Gerbang

Kosmologi Warna Di Selembar Kain Tenun Bima

Brussshh! Brassshh!

Suara debur ombak dari lautan yang memecah karang di bawah pasir di Bukit Merese, lombok terasa riuh. Seolah mereka sedang berdemo pada karang dengan menabrakkan dirinya pada batuan besar itu. Mungkin berlomba untuk berbicara lebih dulu.

“Aku ambil jaketmu dulu di motor, angin cukup kencang,” kata Kadek, suamiku. Ia tahu aku begitu keras kepala untuk terus duduk di ayunan kayu itu, sampai isi kepalaku benar-benar tenang. Aku hanya mengangguk.

Wusshhhh!

Sekali lagi angin keras membelai kulit, rambut dan telingaku. Membisikkan sesuatu yang membuat aku terpantik ingin tahu. “Setiap warna punya ceritanya,” katanya padaku, “aku akan menceritakan rahasianya dari sebuah lembaran kain di sebuah tempat yang letaknya empat ratus kilometer lebih dari tempatmu berada saat ini.”

Baca juga: Gender dari Biologis ke Sosiologis

Aku tersenyum tipis. Ingin tahu cerita angin yang bertutur lewat desiran pasir di bawah kakiku.

Putri La Hila dan Kosmologi Warna Kota Bima

Semiotika Charles S. Peirce dan Tenun Bima. Info by senjahari.com

“Kurang lebih 453 kilometer dari tempatmu berdiri, sebuah tempat bernama kota Bima di Sumbawa pernah ada seorang putri kerajaan cantik bernama La Hila,” si angin mulai bercerita padaku. Aku masih diam, mendengarkan sapuannya di telingaku. Ia pun melanjutkan kembali, “putri cantik itu bersembunyi di sebuah lubang dalam tanah untuk menghindari pernikahan dengan para pangeran, karena saat itu tidak ada satu pangeran pun yang menyentuh hatinya tapi terus ribut memperebutkannya.” Angin perlahan tenang dan aku masih terdiam sebelum angin kembali berhebus dari arah tenggara.

“Putri itu merasa khawatir akan bahaya yang mengancam karena keributan para pria itu. Ia meminta paman dan bibinya untuk membuatkan lubang di tanah. Hingga suatu hari, saat sang bibi mengantar makanan, ia tak menemukan La Hila di tempat persembunyiannya. Namun di sekitar lubang itu, tumbuh rebung yang jika dipotong akan mengeluarkan warna merah. Apa kau tahu artinya itu?” tanya si angin.

Aku memikirkan segala kemungkinan yang dimaksud sang angin, “mungkin putri La Hila kabur dan warna merah dari rebung bisa jadi … tanda untuk si bibi,” jawabku ragu. Sekali lagi angin bertiup. Mungkin sejenak terkekeh dengan jawabanku.

Warna merah yang keluar dari rebung itu, adalah suara kosmologi tidak cuma untuk rasa dendam atau marah. Namun juga bisa berarti pengorbanan dan keberanian mempertahankan martabat demi hidup yang sesuai dengan prinsip,” jawab si angin. Aku mengangguk sekali lagi sambil memperbaiki rambut tipis yang menutupi lubang hidungku. Sungguh menggelikan.

Baca juga: Berkenalan dengan Budaya Lapita. Budaya di Kepulauan Oceania.

“Di kota Bima punya kosmologi warna yang muncul dalam berbagai benda budaya termasuk selembar kain tenun,” sahut angin sambil membelai ubun-ubunku.

“Kau seperti Charles Sanders Peirce yang mengajariku tentang semiotika,” gumamku lagi. Dan untuk pertama kalinya, aku mendengar kisah penenun dan kosmologi warnanya dari si angin. Takjub bahwa ini lebih dari sekedar permainan visual semata.

Yuyun Ahdiyanti dan Sembilan Kosmologi Warna

credit from reels: https://www.instagram.com/kaentenunbima/

“Kalau kau tahu, kain tenun di Bima punya sembilan warna dasar,” hembus sang angin dari arah selatan bersamaan dengan riuh ombak di bawah karang Bukit Merese. “Sembilan warna dasar itu adalah merah, kuning, biru, hijau, ungu, hitam, putih, merah muda dan coklat. Kesembilan warna itu mencerminkan dunia kosmosnya sendiri seperti yang Charles Sanders Peirce jelaskan dalam point dasar semiotika,” jelasnya lagi.

“Aku kira tenun itu tidak ada hubungannya dengan warna tapi lebih ke ornamen,” sahutku

“Ornamen dan warna saling terkait. Mereka tidak hanya memanjakan visual mata tapi juga bercerita tentang para leluhur, nilai hidup, kontur geografi, dan kehidupan sosial masyarakat Bima,” desis angin. “Aku mengenal seorang anak penenun bernama Yuyun Ahdiyanti yang membentuk UKM Dina di Ntobo. Wanita itu yang bercerita padaku.”

Baca juga: Gerbang Tradisi dan Simbol Antar Lelaku

Aku terdiam. Dalam mata imajiku, sembilan warna itu seakan melayang di udara, seperti mimpi lama yang tiba-tiba menjadi jelas. Sangat jelas. Merah berdenyut seperti darah yang mengalir dari La Hila di legenda tua, kuning berkilau seperti rona matahari yang menyusup di celah bukit.

Lalu ada biru layaknya lautan kota Bima yang terus menari. Hijau adalah petak sawah di kota Bima yang terus memberi makan, ungu menjadi jiwa spiritual masyarakat Bima, hitam menegaskan ketangguhan masyarakat dan dataran kota yang menghidupi wilayah itu.

Sementara putih, adalah kesucian benang yang pertama kali ditenun dan doa para penenun. Merah muda menjadi tanda rasa cinta pada akar budaya leluhur yang tak ingin tercerabut, dan coklat menegaskan pengabdian yang tulus dari wanita dalam menjalankan tradisi leluhur.

“Aku masih belum mengerti,” kataku lirih, “bagaimana sembilan warna ini bisa menjadi bahasa kosmo dan mengapa berkaitan dengan wanita bernama Yuyun Ahdiyanti?”

Aku kira angin hanya ingin bercerita tentang mitos, ternyata ini lebih dari sekedar cerita lama.

Baca juga: Masyarakat Adat dan Para Pengabdi Modernitas

UKM Dina dan Semangat Dua Ratus Penenuh, Lima Belas Penjahit

“Yuyun Ahdiyanti adalah salah satu penerima Satu Indonesia Award dari Astra 2024 yang menggandeng dua ratus penenun kain dan lima belas penjahit untuk melanjutkan warisan tenun Kota Bima,” kata angin mulai bercerita.

Angin perlahan membisikkan kisahnya dan membuat rambut tipis di lubang telingaku meremang. Dingin bercampur geli.

Angin berkata bahwa Yuyun Ahdiyanti adalah sosok anak penenun yang merasa jika tenun Bima tidak hanya selembar kain, tapi ada kearifan leluhur kota Bima yang harus ia jaga. Kearifan leluhur itu tidak semata-mata tentang nilai ekonomis tapi semangat mengabdi dan melindungi kosmos kecil kota tersebut. Dalam setiap untaian benang-benang tenun yang terjalin dengan alat tradisional para penenun ada makna motif dan warna yang menjadi doa para penenun.

“Saya itu miris sekali dengan para penenun di kampung saya,” kata angin yang membawa suara Yuyun di telingaku, “kampung saya itu termasuk kampung penenun, tapi jarang diperhitungkan. Padahal kampung tenun di Ntobo sendiri punya ratusan penenun yang terampil, bahkan para penenun itu sudah menenun sejak usia mereka masih remaja.”

Berbekal ilmu tenun yang ia punya, ia mengambil inisiatif untuk membantu para penenun agar karya mereka bisa dikenal lebih baik. Sang angin kemudian mengutip salah satu berita di GoodNews. “Penenun di sini kurang mendapatkan akses bantuan modal dan pemasaran, sehingga karya para penenun kurang diperhitungkan. Akhirnya, saya mengambil langkah kecil dengan mengunggah hasil tenun keluarga saya ke media sosial,” kata angin. Aku lantas ikut membayangkan suara alat tenun di telingaku. Tak Tek Tak Tek!

Baca juga: Upacara Kedewasaan Di Bali dan Di Jepang yang Berbeda Tujuan

“Langkah kecil yang ia lakukan ternyata membawa dampak. Setidaknya ada dua ratus penenun dan lima belas penjahit terbakar semangatnya untuk terus berkarya. Lalu tahun 2015, Yuyun Ahdiyanti membuka UKM Dina, yang aktif memasarkan produk tenun khas Bima. Mulai dari kain motif sampai baju yang terjahit apik oleh penjahit di bawah naungan UKM Dina,” kata angin lagi. Kami terdiam sejenak. Aku masih bisa mendengar ombak memecah karang di bawah kakiku. Terdengar tantrum.

“Aku tidak ingin membicarakan legenda yang kosong. Tapi, ketahuilah ada harapan kosmos yang hadir saat kau mengupas kulit terluarnya,” sahut angin sambil menyapu tengkukku yang mulai meremang. Dingin.

Harapan Kosmos Dalam Untaian Benang

“Keistimewaan dari upaya Yuyun tidak hanya datang dari pundi-pundi omzet penjualan yang menyentuh angka 100-300 juta per bulannya. Namun, keistimewaan itu justru lahir dari benang-benang dan suara kayu mesin tenun tradisional yang beradu. Benang-benang tak hanya saling silang, tetapi juga menyimpan harapan UKM Dina yang tak ingin sekadar berkarya, melainkan juga menjaga bumi tempat pijakan mereka,” kata angin lebih lembut. Semilir.

Cerita angin itu pun, lantas membuatku membayangkan wajah mbak Yuyun Ahdiyanti yang teduh, dengan tatap mata yang selalu penuh rencana, saat melihat setiap helaian benang yang saling silang membentuk kain tenun berwarna biru.

“Ia tak mau kisah kain hanya berhenti pada motif yang indah, lalu berakhir menjadi limbah yang merusak tanah dan air. Yuyun bersama para akademisi, mencoba menelusuri jalan baru di mana warna pada kain tidak lagi bersumber dari zat kimia yang menyisakan racun, melainkan dari pewarna alam yang ramah lingkungan,” cerita si angin padaku.

Sekali lagi imajinasiku semakin liar, ketika angin menceritakan kala Mbak Yuyun memberikan diskusi dan workshop. Di sebuah ruang diskusi yang digelar, Yuyun mendengar istilah yang menggoda: nanopartikel. Kata itu seperti butiran halus yang bisa menempel pada serat kain, membuat warna lebih awet, lebih kuat, tanpa perlu meracuni tanah dan perairan tempat kehidupan warga Ntobo berpusat. Ia merajut mimpi itu pelan-pelan, dengan membayangkan setiap penenun di UKM Dina bukan hanya bekerja, tapi juga ikut menjaga tanah dan air untuk generasi berikutnya.

Harapan itu tumbuh secara pelan tapi teratur. Mirip angin yang menyusup ke dalam benang tenun: konsisten dan menyatu dengan udara. Dan, harapan tersebut bukan hanya milik Yuyun, melainkan juga milik 200 lebih penenun, 15 penjahit, dan bahkan masyarakat luas yang kelak memakai kain mereka. Di sanalah semesta menemukan makna, cara kerja dan harapannya melalui cerita kosmologi warna, motif dan nilai luhur leluhur.

Bukit Merese dan Angin yang Perlahan Hening

Ketika angin mulai tenang, cerita itu pun berakhir di telingaku. Namun sekali lagi bayangan sosok Mbak Yuyun Ahdiyanti terus ada sampai Kadek datang membawa sebuah jaket ke atas Bukit Merese. Aku beranjak dari ayunan kayu, mendekatinya dan menggamit lengan suamiku.

“Ayo pulang,” kataku dengan senyum lebar.

“Kukira kau masih lama di sini,” katanya kesal. Aku tahu perjalanannya juga tak mudah untuk mengambil sebuah jaket di pelataran parkir bukit itu.

“Perbincanganku dengan angin sudah usai,” kataku lagi. Kali ini sambil menyeret tubuh suamiku lewat gamitan lengan yang enggan lepas. Kemudian, dengan langkah gontai, Kadek mengikuti langkah kakiku yang berat ketika menapaki pasir-pasir Bukit Merese kembali ke pelataran parkir. Aku tahu bahwa suamiku masih bertanya-tanya siapa saja teman imajiner yang selalu membuatku keras kepala dan membuatnya kesal itu.

Gimana nih gengs, tentang kisah inspirasi dari Mbak Yuyun Ahdiyanti ini? Ada nggak sih tokoh yang menginspirasi kalian untuk terus berkarya? Bisa dong, berbagi ceritanya di kolom komentar. Ingat yuk, untuk bisa meninggalkan jejak komentar yang bijak. Ya, semata-mata agar jejak digital kalian tetap bersih.

Have a nice day! Jya, mata ne~

Source:
Sartini, N. W. (2003). Tinjauan Teoritik tentang Semiotik. Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Airlangga.

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2025/09/08/yuyun-ahdiyanti-promosikan-kampung-ntobo-dari-tak-punya-nama-sampai-untung-ratusan-juta

Ifan, M., & Andalas, E. F. (2023). Pengaruh legenda La Hila Putri Ma Mbora dalam tradisi-tradisi masyarakat Donggo Nusa Tenggara Barat. Atavisme, 26(1), 54–64.

Hidayat, I. (2023). Bentuk dan makna motif tenun dalam kebudayaan masyarakat Bima Nusa Tenggara Barat. Paratiwi: Jurnal Seni Rupa dan Desain, 2(3), 325–330

View Comments

  • Sangat respek sama orang yang selalu berpikir jauh untuk manfaat banyak orang apalagi untuk bangsanya
    Kalau kain tenun Bima lestari tetapi tak merusak lingkungan agar tetap asri, idenya sungguh sangat brilian
    Negara harus terus mendukungnya bahkan orang terdekatnya pun harus jadi garda terdepan untuk melakukannya
    Semangat Bu Yuyun...

  • Waaah baru tahu kalo ada 9 warna dasar yang menjadi basic tenunan kain bima ❤️❤️. Pernah lihat tenunan dari Bima, ya Allah cantiiiiik bangetttt mba. Memang colorful yaaa. Dan berseni motifnya.

    Aku suka melihat aneka kain khas negara kita, tapi untuk membeli jarang. Pertama kebanyakan mahal, tapi alasan terpenting, Krn aku hanya sekedar suka, cuma kain2 itu ga akan terpakai. Jadi aku ga mau mubazir. Cuma kalopun beli, biasanya aku beli untuk teman atau saudara yg aku tahu memang akan pakai.

    Hebat mba Yuyun ini, bisa mengumpulkan banyak penenun dalam 1 wadah. Dengan begini hasil karya mereka akan lebih dikenal memang.

    Naaah kalau ada produk nya yg sudah dlm bentuk baju jadi, aku lebih prefer gini. Krn bisa dipakai.

  • Aku sampai baca ulang pada bagian ada 9 warna dasar untuk kain tenun Bima ini. Pantas saja ya perpaduannya bisa begitu indah dan menghasilkan motif yang juga unik.
    Gaya penyajian di sini bikin aku mau baca sampai habis dan ingin tau lebih jauh tentang Yuyun Ahdiyanti yang sudah memberi kebermanfaatan bagi banyak sekali pihak, ada 200 penenun dan 15 penjahit yang digandeng tidaklah sedikit. Semoga program dan UKM Dina nya selalu sukses dan makin berkembang sehingga bisa memberikan manfaat lebih banyak lagi.

  • Aku suka banget sama tulisan nya ini jadi berasa kayak baca novel looo dan aku betah berlama2 dan mengulang membacanya lagi 😁
    Salut dengan Mba Yuyun yang dengan kerja kerasnya berusaha mengangkat keberadaan penenun dan penjahit kain tenun Bima agar semakin banyak yang mengenalnya sebagai salah satu jenis kain tenun tradisional yang sarat dengan penuh makna...
    Aku sendiri sepertinya juga blm pernah melihat hasil kain tenun Bima ini secara langsung jd penasaran karena warna2 yg digunakan cukup berani dan variatif beda dengan kain jawa yg dominan warna netral putih hitam dan coklat 😊

  • Aku selalu respect dengan para penenun ini. Mereka adalah pahlawan bangsa, menjaga tradisi dan budaya agar tidak hilang ditelan zaman dan waktu. Apalagi kala melihat kenyataan bahwa ada begitu banyak makna terpendam dalam setiap aspek detil seperti warna pembentuknya, membuat kita bisa lebih memahami kisah masa lalu serta berbagai cerita leluhur untuk diteruskan pada anak cucu kita kelak nanti.

  • Aku tuh selalu salut dengan para jiwa-jiwa pejuang dengan berkarya, terlebih perduli dengan budaya. Termasuk mba Yuyun, lagi thanks to ASTRA sudah menjadi bagian terbaik dalam membuat banyak orang bisa berkarya dengan baik.

    Terlebih soal kearifan leluhur, rasanya dengan gempuran teknologi, soal leluhur terlihat semakin memudar dan disinilah butuh lebih banyak insan untuk memperjuangkan tetap hidup. Karena itu salah satu warisan dan harta yang sebenarnya membawa kisah dan karya terbaik.

    Lalu aku membayangkan angin di bukit Merese, aaah Lombok, aku rindu.

  • Kain tradisional itu indah ya. Termasuk tenun. Aku suka sekali lihat motif kain-kain tradisional yang selalu punya makna dan cerita di baliknya.

    Soal 9 warna warna dasar di kain tenun Bima aku juga baru tahu. Keren dan salut buat Mbak Yuyun Ahdiyanti

  • Semoga bisa menginspirasi banyak orang dari apa yang dilakukan oleh Kak Yuyun, dalam hal pelestarian budaya kain tenun Bima ini.
    Apalagi hal unik yang perlu diketahui tentang warna dasarnya yang ternyata ada 9 ya, di mana salah satunya adalah warna kesukaan daku yaitu warna biru.

  • Kalau semua anak mudanya seperti Yuyun, yang inisiatif memposting kan tenunnya ke media sosial mungkin omzet bakalan melesat ya
    Peran digital marketing saat jaman sekarang emang penting banget ya
    Khusunya memajukan usaha di daerah seperti kan tenunnya dari Nusa Tenggara ini