Amba, dalam kisah Mahabarata adalah putri raja Kasi yang memiliki kekasih bernama Raja Salwa. Sayangnya karena keinginan kerajaan Hastinapura yang menginginkan putri Amba menjadi ratu di sana, ia bertemu dengan Bhisma—yang kemudian berhasil mengalahkan Raja Salwa—di Swayambara. Tapi dalam buku Amba karya Laksmi Pamuntjak, dia memilih menjalani takdirnya yang berbeda dari kitab Mahabarata itu.
Bagaimana kisah Amba ini? Apa menariknya buku ini?
Amba Kinanti lahir di kota kecil Kadipura, Jawa Tengah di era tahun 50-an. Ibunya bernama Nuniek—wanita traditional—yang sangat terlatih menjalankan peran wanita ranjang, dapur, manak dan macak. Lalu bapaknya—Sumintro—seorang yang cukup berwibawa karena menjadi kepala sekolah di kota itu.
Ia memiliki saudara kembar, Ambalika dan Ambika. Mereka berdua sangat cantik dan secara fisik berbeda dengan Amba. Tapi di balik parasnya yang tak secantik saudara kembarnya itu, ia memiliki daya tarik tersendiri yaitu prinsip dan tekadnya sendiri. Sejak kecil ia diam-diam menilik buku-buku sastra milik bapaknya yang “terlarang” dan meminati bacaan-bacaan yang sangat tidak umum bagi perempuan di masanya.
Ketertarikan akan sastra membuatnya bertekad untuk menempuh pendidikan tinggi di UGM, Yogyakarta dengan mengambil jurusan Sastra Inggris. Tekad itu membuat ibunya kalang kabut dan ketakutan karena keputusan Amba sangat tidak lumrah bagi perempuan dalam menempuh pendidikan tinggi. Tapi berkat dukungan bapaknya dan yang secara tidak sengaja bertemu dengan Salwa di UGM, keluarganya pun akhirnya setuju menyekolahkan dia di perguruan tinggi itu. Alasannya karena Salwa seorang pria yang santun dan bisa mengayomi Amba.
Orang tua Amba dengan segala cara berusaha mendekatkan mereka, walau Amba sebenarnya memiliki tendensi untuk tidak menginginkan laki-laki. Tapi lambat laun hubungan yang tak ia ingini itu tetap berjalan sebab Amba yang bagaimanapun seorang wanita akan luluh dengan kesetiaan Salwa. Luluh tidak berarti tunduk, dan luluh tak berarti cinta. Itulah yang Amba rasakan. Ada sesuatu yang kosong ketika Salwa dekat.
Novel Amba berlatar tiga periode tahun 1956, tahun 1965 dan tahun 2006 . Perjalanan Amba dan orang sekelilingnya tidak bisa lepas dari pergerakan politik yang naik turun. Awal-awal kegelisahan di mulai ketika Sang bapak dianggap “cari aman” karena tidak memilih untuk ikut partai kanan yang digawangi para kyai. Nggak heran sang bapak sering mendapat omongan miring bahwa ia bukan agama Islam murni karena membaca kitab-kitab Mahabarata atau serat centini. Namun , Amba tahu bahwa bapaknya hanya tidak ingin terlibat lebih jauh ke dalam politik yang kelam.
Kondisi negara yang amburadul dengan pilihan politik sayap kanan dan kiri semakin pelik ketika memasuki bulan September, banyak militer yang sering menyisir ke beberapa wilayah untuk membereskan pengikut-pengikut PKI. Tak terkecuali tempat Amba menempuh pendidikan, Yogyakarta. Baik di Kadipura maupun Yogyakarta sama-sama dalam keadaan genting. Mahasiswa yang pro revolusi, yang mendukung PKI bahkan mahasiswa asing ikut terkena imbas dari keadaan politik ini.
Hingga suatu hari ia melamar magang di sebuah rumah sakit di Kediri untuk memperlancar kemampuan bahasa Inggrisnya. Di rumah sakit itulah ia bertemu dengan Dr. Bhisma Rashad yang menjadi kekasih gelapnya. Selama di rumah sakit itu mereka bercumbu, memadu kasih dan bertukar pikiran, yang mana lebih banyak Bhisma yang menceritakan kisahnya hingga Amba hamil. Dalam kebersamaannya bersama Bhisma ia menyadari apa yang selama ini ia inginkan tapi tak ia dapatkan dari Salwa. Sebuah petualangan dan sensasi emosi yang menggebu.
Sayangnya, ketika hangat-hangatnya kisah cinta mereka. Situasi politik membuat hubungan mereka menjadi pisau bermata dua yang menyakiti keduanya, termasuk Salwa yang mencintainya sepenuh hati. Apa tantangan dari membaca novel Amba ini? Apa hal menarik yang bisa kita kulik dari kisah cinta klasik di era berdarah?
Kalau dari unsur instrinsiknya, penulis menuturkan novel Amba dengan alur campuran (maju dan mundur). Untuk setting waktu ada pada periode tahun 50-an, tahun 60-an dan tahun 2000-an sedangkan untuk lokasinya ada di Yogyakarta, Kediri, Pulau Ambon, Pulau Buru dan Jerman. Unsur itu sangat mudah terlihat dibandingkan dengan unsur ekstrinsik dari novel ini
Unsur ekstrinsik di Novel kelam ini cukup banyak yang bisa digali seperti bagaimana novel ini dilihat dari kacamata politik, budaya, pendidikan, psikologis hingga sosialnya. Tapi aku nggak akan bahas semuanya, yang ingin aku bahas adalah bagaimana novel ini menunjukkan kondisi sosial dari representatif tokoh utamanya saja ya!
Ada nggak sih tantangan membaca buku ini?
Buku setebal 577 halaman ini menarik banget. Walau ini buku sejarah, tetapi Mbak Laksmi Pamuntjak sukses membuat buku sejarah menjadi buku yang nggak ngebosenin buat dibaca.
Lalu kurangnya apa sih buku ini?
Bagian tersulit kesedihanku sebelum 1976 tak saja berkaitan dengan apa yang terjadi pada Bhismam apakah ia ditangkap atau terbunuh, di Yogya atau di tempat lain, tapi juga tanda tanya besar seputar malam yang mengerikan itu di Ureca. Apa yang terjadi sebenarnya yang menyebabkannya lepas dari sisiku?
AMBA hal. 469