Home / Jendela

Affective Publics dari Ledakan Linimasa dan Sebuah Ledekan

Senjahari.com - 19/12/2025

Affective publics dan bunga maman ungu

Penulis : Dinda Pranata

Anak Setan!

Tujuh menit sebelumnya,

Duarr!

Rasanya siang itu dadaku bergemuruh mendengarkan cerita Tresno yang didorong oleh anak tetanggaku. Bocah yang biasanya pulang main cengas-cenges (ketawa), kini menangis. Asap di kepalaku sudah meninggi.

Kobaran api naik level. Marah. Siap meledak. Apalagi saat kutahu yang mendorong bocah itu adalah anak Bu Susi. “Kurang ajar!” seruku lirih. Penuh tekanan. Seperti tenggorokanku siap mengiris sisi-sisi di dalamnya.

Baca juga: Ibu Rumah Tangga Serasa Wanita Kantoran

Api sudah membakar. Syarafku mendadak mati rasa. Ada arus pendek dan seketika pikiranku padam. Aku mengambil ponsel di atas meja. Lalu dengan jemariku yang tak terkontrol oleh pikiran, sebuah status di linimasaku mencetak huruf-huruf tebal. Huruf kapital. Termasuk tanda seru yang berderet. ANAK SETAN!

Dadaku naik turun, rasanya darah berhenti masuk ke kepala. Di tujuh menit itu, ada yang berubah dari diriku.

Tujuh Menit dan Tujuh Linimasa

Sebuah pesan instan masuk, dari seorang kawan sekaligus tetangga. Pesan yang mengomentari status-status linimasaku.

Say, kau kenapa? tanya pesan itu. Saat pikiranku sedang mati, dada kembali bergemuruh. Bukan marah. Bukan juga lega. Atau … mungkin keduanya.

Secepat aku mengetikkan status-status amarahku di media sosial, aku menjawab pesan kawanku itu. Anak Bu Dewi mendorong anakku di depan rumah!

Baca juga: Makan Bergizi Gratis dan Kenapa Gratis Itu Masalah?

Masih dengan tanda seru yang sama banyaknya. Aku melihat kawanku itu sedang mengetik. Terbaca dari pesan itu. Lalu jawabannya sungguh di luar dugaan. Di rumahmu kan ada CCTV-nya? Sudah di cek kah?

Deg!

Sebuah ingatan yang benar-benar terlewat. Bukti. Aku menepok jidat sambil mengadu. Lalu kawanku mengetik lagi sebelum aku merespon. Coba bicarakan dengan Bu Dewi, Say. Karena bahaya kalau kau marah-marah di media sosial.

Biarkan semua orang tahu lah, Gimana anaknya! jawabku tak terima.

Amarahmu bisa beredar. Satu peredaran amarah bisa menyulut banyak ledakan. Bisa-bisa ledakan itu kembali padamu. Itu adalah pesan terakhir dari kawanku.

Baca juga: Ketika Lentera Tak Harus Dengan Api

Dadaku masih terguncang. Kupikir kawanku akan membelaku, tapi ternyata ia sama buruknya dengan anak orang itu. Makin banyak statusku mendapat atensi, beberapa kawan ada yang ikut prihatin dan beberapa yang lainnya ikut mengomentari. Amarah itu seperti tersiram minyak. Makin meletup.

Sampai kuingat CCTV yang harus kucek. Kuperhatikan adegan demi adegan. Hingga … tujuh menit dan tujuh linimasa yang sudah kubuat itu mendadak seperti batu es yang tidak bisa meleleh.

Reinkarnasi Emosi Dalam Tubuh Baru

Affective Publics Zizi Papacharissi
Introduction of Affective Public. Design by canva

Cerita anakku memang benar, tapi tidak sepenuhnya benar. Selalu ada sebab-akibat dalam setiap kemungkinan kejadian. Tidak pernah tunggal. Kupandangi rentetan pergerakan dan suara di CCTV, anakku lah yang mulai mendorong anak Bu Susi dan pertengkaran pun terjadi hingga anak Bu Susi mendorong si Tresno.

Kuputar adegan itu berkali-kali. Masih berusaha mencari celah untuk pembenaran atas apa yang kulakukan. Nihil. Lalu, aku beralih ke tujuh linimasa status yang sudah kubuat. Jempolku bergetar. Antara takut dan lebih dari setengahnya adalah malu. “Benar kata kawanku,” gumamku.

Tak ada yang bisa kulakukan. Tak ada pula yang bisa kuputuskan. Aku meletakkan ponsel. Mengambil sapu dan berjalan ke teras. Membersihkan debu di lantai keramik itu. Seperti membersihkan sisa-sisa malu dalam kepalaku.

Baca juga: Pintu Everlasting dan Antrian Selembar Administrasi

Di sela-sela semen retak di depan teras. Sesuatu berwarna keunguan menyembul dan melambai. Warnanya mencolok di antara gulma dan rerumputan hijau yang subur di musim hujan. Ia tidak gaduh seperti status-statusku itu, tapi emosi ceria rumput itu tetap sampai padaku.

“Nyonya besar,” sapa gulma itu, “aku tahu kau marah. Tapi cobalah berayun diam sepertiku, maka semua akan baik-baik saja.”

Aku mendecih, merasa gulma ini sok tahu seperti pesan-pesan kawanku. “Memang kau punya emosi?” tanyaku. Alisku berkerut.

“Aku tidak tahu apa itu el-mol-si,” katanya sambil dahannya berayun pelan. Aku merevisi kata-katanya sembari tersenyum.

“Tuh lihat. Kau mulai tersenyum Nyonya Besar,” sahutnya lagi. Aku hanya menghela nafas panjang.

Baca juga: Belajar Sih Nggak Harus dari Pakar, Tapi Jangan yang Asal Viral!

“Nyonya besar belum tahu, akhir-akhir ini emosi sudah bereinkarnasi ke tubuh-tubuh baru,” jelasnya.

“Apa maksudmu?”

“Kata burung gereja yang sering hinggap, tubuhnya bernama media sosial,” jawabnya. Dengan ulu hati yang seketika terjun bebas. Istilah itu rasanya pernah kudengar sebelumnya.

Maman Ungu dan Tubuh-Tubuh Emosi

Aku berkenalan dengan si maman ungu, bunga mungil yang tak bisa mengucap kata emosi. Rasa-rasanya lima menit kuberjongkok tadi terasa seperti mendengarkan ledekan. Meski bukan ledekan meledak.

Aku tak menyadari kemarahan yang kulakukan ini punya nama jauh sebelum fenomena ini kukenal luas. 2015. Seorang akademisi dan seorang dosen bernama Zizi Papacharissi, memperkenalkan reinkarnasi tubuh-tubuh emosi di era digital. Affective Publics. “Publik yang terbentuk di media sosial dari perputaran emosi dan muncul melalui situasi sementara. Sering kali spontan saja,” gumamku membaca sebuah jurnal.

Pendaran cahaya di tubuh BoTak (asisten digital di Laptopku) menunjukkan rangkaian informasi lewat sebuah jurnal. Diam-diam jurnal itu menatapku, seolah kata-kata yang muncul itu lebih ingin mencolok mataku, atas tindakan yang kulakukan tujuh menit lalu. “Sial!” kutukku.

“Mengapa semua kata-kata ini terdengar seperti ledekan. Tak dari si Maman Ungu atau jurnal sialan ini,” kataku kesal. Affective Publics bergerak dari emosi ke perangkat lalu ke jejaring yang lebih luas. Satu status personal bisa saja membawa amarah dan emosi ke ruang yang lebih luas. Aku membaca pelan-pelan pesan-pesan yang masuk ke kotak pesanku. “Bu Ana simpati, Bu Rika ikut marah, dan Bu Laila …,” kata-kataku terhenti. Mataku membelalak. Bu Laila membagikan ulang statusku dan menyebutkan nama Bu Su**, (meski tersensor) di statusnya.

Apa yang kulakukan tidak membawa masalah makin reda. Tapi, sebaliknya. Kawanku, Maman Ungu dan jurnal ini sudah memperingatkanku, tanpa aku sadar sudah masuk ke dalam domain ketakutan Affective Publics. Ini membuatku merasa seperti terhantam diam-diam. Tanpa peringatan.

Yang Tertinggal Setelah Emosi Berpindah Tubuh

Aku menghapus tujuh linimasa ledakan emosi di tujuh menit yang lalu. Jempolku bergetar dan entah berapa kali aku menekan tombol hapus di layar. Rupanya meski listrik di kepala sudah menyala, ia justru tak bisa menemukan satu kata yang benar untuk dibagikan. Layar ponselku tiba-tiba menutup rapat celahnya.

Satu menit berlalu. Jempol masih naik turun samar. Dua menit .. lima menit … sampai menit ke sembilan hanya satu kata yang muncul. MAAF dan tanda titik. Lalu aku menekan tombol kirim ke lini masa.

“Butuh lebih dari tujuh menit untuk satu kata maaf,” kataku. Kali ini tidak marah. Hanya rapuh. Mungkin juga malu (yang tak ingin kusebut namanya kala itu).

Di antara tujuh menit ledakan di linimasa, ada satu ledekan yang tak menertawakan dalam lima menit. Bunga Maman Ungu. Lalu, apa yang tertinggal setelah emosi berpindah tubuh?

Aku masih tak sanggup mengakuinya.

Gimana menurutmu narasi ini gengs? Adakah yang pernah mengalami atau berhadapan dengan orang-orang seperti ini, yang tahu-tahu meledak di media sosial tanpa filter? Bisa dong kalian berbagi pengalaman berharga itu dan gimana kalian menyikapinya? Siapa tahu cara dan pengalaman kalian bisa bermanfaat bagi mereka yang mengalami kejadian serupa.

Eits, tapi tetep ya dengan bahasa yang bijak dan sopan, semata-mata menjaga jejak digital kalian tetap bersih.

Have a nice day! Jya, mata ne~

Source:
Lünenborg, M. (2019). Affective publics. In J. Slaby & C. von Scheve (Eds.), Affective societies: Key concepts (pp. 320–329). Routledge.

Papacharissi, Zizi. “Affective Publics and Structures of Storytelling: Sentiment, Events and Mediality.” Information, Communication & Society, no. 3, Informa UK Limited, Nov. 2015, pp. 307–24

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment