Penulis : Dinda Pranata
Matahari mulai condong ke barat 56 derajat. Punggung sudah terasa panas. Bukan karena cahayanya, melainkan dari pori keringat yang terbakar sehabis berlari sore itu.
Nafasku pendek-pendek. Menyesuaikan udara di sekitar. Dari kejauhan kulihat pucuk-pucuk bergerak samar mengikuti angin di atas sana.
“Itu pohon apa ya?” tanyaku pada diri sendiri. “Pohon itu bahkan lebih tinggi dari pohon di depannya,” lanjutku. Pertanyaan itu seperti mengosongkan seluruh isi kepalaku. Cukup lama terdiam tapi tak ada satu jawaban tentang nama pohon itu.
Tampaknya angin membawa suaraku ke pohon itu dan dijawab oleh entah siapa, “apakah pohon harus sama tinggi agar disebut pohon?” sahut suara itu. Aku celingukan. Mencari siapa yang berbicara. Namun, kosong. Tidak ada siapa-siapa. Nafas tak lagi memburu. Stabil. Sekali lagi kuamati pohon itu dari kejauhan. Dan, untuk pertama kalinya aku memaksa diri memikirkan pertanyaan suara itu.
Arti Pohon yang Sebenarnya?
Aku ingat masa-masa SMA di mana guru Bahasa Indonesiaku mengenalkanku pada arti pohon ketika pelajaran. Kurang lebih ia berkata seperti ini, “menurut KBBI pohon adalah tumbuhan yang berbatang keras dan besar. Tapi …,” kata-katanya terjeda. Matanya menelisik satu per satu murid. “Tiap ahli bahkan organisasi nasional sampai internasional punya pengertian yang berbeda tentang arti pohon,” katanya lagi.
Baca juga: Satu Kotak Harapan, Isinya Kejutan yang Tak Diharapkan
Aku memperhatikan guru bahasa Indonesia itu. Ingin tahu kemana ia akan membawa kami—murid-muridnya ini—dari penjelasan tentang pohon hari itu. “Jadi kalau kalian sendiri, menilai pohon seperti apa?” tanyanya lagi.
Kelas mendadak hening. Tidak ada yang menjawab. Mereka hanya sibuk berkasak-kusuk dan tersenyum geli dengan pertanyaan guruku yang bernama Pak Eko itu. Salah satu murid perempuan terjangkung di kelas menjawab, “pohon adalah tumbuhan tinggi yang lebih tinggi dari manusia.”
“Kenapa begitu?”
“Karena saya dipanggil pohon, Pak!” jawabnya sambil terkekeh. Suara riuh mendadak memenuhi kelas.
“Jadi kalau pohon yang tingginya seperti saya artinya bukan pohon?” tanya Pak Eko sambil tertawa.
Baca juga: Ketahuan Salah, Ngeles Biar Lolos Dari Masalah!
“Kan memang tak ada pohon yang kecil-kecil, Pak?” sanggah salah satu murid laki-laki lain. Dan begitulah diskusi kelas yang sederhana tentang arti pohon terjadi di kelasku.
Diskusi tersebut membuka ruang berpikirku di usia 17 tahun kala itu, benarkah ada pohon yang tingginya seperti Pak Eko (yang tak lebih dari seratus enam puluh sentimeter) tapi tetap disebut pohon? Ataukah memang semua tanaman yang punya tinggi lebih dari dua meter baru bisa disebut pohon?
Masih Tentang Pohon, Dengan Pertanyaan yang Berbeda

Setelah usiakku 35,4 tahun, ketika kuingat kembali rasanya etimologi kata “pohon” terasa lebih sempit dari banyaknya jenis pohon yang kulihat selama ini. Haruskan pohon dikategorikan hanya sebuah tumbuhan yang punya tinggi lebih dari sekian meter? Padahal banyak manusia yang menemukan pohon-pohon kerdil (atau setidaknya pohon baru yang sengaja dikerdilkan)
Ataukan kita, manusia, perlu memperbaharui etimologi berdasarkan penemuan-penemuan baru itu? atau berusaha menyesuaikan.
Pertanyaan ini berkelindan di kepala. Ingin kutampik tapi memang benar adanya.
Baca juga: Diskusi Sehat Bubar, Anggota Barbar
“Jangan-jangan, aku dan mungkin mereka, yang mengatakan pohon itu harus tinggi sedang terjebak dalam permainan imaji kolektif,” gugatku pada diri sendiri.
“Ya, imaji kolektif yang menjadi gambaran bersama, yang terbentuk di kepala banyak orang tentang sesuatu hal. Seperti kata pohon yang tergambar haruslah lebih tinggi dari manusia baru bisa mereka katakan pohon. Atau …,” aku menghentikan kata-kataku.
Angin semilir menerbangkan debu-debu tipis di tanah yang kering. Aku kira saat itu tanah di depanku terkejut dengan suaraku yang sedang mempertanyakan imaji kolektif dan bahkan mungkin menggugatnya.
Aku menutup hidungku dengan salah satu lengan baju, takut debu itu bisa menjamah bulu-bulu hidung yang mudah marah. Bersin. Dalam hitungan detik aku teringat satu nama dari beberapa nama yang pernah ada di ruang arsip, hippocampus-ku. Ia terus bergumam. Membaca dan mengajak sensor tubuhku menjamah sesuatu yang lebih lama dari tempatku duduk saat ini.
Aku terhisap ke dalam lubang hitam, tapi penuh huruf-huruf yang terbaca dari laporan si otak, lalu aku terlempar pada lima belas tahun yang lalu. Saat aku duduk di barisan bangku nomor lima dari sebuah ruang bernama Ruang Siti Parwati. Aroma spidol papan tulis yang basah menyambutku.
Baca juga: Makan Bergizi Gratis dan Kenapa Gratis Itu Masalah?
Memori Kolektif dan Pemaknaan Tentang Apa dan Siapa
“Maurice Halbwachs,” kata Pak Lis, “Halbwachs salah satu filosofer dan juga sosiolog dari Perancis dan pernah menulis esai tentang memori kolektif,” jelas Pak Lis.
“Serius, Pak!” seru Gilang. “Apa hubungannya memori otak dengan filsafat pak? Itu beda genre,” katanya lagi sambil disambut tawa mahasiswa lain.
“Meski begitu, bukan berarti tidak berpengaruh pada manusia.”
Tawa berhenti. Menyisakan kasak-kusuk tipis. Aku meresapi kata Pak Lis. Sampai dosen itu bertanya padaku, “Din … bagaimana kamu menggambarkan kata pohon?”
Aku membelalak. “Pohon itu punya tinggi lebih dari dua meter, berkayu coklat dan daunnya hijau,” deskripsiku.
Baca juga: Kolonivora dan Kota yang Berpesta
“Kalau pohon maple di Jepang atau pohon eboni, apa tidak bisa disebut pohon?”
Aku terdiam. Kali ini diam yang berbeda dengan masa SMA-ku.
“Itulah yang kita sebut dengan memori kolektif,” sahut Pak Lis ketika melihatku terdiam. “Sejak anak-anak kita selalu disodorkan lewat cerita bahwa daun itu berwarna hijau, pohon itu tinggi menjulang dan berbatang coklat. Padahal secara pengertian biologis itu tidak sama dengan memori masyarakat tentang pohon.”
“Ini artinya …,” aku menyahut, “bahwa ingatan seseorang bukan hanya terbentuk dari pengalaman individu tapi juga gimana lingkungan sosial membentuknya.” Pak List pun mengangguk.
“Memori kolektif itu yang membuat kita terhubung dengan masyarakat dan tatanan sosial. Tapi jika kita terlalu kaku berpegang pada memori kolektif terlalu lama, kita pun bisa runtuh bahwa dunia lebih dinamis dari yang kita kira,” jawab Pak Lis.
Aku terhisap kembali seperti debu yang masuk ke dalam mesin vacum. Menyerap residu ingatan itu dengan tubuh yang sepenuhnya sadar masih memandang pohon menjulang yang tak sama tinggi itu.
Haruskah Kita Menjadi Sama Untuk Menjadi ‘Siapa’
Barangkali, kita kadang tak ingat bahwa ukuran bukan menjadi penentu keberadaan. Sama halnya seperti pohon yang tumbuh dengan tinggi berbeda. Manusia memang tak terlahirkan untuk seragam. Namun karena sejak kecil, lewat bahasa, gambar, dan pelajaran yang berulang, kita belajar untuk memandang sesuatu secara ideal dengan pemahaman kalau tak sama itu ‘berbeda’.
Kalau kita ingat kembali, seberapa sering kita berkata pada anak yang menggambar, “pohon batangnya harus coklat!” atau “ih, kok daun warnanya merah!”.
Tak terkecuali saat kita melihat mereka yang tak sama. “Ih, dia lulusan ABC, kok kerjanya itu sih,” atau “manusia itu harus punya ini itu di usia sekian sekian”. Kita pun tumbuh dengan memori kolektif bahwa menjadi manusia itu harus sesuai dengan selera pasar atau sesuai dengan memori kolektif yang terbentuk sejak lama.
Kita justru luput menyadari bahwa dunia tidak pernah berhenti berubah. Pohon kerdil tetap pohon, seperti halnya manusia yang mungkin tak mengikuti ukuran ‘standar’ memori kolektif itu, tapi tetap punya akar, batang, dan daun kehidupannya sendiri. Lantas apakah kita pernah menggugat memori itu?
Gimana nih gengs narasi yang di atas? Apakah kalian pernah ada di posisi pohon yang sempat ‘dikerdilkan’ oleh memori kolektif (entah dari gambaran diri sendiri atau memori kolektif orang lain)? Kalian boleh kok berkomentar dan berbagi pendapat di kolom komentar. Eits, cuma komennya yang bijak ya, agar jejak digital kalian tetap bersih.
Have a nice day! Jya, mata ne~
source:
https://www.britannica.com/plant/tree
Apfelbaum, Erika. Halbwachs and the Social Properties of Memory. Fordham University Press, pp. 77–92
https://press.uchicago.edu/ucp/books/book/chicago/O/bo3619875.html
Comment
Aiiiih bener jugaaa. Sejak kecil kita dicekokin dengan hal2 yang sama. Menggambar pemandangan harus ada pohon di kejauhan, burung, jalanan berkelok, sisi kiri kanan ada sawah 😆. Padahal pemandangan itu banyaaaak macamnya. Sama hal nya kita dicekokin langit harus biru, atap rumah harus merah, dan banyak lagi yg merusak kreatifitas ya mba 😆😂.
Untunglah skr zaman makin maju, dan anak2 generasi baru ga lagi terkungkung dengan pemikiran begitu. Mereka bisa lebih jauh mendefinisikan segala sesuatu.
Lagian dipikir2 pohon toh ada juga yg pendek 😆.
Iyapppp.. dan ini yang dikomen keponakanku pas TK dulu dari guru kelas menggambarnya, Mbak. Katanya gurunya tuh komen pedas ke dia, gegara warna daun pohonnya tuh merah. Hihihi…
Padahal berbeda itu justru bagus kalau dimaknai dengan baik. 🥰
Ah, karena itu lingkungan memang sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak ya. Karena nantinya masing-masing kita akan mengembangkan memori kolektif dari lingkungan ini yang dijadikan “standar” tersendiri di pikiran kita.
Berarti baik ya mengenalkan anak ke lingkungan yang heterogen untuk mengajarkan sedari kecil kalau kita semua itu berbeda dan itu tidak apa-apa. Yang terpenting adalah menanamkan kebaikan dan nilai diri kalau setiap kita bisa memberi manfaat sesuai dengan yang kita miliki.
Bener mbak Is… Ada baiknya anak² memang dikenalkan dengan lingkungan yang variatif. Dengan gitu anak² bisa berfikir di luar kotak alias bisa kreatif, sekaligus mengembangkan pola pikir “berbeda itu nggak apa²” 🥰
Jadi keinget zaman dulu gambar pohon ya keknya anak2 se-Indonesia sama gambarnya semua wkwk 😛 .
Ada kok pohon kecil, pohon bonsai haha.
Eh tapi di era kecanggihan teknologi sekarang, beberapa pohon tu keknya ada yang sengaja dibikin kerdil ya mbak. Pernah lihat varian phon mangga yang emang gak bisa tumbuh besar dan meninggi, bahkan ditanamnya juga di pot bisa tumbuh dan berbuah 😀
Btw aku tu suka sekali pohon, tapi entah mengapa yaa banyak org bangun rumah halamannya habis gitu.
Sekarang aku beruntung tinggal di perumahan yang masih banyak ijo2nya. Kalau abis dari jalan besar belok ke perumku tu rasanya kek ke dunia lain, apalagi saat cuaca panas.
Pohon tu kyk memberikan harapan hidup, nafas segar.
Nanti kalau dikasi rezeki punya rumah dengan halaman luas, pengen banget nanam pohon buat peneduh dan penyejuk mata hehe #afirmasi duluuu.
Semoga didengar oleh Yang Kuasa ya Mbak. ❤️❤️
Karena pohon itu sumber oksigen juga, semakin besar, semakin bikin teduh. Hehehe… 🥰🥰
Yah. Banyak sekali orang yang memandang sesuatu berdasarkan memori kolektif. Bahkan orang-orang di sekitarku banyak yang begitu.
Aku jadi mikir, ternyata hal sesederhana pohon aja bisa punya makna dalam kayak gini. Kadang kita emang kebanyakan nurut sama memori kolektif ya. kayak udah otomatis mikir pohon itu harus tinggi, daunnya hijau, batangnya coklat. Padahal nggak semua begitu, dan nggak harus juga.
Btw, aku ngerasa relate banget, soalnya sering juga ngerasa nggak sesuai standar orang lain. Tapi setelah baca ini, aku jadi sadar kalau setiap orang punya cara tumbuhnya masing-masing, dan itu nggak apa-apa. Thanks insightnya kak
Benar, Kak. Orang memang cenderung lebih ngeh sama memori kolektif gitu. Kek udah terpatri aja gitu keterangannya.
Sebutannya memori kolektif ya. Pastinya kita pernah punya memori seperti itu. Kayak menggambar pemandangan gunung dengan sawah, ya yang terbentuk kurang lebih sama deh yang bentuknya segitiga gitu. Padahal bisa saja puncak gunungnya bentuknya gak beraturan karena baru aja meletus
Bener-bener bikin mikir, ya. Selama ini kita kayaknya terlalu kaku sama definisi “ideal” karena imaji kolektif, sampai lupa kalau yang berbeda pun tetap sah ada dan berharga. Intinya, pohon kecil atau besar, tetap pohon. Sama kayak manusia, nggak harus sama tinggi atau sama standarnya buat diakui. Diskusi Pak Eko dan Pak Lis itu ngena banget! Jangan-jangan, banyak hal di hidup kita yang masih terjebak di kotak memori kolektif yang sempit.
Yes… Pohon itu tingginya tak harus sama. Cantik itu tak harus kulitnya putih. Kalau orang tuanya dokter, anaknya tidak harus jadi dokter.
Memang harus diakui. Sejak kecil kita sudah menerima sesuatu yang baku. Kalau dari dulu A, maka terus A. Ini yang mengungkung dan mengekang sesuatu. Padahal intinya, setiap manusia kan terlahir dengan perbedaan dan termasuk kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jadi dalam hidup ini tak selalu harus sama. Justru berbeda itu membuat hidup jadi lebih berwarna.
Pohon itu kalau diterjemahkan sebagai tanaman tinggi yaa kaktus juga disebut pohon yaa padahal pendek. saya setuju dengan apa yang dikatakan mba Senja bahwa ukuran bukan menjadi penentu keberadaan. Mau pendek mau tinggi, mau besar mau kecil semua sama sama memiliki kehidupannya sendiri, memiliki keunggulannya sendiri, memiliki maknanya sendiri.
Pohon walau imut tetap disebut pohon bukan? Eh tapi ini bukan tentang tanaman ya.
Masalah kolektivitas ini bener …. Daku sering dibilang ‘sayang banget punya gelar sarjana gak kerja kantoran’. Padahal di rumah juga kerja (nulis) hmmm. Gak semua kudu kerja di luar rumah, bukan?
Ada kok pohon pendek
Lihat aja bonsai haha
Aku mengibaratkan diriku bonsai
Kecil, pendek tetapi selalu indah dipandang mata bahkan dijadikan hiasan rumah
Bisa sadar bahwa meski saya punya kekurangan, anak anak dan suami selalu menganggap saya besar dan tinggi sebab rumah selalu aman kalau di tangan saya, hehe
Memori kolektif ini emang pengaruh banget ya sama pola pikir kita. Apa yang biasa kita lihat dan ditanamkan oleh sekitar kita maka akan melekat sebagai sesuatu yang ideal di alam bawah sadar kita. Misal tentang pohon ini. Karena di Indonesia rata-rata pohon bedaun hijau, jadi kita mikirnya begitu.
Sama seperti adanya ruang tamu di sebuah rumah. Karena terbiasa begitu, sampai sekarang pun masih kurang nyaman kalau rumah nggak ada ruang tamunya, walaupun jaman sekarang budayanya mulai bergeser ya.
Iya kadang kita terjebak dengan pemikiran kolektif ya jadi ketika ada yang berbeda dengan pemahaman kita, jadi kaget dan protes.. padahal tak bisa semua hal kita sama ratakan dengan pemikiran kita..
Setelah baca ini aku merasa banyak hal di dunia ini dibentuk berdasarkan memori kolektif deh. Pohon mungkin cuma salah satu contohnya tapi banyak hal yang tidak kita sadari ternyata dibentuk dari memori kolektif. Hmf, kenapa aku tidak menyadari ini sedari lama ya? Kalau sayuran itu otak kita langsung merekam warna hijau, meski ada juga sayur warna ungu, merah dan lain lain. Pembahasan yang menarik terlebih kalau kita kaitkan dengan hal yang lebih mendalam seperti standar usia, pernikahan, pasangan, dan lain-lain.
Kita memang harus belajar berbagai macam sudut pandang baru dalam hidup supaya tidak terjebak dalam pemikiran yang itu-itu saja pohon itu tidak harus tinggi dan besar karena pohon cabe pun masih bisa dibilang pohon tapi tidak tinggi begitu pula dengan pepohonan lain yang tidak tinggi dan juga besar. Dan memaknai hidup bisa sangat berbeda ketika kita bisa melihat dari sudut pandang yang lain
Oh.. istilahnya memori kolektif yaa..
Aku selalu berpikir semua standar harus sama. Tapi seringkali aku juga mempertanyakan “Kenapa harus sama?”. Sedangkan seseorang gak memulai di titik yang sama??
Jadi memang segala sesuatu itu hanya manusia yang sama yang menerapkan standar yang sama.
Kalau mau persepsi yang berbeda, kudu mengubah circle yang mindsetnya sama-sama out of the box.
Dan kadang yaah, aku pikir kita gak harus memaksakan segalanya harus seragam loo..
Beda itu bukan sesuatu cela.
Awalnya aku kira cuma bakal bahas pohon secara harfiah, tapi ternyata dalam banget maknanya. Bagian tentang “memori kolektif” beneran bikin mikir sih kalau tanpa sadar kita juga ngekotak-kotakin sesuatu cuma karena udah terbiasa ngeliatnya kayak gitu dari kecil. Hahaha.
Terus suka banget sama part soal “pohon kerdil tetap pohon”, jadi reminder banget kalau setiap orang punya cara tumbuhnya sendiri. Jadi jangan suka judge apa pun yang dilakukan orang lain hanya karena caranya berbeda.
Iya bener banget, ini terkait memori kolektif. Kita seringkali menangkap semua hal itu ya mesti seperti itu. Kayak yang mba Dinda bilang, daun biasanya berwarna hijau. Dan lingkungan sekitar membuat kita yakin akan hal itu, padahal banyak banget daun berwarna lain ya.
Pun dengan pohon, rasanya nggak semua pohon berukuran jangkung atau tinggi. Banyak pohon mini namun tetap disebut pohon juga.
Makasih lho sudah kembali menambahkan perspektif yang sangat masuk akal dan menyadarkan pentingnya untuk menelaah secara maksimal agar tidak hanya terjebak sama memori kolektif saja.
Betul juga. Kadang ragu menyebut tanaman di bawah 2 meter sebagai pohon, seperti pohon singkong, pohon jagung, atau pohon pepaya yang masih kecil. Setelah dipikir-pikir, mereka tetap pohon.
Ngomong-ngomong, sepertinya kita sepantaran juga usianya kak 🙂
Memori kolektif sangat berpengaruh pada proses berpikir seseorang bahkan hingga dewasa. Mungkin karena pengetahuan itu diberikan ketika nalar kita belum berkembang, ya jadinya itu yang tersimpan. Seiring waktu semakin banyaknya informasi, kebebasan berpikir itu bukan lagi menjadi sesuatu yang patut diperdebatkan.
bagus banget perumpamaannya, jadi bukan hanya manusia saja yang berbeda tetapi pohon juga, dan balik lagi ke setiap objek nya bahwa ukuran bukan menjadi penentu keberadaan.
Bikin inget masa kecil aku di dekat pohon besar bareng temen2 sekolah dan disuruh gambar wkwkw. Rasanya kayak memori kolektif yang terus nempel, bener-bener nostalgia yang hangat. Sampai akhirnya aku punya pohon mangga dirumah hehe
iya juga, ya… bonsai ytermasuk pohon juga ngga sih? hahah jadi inget dulu kalau ditanya besok amu jadi apa? jadi pohon.
Sebuah pendeskripsian yg unik. Dan aku tertarik dengan sepenggal kalimat ini “ukuran bukan menjadi penentu keberadaan. Sama halnya seperti pohon yang tumbuh dengan tinggi berbeda.” Seperti sebuah reminder ini bukan sekedar tentang pohon tersirat makna.
Sejauh ini memang tak sedikit kita pun terpengaruh dengan memori kolektif
Dulu biar gampang ya ngikutin standar aja termasuk soal pohon ini. Gambar gunung saja harus begini begitu. Namun saat sudah dewasa, pandangan tentu banyak berubah. Menjadi berbeda itu gak masalah
Bagus banget filosofi nya… benar banget banyak yang melupakan pohon tetap lah pohon meski ukurannya masih kecil atau sudah semakin besar karena usia…
Tulisan yang menarik nih, dari bahasan tentang pohon kemudian meluas ke bahasan tentang memori kolektif.
Jujur, tuk pengalaman pribadi yg berkaitan dgn memori kolektif sepertinya tidak ada, ato brgkali saya lupa ya hehe.
Dan tuk soal aktifitas menggambar saya setuju, kalo setiap individu punya kebebasan utk berkreasi tanpa harus dibatasi oleh standar yg ada di lingkungan kita sehari-hari.
Memang kadang kita menemukan satu titik yang disebut standar untuk sesuatu. Contoh sederhana itu kayak anak pintar itu standarnya ranking 1 padahal belum tentu demikian adanya
Wah tulisannya cukup dalam untuk membuat orang berpikir tentang identitas diri. Tak perlu jadi seperti orang lain. Bertumbuh itu punya prosesnya sendiri.
Daku tuh kalau denger kata pohon, ya imaji langsung terbang bahwa si pohon lebih tinggi dari daku.
Soalnya rata² memang ketemunya begitu.
Padahal sih ada juga pohon yang lebih pendek dari daku, tapi daku menyebutnya malah tanaman wkwkwk
Benar juga, toh bonsai tetap disebut pohon walaupun dikerdilkan ya..
Mungkin sudah waktunya kita melihat segala sesuatu dari sudut pandang baru agar tak terjebak memori kolektif bersama
Wah kalau saya menggambar pohon… Waduh gak jadi deh ngegambarnya. Hehehe. Anak saya juga perlu baca tulisan ini
36 Responses