Home / Jendela

Jika Malin Kundang Tak Durhaka, Akankan Citranya Berubah?

Senjahari.com - 23/09/2025

Logika dan Perasaan dalam Cerita Malin Kundang

Penulis : Dinda Pranata

Hari ke-12,774

Pagi ini cukup janggal. Terasa datar. Tak biasanya aku bangun di tepi pagi dengan perasaan seperti kapas. Saat libang siput di telingaku mendengar cicit burung pagi, aku sadar namaku masih sama Malin Ngundang.

Sadar namaku tak indah dan kuat akan citra durhaka. Aku selalu kesal dengan namaku. Bukan tanpa alasan. Aku selalu menjadi bulan-bulanan kawan di sekolah. Bahkan tak jarang mereka mengataiku “Malin si anak durhaka”. Padahal boro-boro durhaka, ibu saja aku tak punya. Ironis.

Di balik rasa kesalku itu, ternyata ada sesuatu yang tak kuketahui dari nama pemberian ibuku, yang wajahnya hanya kukenal lewat sebuah foto tua. Sebuah cerita yang membuatku berpikir benarkah kita harus memilih salah satu dari logika atau perasaan? Sama seperti Malin Kundang memilih istrinya atau ibunya.

Jika si Malin Tak Durhaka, Apakah Malin Bebas Kutukan?

Hari ke-12,590

Baca juga: Beli Mobil Tapi Garasi Nihil

enam bulan lagi usiaku sudah tiga puluh lima tahun, tapi baru hari ini aku merasa mempertanyakan mengapa manusia harus memilih antara logika dan perasaan. Bahkan, untuk mengambil keputusan sederhana seperti memilih baju apa yang cocok untuk pergi ke kantor. Tepat siang tadi, aku mengikuti salah satu kuliah umum yang diberikan oleh satu profesor bidang humaniora.

Lucunya, ketika aku memperkenalkan diri, untuk pertama kalinya profesor itu mengatakan bahwa namaku bagus. Aku ulangi ya … BAGUS!

Mendengar jawaban itu lantas aku bertanya, “mengapa bapak mengatakan nama saya bagus? Bukankah dalam legenda, Malin Kundang adalah antagonis yang dicela orang?” dan saat itu aku bahkan benar-benar melupakan pertanyaan yang ingin kuajukan.

Profesor itu pun tertawa. Suaranya dalam khas pria berusia enam puluh lima. “Sepertinya Anda tidak suka nama Anda ya,” katanya, “Anda tidak tahu ya, bahwa nama Malin itu berarti adalah orang yang taat agama. Tapi begini ….,” kata profesor itu terjeda. Pria itu berdeham sembari berfikir. “Jika saja Malin Kundang tidak durhaka, apakah nama Malin Kundang jadi lebih baik?”

Aku terdiam. Tak tahu apa yang harus kujawab. Mendadak isi kepalaku kelu. Sekali lagi profesor itu tersenyum lebar. “Tidakkah pertanyaan ini mirip dengan trolley problem? Seolah kita disuruh memilih satu dari dua skenario menyelamatkan banyak orang dengan mengorbankan satu nyawa atau menyelamatkan satu nyawa tapi mengorbankan banyak nyawa.”

Baca juga: Yang Dilihat Postingan, Yang Dihakimi Kehidupan

“Seperti memilih logika dan perasaan,” kataku lirih.

Kursi kelas tampak ikut berderak. Berkasak-kusuk. “Cerita rakyat dalam Teori Moral Imagination Nussbaum itu bukan hanya tentang cerita moral yang kaku, tapi di dalamnya ada banyak hal yang bisa kita analisis dan imajinasikan ulang tentang moral cerita dalam perspektif yang berbeda,” jelas profesor itu, “dan itu akan memperkaya makna dari cerita itu,” lanjutnya kemudian.

Dan saat aku menulis ini di malam ketika jangkrik memulai konsernya, aku jadi berpikir. Jika saja Malin Kundang tidak durhaka, apakah batu kutukan itu hilang?

Logika dan Perasaan Tak Harus Berkorban Salah Satu

Hari ke-12,685

Logika vs Perasaan dalam cerita rakyat design by canva. Created by senjahari

Malam terasa panas. Bukan karena cuaca, tapi karena perdebatan dalam kepala dengan memori lama. Ingatan saat aku menjadi bulan-bulanan kawanku. Rasa benci terhadap nama pemberian ibuku muncul kembali.

Baca juga: Ketahuan Salah, Ngeles Biar Lolos Dari Masalah!

Diskusi dua bulan yang lalu membekas. Untuk pertama kalinya aku tahu, jika perasaan itu punya logika. Aku membayangkan kembali cerita Malin Kundang. Bagaimana jika Malin Kundang pun sebenarnya galau menghadapi trolley problem, yang mengharuskan dia memilih antara ibu dan istrinya.

Namun seperti pada kebanyakan cerita rakyat tradisional—yang berfikirnya masih sederhana—yang terlihat dalam cerita hanya memberi kita dua pilihan: istri atau ibu dan prestige atau moral.

Sementara kata filsuf Martha Nussbaum yang diceritakan profesor, kalau dunia moral tidak sesederhana cerita rakyat. Aku ingat betul penjelasan itu. Katanya, emosi adalah bentuk penilaian cerdas, semacam cara logika yang menggemakan nilai yang tak bisa kita jelaskan. Misal saat kita merasakan jatuh cinta, marah, atau kecewa, itu bukan kelemahan logika, melainkan penanda bahwa perasaan sedang mencari jalan untuk berkomunikasi dengan logika.

Lalu saat aku membaca ulang kisah Malin Kundang lewat lensa ini, persoalannya bukan sekadar memilih siapa yang tersakiti atau menyakiti. Justru, yang penting adalah bagaimana logika dan perasaan bisa berjalan bersama pilihan yang diambil.

Profesor berambut kelabu itu mengatakan ini sebagai imajinasi naratif. Ya … semacam kemampuan membayangkan diri kita dalam kehidupan orang lain.

Baca juga: Pungutan Sukarela tapi Ribut Karena Tak Rela

Bagaimana jika keputusan Malin kundang menolak ibunya ternyata untuk melindungi rumah tangganya? Bagaimana jika tokoh yang antagonis justru istrinya yang mempengaruhi suami untuk membenci ibunya? Atau bagaimana jika setelah penolakan itu, Malin Kundang menyesal dan diam-diam pergi ke rumah sang ibu?

Jantungku mengetuk pelan. Aliran darah dari ulu hati naik. Merasa bersalah. Bukan tentang cerita yang sudah terkenal turun-temurun, tapi justru rasa bersalah karena aku harus memilih logika vs perasaan.

Jika ada narasi seperti itu, masihkan batu Malin Kundang memiliki cerita?

Batu yang Tak Harus jadi Simbol Kutukan

Hari ke 12,775

Happy Bithday Malin! Rasanya geli menuliskan dan mengucapkan hal remeh dalam buku catatan ini. Saat aku menuliskannya di tepi pagi, di mana matahari baru condong lima derajat di arah timur, perasaanku menjadi lebih ringan.

Baca juga: Beneran Simpati atau Eksploitasi Emosi?

Sebelum beranjak tidur, ayahku yang usianya sudah hampir satu abad. 80 Tahun. Mengirimkan ucapan ulang tahun di tengah malam. Dalam pesannya itu: Ibu menitipkan harapan bahwa kamu akan menjadi orang yang taat beragama dan mengundang kebaikan. Itulah sebabnya ibumu menamaimu Malin Ngundang, bukan Kundang yang artinya ‘dibuang’.

Jika saja Malin Kundang ditulis ulang dengan citra anak baik, batu yang ternyata buatan manusia di pinggir Pantai Air Manis ini bisa memiliki arti berbeda. Seperti arti keteguhan atau kegigihan.

Berkat pesan ayahku, aku mengerti kalau citra itu bukan sesuatu yang mutlak. Ia lahir dari pilihan moral yang kita pilih. Kalau legenda itu ditulis ulang, warnanya bisa saja tak hitam-putih. Bisa berwarna pelangi. Seperti kata profesor dalam diskusi kelas itu, moral imagination bentuk kemampuan kita dalam mendefinikan ulang kisah dengan berbagai kemungkinan.

Mungkin citra Malin Kundang menjadi tokoh yang menginspirasi untuk merantau karena kesuksesannya di tanah rantau dan kembali dengan membangun kampungnya. Lalu, citra batu di pantai itu menjadi simbol kegigihan dan perjuangan si Malin Kundang, sama seperti sifat batu yang kuat dan keras.

Setelah ini tahu itu, apakah ada yang berubah dari diriku?

Satu Malam Lewat 12,775 Hari

Hari ke 12,776

Jangkrik-jangkrik malam itu rasanya lebih riang. Meski berisik, aku tak lagi bergumam bahwa mereka berdemo. Mungkin ikut merayakan kelahiran baruku.

Satu malam lewat 12,775 hari. Aku pun sadar ketika dewasa bahwa legenda tradisional itu terlalu sederhana untuk duniaku yang mulai kompleks. Ketika tak lagi muda, legenda bukan lagi mengajarkan “jangan durhaka”, “jangan berbohog,” tapi juga mengajarkan bahwa alasan-alasan lain di balik pilihan yang kita ambil. Dan itu tak selalu baik-buruk, salah-benar.

Kadang cerita rakyat, legenda dan fabel justru mengajarkan hal lain yang lebih manusiawi, ketika kita bisa membaca ulang kisah-kisah itu dan memberi ruang untuk menginterpretasikan ulang sebuah situasi.

Aku menutup catatan ini dengan satu renungan kecil: Jika Malin Kundang tak durhaka, mungkin citranya dan citra batu itu lebih teduh. Termasuk kita yang membaca ulang kisahnya tak terpaku pada pilihan hitam-putih.

Gimana nih gengs, ceritanya? Apa sih yang melekat di benakmu ketika membaca ulang atau mendengar kisah Malin Kundang? Bisa dong berbagi di kolom komentar. Tapi ingat, untuk komen dengan bijak ya, semata-mata menjaga jejak digital kalian tetap bersih.

Have a nice day! Jya, mata ne~

Source:
He, M. F. (2023). Reclaiming humanity: Toward an integrative humanistic theory of moral imagination. Frontiers in Human Dynamics, 5, 1329628.

https://www.detik.com/sumut/budaya/d-7102660/apakah-batu-malin-kundang-itu-asli-simak-fakta-dan-kisahnya-di-sini#:~:text=Setelah%20mengetahui%20kisahnya,%20ternyata%20ada

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Bagus juga nih POV nya 😄👍. Selama ini kan Malin Kundang identik anak durhaka. Padahal kalo semisal kejadian sekarang niiih, aku yg terbiasa mikir pake logika, bakal memastikan dulu, beneran yaaa si Malin durhaka. Jangan2 ibunya salah didik anak, atau ibunya yg toxic etc.. ga langsung Nelan mentah2 gitu aja apa yg diceritakan orang 😄.

Btw aku belum pernah lihat samasekali batunya dia yg di pantai itu mba. Palingan tahu dari foto. Tapi udah nebak sih itu buatan manusia hahahahaha. Terlalu rapi. Makanya pas anakku nanya, itu beneran atau ga, aku pasti nya langsung bilang ga. Mereka boleh2 aja belajar dari legenda, tapi harus bisa pakai logika mana yg beneran terjadi, mana yg hanya mitos.

Aku setuju mbakkk.. Ini sama kayak pesan beberapa orang yang kukenal. “Boleh baca legenda, mitos, atau cerita fabel tapi kalau percaya jangan.” intinya sih untuk mengasah empati itu perlu tahu, tapi kalau untuk menjadi panutan maka tunggu dulu. 😀

Nah iya bener nih.
klo istilah jurnalistik kudu cover both sides

atau ya kudu “adil sejak dalam pikiran”
kasian juga kan , kalo si Malin tu korban framing aja. makin ke sini, memang logika kita kudu makin diasah… kudu mau critical thinking yaa, karena buanyaaakk banget hal2 “ajaib” di kehidupan nyataa.. utamanya sikap pemerintul yak 😷🙏

Munasyaroh Fadhilah

Sejak kecil dijejali dengan cerita dan informasi Maling Kundang sebagai anak Durhaka. Kalau seandainya dia tidak durhaka, saya yakin kisahnya gak bakalan terkenal.

Masih teringat jelas donk cerita Malin Kundang ini..salah satu cerita legenda yang membekas sampai saat ini..nasehat yang membekas adalah bahwa kita dilarang durhaka terhadap orangtua terutama ibu…
Dan aku baru tahu loo kalo ternyata batu malin kundang itu ternyata hasil karya manusia..selama ini aku pikir batu tersebut adalah salah satu karya alam yang terbentuk karena sapuan air laut atau sebagainya karena letaknya yang memang ada di bibir pantai..

Wah, seru banget tulisannya! Jadi makin penasaran, kalau Malin Kundang versi baik hati itu nyata, kira-kira apa yang bakal dia lakukan ya selain balik ke kampung? Apakah dia bakalan diundang ke podcast-podcast buat ceritain pengalamannya selama merantau dan nggak jadi dicap anak durhaka? wkwkwk

Cerita ini bikin aku mikir ulang semua cerita legenda berbagai dari berbagai daerah, ternyata banyak sisi yang bisa ditafsirkan beda-beda, dan banyak juga lho konspirasinya yang kadang mindblowing nggak sih?

Menarik nih untuk diulik lebih dalam. Bahwa, kadang cerita-cerita rakyat hanya bercerita tentang hitam putih saja, padahal bisa jadi ada faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya suatu peristiwa. Mungkin itu salah sebab, anak-anak sekarang malas membaca cerita rakyat, hikayat dan sejenisnya.
Saya jadi ingat anak bungsuku yang notabene termasuk gen Z. Dia bilang, itu si Malin Kundang sebenarnya tidak durhaka, Mama. Dia hanya bingung memilih sementara si ibu ngotot memaksa anaknya untuk memilih dia. Huaaa…. baru di sinilah saya tercerahkan atas pendapat anakku 10 tahun lalu. Waktu itu anakku baru SMP kelas 1.

Habis baca ini, aku jadi ingat-ingat kembali kisah Malin Kundang. Kenapa dia tidak mengakui ibunya dan sampai dikutuk jadi batu? Karena seperti biasa cerita rakyat suka ada banyak versi yang secara garis besar sama, tapi detailnya beda.

Rasanya dulu saat membaca saya pernah berpikir kenapa Malin tidak cerita saja ke istrinya bawah wanita itu ibunya, belum tentu istrinya tidak suka. Sepertinya versi yang kubaca saat itu hanya menceritakan Malin malu mengakui ibunya, bukan istrinya tidak suka ibunya atau tidak suka orang miskin.

Tapi begitulah, kadang seseorang juga membuat keputusan secara impulsif tanpa berpikir lebih jauh.

Kalau saja Malin memberi tahu istrinya dan istrinya tidak masalah, apakah mereka akn bahagia selama-lamanya seperti cerita Cinderella dan Pangeran?

Membaca tulisan mba Dinda, membuatku jadi berpikir apa iya memang Malin benar-benar anak yang durhaka kala itu. Tentunya dia pasti punya pemikirannya sendiri kala itu, yang sekarang pun kita tidak punya jawaban pasti karena dia sudah di kutuk jadi Batu. Tapi aku yakin sih, semua ada hikmahnya. Mungkin hikmah yang sayapun bisa ambil dari kisah tersebut, ya untuk mendengarkan orang tua tapi tetap juga memberitahukan apa yang kurang tanpa harus menyinggung perasaan Beliau.

Imawati Annisa Wardhani

Haha ner uga mba! Kalo dari POV netijen jaman sekarang, yang dipertanyakan lebih dulu pasti gimana pola asuh orang tuanya dulu? Apa yang bikin Malin jadi ngelunjak sama ibuknya? Kan gitu ya..

Btw, pernah juga saya ke pantai Malin Kundang ini. Takjub banget asli waktu kecil ngeliat cerita yang dibacain dari buku ternyata ada wujudnya riil! Saya nggak tau dan nggak diberitau juga kalau ternyata batu-batu tersebut karya seseorang yaa. Kirain beneran loh Malin dikutuk jadi batu beserta kapal-kapalnya..

Lha, baru tahu ternyata nama Malin tu artinya bagus haha. Selama ini diasosiasikan dengan anak durhaka sih yaa. Sampai2 batunya juga jadi negatif, biasa dipakai nyumpahin orang “kukutuk kau jadi batu!”
Kisah anak durhaka ini menjadi menarik, mungkin karena ada muatan pesannya supaya gak durhaka sama ortu terutama ibu.
Kyknya dulu Malin tu malu sama keluarga istrinya kalau ketauan berasal dari keluarga kismin apa yaa. Trus keknya istrinya sosialita jadi ya mungkin bakal kecewa juga kalau tau bumernya kismin.

Tapi kalau ada yang mau menulis ulang kisah ini dengan lebih positif mungkin bisa aja diganti plotnya, di mana Malin pulang lalu membangun rumah buat ibunya, berkontribusi buat daerahnya, dll, asal didukung ma keluarga istrinya =))

Bambang Irwanto

Sejak kecil, saya sudah diceritakan Kisah Malin Kundang ini, lalu kemudian saya membaca sendiri. Tapi karena sejak awal sudah ditanamkan Malin anak Durhaka yang tak mengakui ibumu lalu dikutuk menjadi baru. Jadi memang sejak awal pesan moralnya mengajarkan jangan durhaka pada orang tua. Dan kalau diulik lagi atau ditulis ulang, bisa jadi versi cerita yang berbeda. Bisa saja ibu Malin marah dan mengutuk Malin jadi batu. Namun saat proses menjadi batu, Malin minta ampun pada ibumu dan berjanji akan berbakti pada ibumu. Maka Malin tidak menjadi batu. Pesan moralnya pun berganti menjadi selalu ada pintu maaf dan kesempatan bagi yang mau bertobat.

Tulisan ini kasih aku perspektif lebih luas terkait Malin Kundang yang melegenda. Benar adanya kalau cerita rakyat jika di tangkap hanya satu POV kesannya sederhana dan jadinya mengakar kuat. Padahal kalau bisa dilihat dari banyak sudut pandang, bikin berpikir. Terutama tentang Logika, perasaan, citra.

Nah, iya memilih antara Ibu dan istri pun pasti sulit dan semua kemungkinan bisa terjadi.

Dan nama Malin Ngundang memiliki arti bagus ya. Ngundang kebaikan, Malin orang taat beragama 💯

Heni Hikmayani Fauzia

Kisah Malin Kundang saya baca di buku cerita rakyat waktu masih SD. Terus kalau enggak salah ada filmnya di TVRI gitu, duh lupa lupa inget….masih kecil soalnya….tapi ceritanya seruu…dulu waktu kecil seneng banget kalau ada cerita² rakyat begini.

Kalau daku pikir², semisal Malin Kundang dibuat baik citranya, maka generasi muda hingga seterusnya tidak akan tahu bagaimana akibatnya ketika mereka melakukan hal buruk. Soalnya lebih apik dibuat buruk tapi berdampak positif yang besar. Sebab dunia ini tak hanya tentang yang baik saja, perlu perlihatkan suatu yang jeleknya agar tidak ditiru di kemudian hari.

Dulu waktu masih kecil pernah mampir ke batu Malin Kundang, sebelum lihat langsung, sempat berpikir apa batu yang katanya dikutuk itu mengerikan, atau malah bikin kita ikut jadi batu >.<
Tapi saat lihat langsung gak semengerikan itu ya ternyata. Bahkan untuk anak umuran SD saat itu, belum terlalu paham itu maksudnya bentuk Malin Kundang dikutuk dalam posisi apa. Barulah saat sudah lebih besar tau posisinya dalam foto yang dijabarkan. Jadi lebih paham huhu..

Trus mikirin kalau ternyata Malin Kundang itu sebenarnya gak durhaka, aku malah mikir gimana kalau selama ini dia kirim surat tapi gak nyampe. Gimana kalau saat itu udah ada HP dan gak terjadi miskomunikasi? qiqiqiqiiqqiiqi

Istiana Sutanti

Bener banget sih, setelah dewasa tuh legenda jadi gak sesederhana “Jangan durhaka” atau “jangan bohong”, melainkan lebih kompleks dari itu. Mungkin karena seiring kita dewasa, ya kita juga merasakan hidup sesungguhnya itu apa. Banyak kompromi yang harus kita hadirkan dengan tetap menjaga nilai nilai yang kita yakini. Berarti legenda dibuat sederhana karena mungkin sasarannya anak-anak ya yang masih butuh nilai moral dari hal yang hitam putih 😁

Kalau dipikir-pikir lagi, kadang emang cerita rakyat itu seringkali penuh ancaman dan kutukan ya mbak
Termasuk kisah Malin Kundang
Mungkin, kalau dia tidak durhaka, pasti citranya akan berubah

Kadang yaa.. framing terhadap sebuah benda atau hal-hal di sekitar ini yang membuat kita teringat dan tertanam begitu kuat. Rasanya gak adil kalau itu berlangsung terus menerus terhadap Malin yaah..
Hahaha… tapi aku suka banget dengan perenungan semacam… “Ketika orang berbuat jahat padamu, bisa jadi ini waktunya kamu membuat excuse dan no judge! Bisa jadi ada yang melatarbelakangi dia berbuat demikian (dan pastinya demi melindungi sesuatu yang ia lebih cintai)”

Tapi yaah.. aku jadi mikir siih.. kala logika dibenturkan agama.
GImana pun, belajar ilm agama ini gak boleh berenti sampai di sini agar paham adab yaa..

Kok jadi kemana-mana aku yappingnya niih..
Miaan.. ihihi.. soalnya aku akhir-akhir ini sring banget bilang ke diriku bahwa “Semua baik-baik aja.. pasti ada alasan yang cukup baik bagi seseorang mengapa ia berbuat demikian…”
Terima kasih.

^^

Malin Kundang terbawa arus cinta sehingga logika terhimpit
Saya yakin perasaannya getir melihat sang ibu yang makin menua
Hanya saja, kemewahan yang diperolehnya juga bukan sepenuhnya karena kerja kerasnya tetapi bantuan perempuan di sampingnya
Kalau saya sih tidak akan bersikap seperti perempuan di samping Malin selama sang mertua tidak mengusik urusan urgent keluarga apalagi sampe kudu playing victim sehingga Malin harus sama emaknya terus, haha

The Stress Lawyer

Tapi anak gen Z sekarang, sudah klarifikasi. Katanya jangan serta merta menyalahkan Malin Kundang, mungkin masa kecilnya kurang kasih saya dari ibu nya, makanya gede nya jadi durhaka ke ibu nya. Hehehe

Ini mah patungnya deket rumah ku.
30 menit ke sana dari pusat kota Padang wkkwkwkwk

Jujurly di mata kami orang padang, udah nggak begitu mengena lagi kisah ini tuh.
Soalnya anak-anak sini juga udah pada tau, nggak mungkin manusia tiba-tiba jadi batu.
Durhaka sama orangtua palingan jadi preman atau jadi gembel aja, soalnya nggak dikasih jatah jajan lagi wkwkwkkw

Plus maaf-maaf pantai lokasi patungnya itu skrg banyak pungli. Warga padang asli pada emoh ke sana karena masuknya bayar, parkir bayar lagi, sholat bayar, toilet bayar, dsb dsb banyak huhuhu

22 Responses