kata Lévi-Strauss, manusia hanya bisa mendengar cerita langit dengan bricolage,” bisikku pada diri sendiri. Pawang hujan merangkai simbol dan ritual; BMKG merangkai angka dan satelit. Dua bentuk wajah yang berbeda, tapi keduanya sedang membaca tanda dari tempat yang sama yaitu langit.

Baca juga: Gender dari Biologis ke Sosiologis

Tapi yang membuatku terusik adalah, bagaimana saat orang tergesa-gesa menertawakan salah satunya, seolah cara mendengar yang benar hanyalah lewat bahasa yang mereka kenal: meteorologi. Padahal keduanya bukanlah lawan dan bisa saling menghidupi.

“Cukupkan saja kita tidak percaya, namun jangan pula kita mencela satu sisi hanya karena satu budaya mendominasi yang lain.” Sekali lagi aku mendesah cukup keras.

Sebelum kumenarik selimut, “kadang langit hanya ingin berekspresi dan berharap manusia mendengarnya. Kadang pula ia bertingkah nakal dengan mengabaikan permintaan doa, ritual atau bahkan angka,” gumamku lagi. Sampai suara jangkrik dari kebun belakang bersorak-sorai seperti sedang mendengarkan orasi lirihku di tengah malam.

Pernah dong ketemu sama fenomena pawang hujan ataukah kalian punya pengalaman dengan pawang hujan ini? Bisa dong berbagi di kolom komentar. Kalian juga bisa kok berbagi pendapat di sini, mau kalian pro atau kontra sama fenomena ini. Eits, tetep ya untuk gunakan bahwa yang sopan saat berpendapat, biar jejak digital kalian tetap bersih. Yuk, yuk kita berdiskusi secara sehat.

Have a nice day! Jya, matta ne~

Source:
https://theconversation.com/kritik-aksi-rara-si-pawang-hujan-bukti-lunturnya-pengakuan-hak-adat-dan-budaya-tradisional-di-indonesia-181260

https://www.thoughtco.com/claude-levi-strauss-life-theories-4174954

Alcoryansyah, N. M., & Syaifuddin, S. (2023). Bingkai pemberitaan kontroversi pawang hujan pada ajang MotoGP Mandalika di media online. IKRAITH-HUMANIORA: Jurnal Sosial dan Humaniora, 7(1), 182–189.