Home / Jendela

Tak Harus Sama Tinggi untuk Disebut Pohon

Senjahari.com - 10/10/2025

Tak Harus Sama Tinggi untuk Disebut Pohon

Penulis : Dinda Pranata

Matahari mulai condong ke barat 56 derajat. Punggung sudah terasa panas. Bukan karena cahayanya, melainkan dari pori keringat yang terbakar sehabis berlari sore itu.

Nafasku pendek-pendek. Menyesuaikan udara di sekitar. Dari kejauhan kulihat pucuk-pucuk bergerak samar mengikuti angin di atas sana.

“Itu pohon apa ya?” tanyaku pada diri sendiri. “Pohon itu bahkan lebih tinggi dari pohon di depannya,” lanjutku. Pertanyaan itu seperti mengosongkan seluruh isi kepalaku. Cukup lama terdiam tapi tak ada satu jawaban tentang nama pohon itu.

Tampaknya angin membawa suaraku ke pohon itu dan dijawab oleh entah siapa, “apakah pohon harus sama tinggi agar disebut pohon?” sahut suara itu. Aku celingukan. Mencari siapa yang berbicara. Namun, kosong. Tidak ada siapa-siapa. Nafas tak lagi memburu. Stabil. Sekali lagi kuamati pohon itu dari kejauhan. Dan, untuk pertama kalinya aku memaksa diri memikirkan pertanyaan suara itu.

Arti Pohon yang Sebenarnya?

Aku ingat masa-masa SMA di mana guru Bahasa Indonesiaku mengenalkanku pada arti pohon ketika pelajaran. Kurang lebih ia berkata seperti ini, “menurut KBBI pohon adalah tumbuhan yang berbatang keras dan besar. Tapi …,” kata-katanya terjeda. Matanya menelisik satu per satu murid. “Tiap ahli bahkan organisasi nasional sampai internasional punya pengertian yang berbeda tentang arti pohon,” katanya lagi.

Baca juga: Studi Komparatif Bertema SARA: Apakah Rawan Konflik?

Aku memperhatikan guru bahasa Indonesia itu. Ingin tahu kemana ia akan membawa kami—murid-muridnya ini—dari penjelasan tentang pohon hari itu. “Jadi kalau kalian sendiri, menilai pohon seperti apa?” tanyanya lagi.

Kelas mendadak hening. Tidak ada yang menjawab. Mereka hanya sibuk berkasak-kusuk dan tersenyum geli dengan pertanyaan guruku yang bernama Pak Eko itu. Salah satu murid perempuan terjangkung di kelas menjawab, “pohon adalah tumbuhan tinggi yang lebih tinggi dari manusia.”

“Kenapa begitu?”

“Karena saya dipanggil pohon, Pak!” jawabnya sambil terkekeh. Suara riuh mendadak memenuhi kelas.

“Jadi kalau pohon yang tingginya seperti saya artinya bukan pohon?” tanya Pak Eko sambil tertawa.

Baca juga: Logika Jungkir Balik Khas Warga Komplek

“Kan memang tak ada pohon yang kecil-kecil, Pak?” sanggah salah satu murid laki-laki lain. Dan begitulah diskusi kelas yang sederhana tentang arti pohon terjadi di kelasku.

Diskusi tersebut membuka ruang berpikirku di usia 17 tahun kala itu, benarkah ada pohon yang tingginya seperti Pak Eko (yang tak lebih dari seratus enam puluh sentimeter) tapi tetap disebut pohon? Ataukah memang semua tanaman yang punya tinggi lebih dari dua meter baru bisa disebut pohon?

Masih Tentang Pohon, Dengan Pertanyaan yang Berbeda

Infografik Pohon dan Memori Kolektif
Infografik Pohon dan Memori Kolektif. Design Canva by Senja Hari

Setelah usiakku 35,4 tahun, ketika kuingat kembali rasanya etimologi kata “pohon” terasa lebih sempit dari banyaknya jenis pohon yang kulihat selama ini. Haruskan pohon dikategorikan hanya sebuah tumbuhan yang punya tinggi lebih dari sekian meter? Padahal banyak manusia yang menemukan pohon-pohon kerdil (atau setidaknya pohon baru yang sengaja dikerdilkan)

Ataukan kita, manusia, perlu memperbaharui etimologi berdasarkan penemuan-penemuan baru itu? atau berusaha menyesuaikan.

Pertanyaan ini berkelindan di kepala. Ingin kutampik tapi memang benar adanya.

Baca juga: Pintu Everlasting dan Antrian Selembar Administrasi

“Jangan-jangan, aku dan mungkin mereka, yang mengatakan pohon itu harus tinggi sedang terjebak dalam permainan imaji kolektif,” gugatku pada diri sendiri.

“Ya, imaji kolektif yang menjadi gambaran bersama, yang terbentuk di kepala banyak orang tentang sesuatu hal. Seperti kata pohon yang tergambar haruslah lebih tinggi dari manusia baru bisa mereka katakan pohon. Atau …,” aku menghentikan kata-kataku.

Angin semilir menerbangkan debu-debu tipis di tanah yang kering. Aku kira saat itu tanah di depanku terkejut dengan suaraku yang sedang mempertanyakan imaji kolektif dan bahkan mungkin menggugatnya.

Aku menutup hidungku dengan salah satu lengan baju, takut debu itu bisa menjamah bulu-bulu hidung yang mudah marah. Bersin. Dalam hitungan detik aku teringat satu nama dari beberapa nama yang pernah ada di ruang arsip, hippocampus-ku. Ia terus bergumam. Membaca dan mengajak sensor tubuhku menjamah sesuatu yang lebih lama dari tempatku duduk saat ini.

Aku terhisap ke dalam lubang hitam, tapi penuh huruf-huruf yang terbaca dari laporan si otak, lalu aku terlempar pada lima belas tahun yang lalu. Saat aku duduk di barisan bangku nomor lima dari sebuah ruang bernama Ruang Siti Parwati. Aroma spidol papan tulis yang basah menyambutku.

Baca juga: Jendela Di Senja Hari, Apa yang Kita Lihat?

Memori Kolektif dan Pemaknaan Tentang Apa dan Siapa

“Maurice Halbwachs,” kata Pak Lis, “Halbwachs salah satu filosofer dan juga sosiolog dari Perancis dan pernah menulis esai tentang memori kolektif,” jelas Pak Lis.

“Serius, Pak!” seru Gilang. “Apa hubungannya memori otak dengan filsafat pak? Itu beda genre,” katanya lagi sambil disambut tawa mahasiswa lain.

“Meski begitu, bukan berarti tidak berpengaruh pada manusia.”

Tawa berhenti. Menyisakan kasak-kusuk tipis. Aku meresapi kata Pak Lis. Sampai dosen itu bertanya padaku, “Din … bagaimana kamu menggambarkan kata pohon?”

Aku membelalak. “Pohon itu punya tinggi lebih dari dua meter, berkayu coklat dan daunnya hijau,” deskripsiku.

Baca juga: Beli Mobil Tapi Garasi Nihil

“Kalau pohon maple di Jepang atau pohon eboni, apa tidak bisa disebut pohon?”

Aku terdiam. Kali ini diam yang berbeda dengan masa SMA-ku.

“Itulah yang kita sebut dengan memori kolektif,” sahut Pak Lis ketika melihatku terdiam. “Sejak anak-anak kita selalu disodorkan lewat cerita bahwa daun itu berwarna hijau, pohon itu tinggi menjulang dan berbatang coklat. Padahal secara pengertian biologis itu tidak sama dengan memori masyarakat tentang pohon.”

“Ini artinya …,” aku menyahut, “bahwa ingatan seseorang bukan hanya terbentuk dari pengalaman individu tapi juga gimana lingkungan sosial membentuknya.” Pak List pun mengangguk.

“Memori kolektif itu yang membuat kita terhubung dengan masyarakat dan tatanan sosial. Tapi jika kita terlalu kaku berpegang pada memori kolektif terlalu lama, kita pun bisa runtuh bahwa dunia lebih dinamis dari yang kita kira,” jawab Pak Lis.

Aku terhisap kembali seperti debu yang masuk ke dalam mesin vacum. Menyerap residu ingatan itu dengan tubuh yang sepenuhnya sadar masih memandang pohon menjulang yang tak sama tinggi itu.

Haruskah Kita Menjadi Sama Untuk Menjadi ‘Siapa’

Barangkali, kita kadang tak ingat bahwa ukuran bukan menjadi penentu keberadaan. Sama halnya seperti pohon yang tumbuh dengan tinggi berbeda. Manusia memang tak terlahirkan untuk seragam. Namun karena sejak kecil, lewat bahasa, gambar, dan pelajaran yang berulang, kita belajar untuk memandang sesuatu secara ideal dengan pemahaman kalau tak sama itu ‘berbeda’.

Kalau kita ingat kembali, seberapa sering kita berkata pada anak yang menggambar, “pohon batangnya harus coklat!” atau “ih, kok daun warnanya merah!”.

Tak terkecuali saat kita melihat mereka yang tak sama. “Ih, dia lulusan ABC, kok kerjanya itu sih,” atau “manusia itu harus punya ini itu di usia sekian sekian”. Kita pun tumbuh dengan memori kolektif bahwa menjadi manusia itu harus sesuai dengan selera pasar atau sesuai dengan memori kolektif yang terbentuk sejak lama.

Kita justru luput menyadari bahwa dunia tidak pernah berhenti berubah. Pohon kerdil tetap pohon, seperti halnya manusia yang mungkin tak mengikuti ukuran ‘standar’ memori kolektif itu, tapi tetap punya akar, batang, dan daun kehidupannya sendiri. Lantas apakah kita pernah menggugat memori itu?

Gimana nih gengs narasi yang di atas? Apakah kalian pernah ada di posisi pohon yang sempat ‘dikerdilkan’ oleh memori kolektif (entah dari gambaran diri sendiri atau memori kolektif orang lain)? Kalian boleh kok berkomentar dan berbagi pendapat di kolom komentar. Eits, cuma komennya yang bijak ya, agar jejak digital kalian tetap bersih.

Have a nice day! Jya, mata ne~

source:

https://www.britannica.com/plant/tree

Apfelbaum, Erika. Halbwachs and the Social Properties of Memory. Fordham University Press, pp. 77–92

https://press.uchicago.edu/ucp/books/book/chicago/O/bo3619875.html

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Fanny_dcatqueen

Aiiiih bener jugaaa. Sejak kecil kita dicekokin dengan hal2 yang sama. Menggambar pemandangan harus ada pohon di kejauhan, burung, jalanan berkelok, sisi kiri kanan ada sawah 😆. Padahal pemandangan itu banyaaaak macamnya. Sama hal nya kita dicekokin langit harus biru, atap rumah harus merah, dan banyak lagi yg merusak kreatifitas ya mba 😆😂.

Untunglah skr zaman makin maju, dan anak2 generasi baru ga lagi terkungkung dengan pemikiran begitu. Mereka bisa lebih jauh mendefinisikan segala sesuatu.

Lagian dipikir2 pohon toh ada juga yg pendek 😆.

Iyapppp.. dan ini yang dikomen keponakanku pas TK dulu dari guru kelas menggambarnya, Mbak. Katanya gurunya tuh komen pedas ke dia, gegara warna daun pohonnya tuh merah. Hihihi…

Padahal berbeda itu justru bagus kalau dimaknai dengan baik. 🥰

Istiana Sutanti

Ah, karena itu lingkungan memang sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak ya. Karena nantinya masing-masing kita akan mengembangkan memori kolektif dari lingkungan ini yang dijadikan “standar” tersendiri di pikiran kita.

Berarti baik ya mengenalkan anak ke lingkungan yang heterogen untuk mengajarkan sedari kecil kalau kita semua itu berbeda dan itu tidak apa-apa. Yang terpenting adalah menanamkan kebaikan dan nilai diri kalau setiap kita bisa memberi manfaat sesuai dengan yang kita miliki.

Bener mbak Is… Ada baiknya anak² memang dikenalkan dengan lingkungan yang variatif. Dengan gitu anak² bisa berfikir di luar kotak alias bisa kreatif, sekaligus mengembangkan pola pikir “berbeda itu nggak apa²” 🥰

Jadi keinget zaman dulu gambar pohon ya keknya anak2 se-Indonesia sama gambarnya semua wkwk 😛 .
Ada kok pohon kecil, pohon bonsai haha.
Eh tapi di era kecanggihan teknologi sekarang, beberapa pohon tu keknya ada yang sengaja dibikin kerdil ya mbak. Pernah lihat varian phon mangga yang emang gak bisa tumbuh besar dan meninggi, bahkan ditanamnya juga di pot bisa tumbuh dan berbuah 😀
Btw aku tu suka sekali pohon, tapi entah mengapa yaa banyak org bangun rumah halamannya habis gitu.
Sekarang aku beruntung tinggal di perumahan yang masih banyak ijo2nya. Kalau abis dari jalan besar belok ke perumku tu rasanya kek ke dunia lain, apalagi saat cuaca panas.
Pohon tu kyk memberikan harapan hidup, nafas segar.
Nanti kalau dikasi rezeki punya rumah dengan halaman luas, pengen banget nanam pohon buat peneduh dan penyejuk mata hehe #afirmasi duluuu.

Semoga didengar oleh Yang Kuasa ya Mbak. ❤️❤️
Karena pohon itu sumber oksigen juga, semakin besar, semakin bikin teduh. Hehehe… 🥰🥰

Yuni Bint Saniro

Yah. Banyak sekali orang yang memandang sesuatu berdasarkan memori kolektif. Bahkan orang-orang di sekitarku banyak yang begitu.

7 Responses