Novel Kenanga ini adalah novel kedua yang aku baca dari penulis Oka Rusmini. Dari novel yang pertama yang aku baca yaitu Tarian Bumi, aku merasa bahwa penulis kelahiran Bali dan juga seorang Ida Ayu ini berusaha menuliskan kegelisahannya yang terlahir dari kasta Brahmana.
Tapi ada hal menarik yang aku tangkap pada novel Kenanga yang aku baca. Kira-kira kisah Kenanga ini seperti apa? Apa yang bisa kita kulik dari novel Oka Rusmini ini? dan Bagaimana hal-hal subyektifitas tentang novel ini?
Kisah ini berawal dari seorang wanita bernama Ida Ayu Kenanga yang tidak memiliki ketertarikan untuk membina hubungan dengan pria. Ia bekerja sebagai seorang dosen di salah satu universitas di Bali. Sebagai seorang dosen sastra ia cakap, pandai dan sering mengundang iri hati sesama rekan kerjanya. Karena keterampilan dan kecakapan otaknya bahkan seorang Profesor bernama Rahyuda menyukai dan menyayanginya, hingga banyak muncul desas desus di lingkungan kerjanya bahwa ia ada main dengan sang Profesor.
Meski banyak gosip hilir mudik mampir ke telinganya, Kenanga tidak pernah sedikit pun peduli dengan itu. Baginya hanya ada satu nama pria yang bisa menarik perhatiannya, dia adalah Bhuana. Sayangnya, pria yang ia pilih ini juga merupakan pria yang Kencana—adik Kenanga—pilih sebagai suaminya.
Begitupun dengan Bhuana, hatinya tertambat pada Kenanga, tapi mengapa justru ia harus menikahi Kencana? Usut punya usut, ini semua sudah bagian dari rencana Kencana yang sejak awal menyukai Bhuana tanpa sepengetahuan Kenanga. Ia mendekati keluarga Bhuana dan menarik perhatian mereka dengan paras ayunya hingga mengundang jatuh hati semua pihak. Bagi keluarga Bhuana, tidak ada yang lebih pantas dari Kencana untuk menjadi istri.
Baca juga: Kitalah yang Ada di sini Sekarang by Jostein Gaarder
Meski Kenanga adalah seorang Ida Ayu, pemikiran tajam akan adat dan parasnya yang tak terlalu cantik membuatnya aneh disebut sebagai Ida Ayu. Tapi karena pemikiran itu yang justru menarik Bhuana untuk memiliki wanita itu. Akhirnya karena hasrat mereka tak bersatu, terjadilah hubungan terlarang antara Bhuana dan Kenanga. Benihnya tertanam dalam tubuh Kenanga.
Sebagai kompensasi, Kenanga akan melahirkan jabang bayi itu sedangkan Bhuana akan menikahi Kencana dan membahagiakan gadis itu. Buah hati hubungan itu lahir, tapi ia harus sembunyi sebagai seorang Sudra dan tiba saatnya nanti ia akan mereka selundupkan ke dalam keluarga Kenanga sebagai seorang abdi bernama Luh Intan. Serangkaian kepiluan terus hadir dalam hidup Kenanga dan Luh Intan, hingga nantinya bisa menghapus prasangka bahwa wanita harus tunduk pada patriarki yang menyiksa martabatnya.
Novel Kenanga ini aku kira adalah bagian dari cerita Tarian Bumi yang pernah aku ulas sebelumnya. Tapi, ternyata kisah ini berbeda dari cerita Tarian Bumi, yang mengangkat isu serupa yaitu kasta dan wanita. Masalah kasta ini cukup pelik dan sangat terasa dari buku Kenanga ini. Jika Tarian Bumi lebih menonjolkan pergulatan pemikiran kaum perempuanya, Kenanga justru lebih menonjolkan kompleksitas dari lingkup sosial kasta bangsawan itu sendiri.
Kompleksitas hubungan antara sisi religi, sisi budaya dan sosial terlihat dari bagaimana dilema tokoh-tokohnya. Seperti contohnya Mahendra—pria muda yang dekat dengan Kenanga—yang seorang keturunan dari Ahli potong gigi. Meski ia sudah menekuni bidang arsitektur, dia masih membawa gelar bangsawannya sekaligus pekerjaan turunan sebagai seorang Ahli mepangkur. Jadi seorang bangsawan tidak serta merta membawa beban nama, tapi beban tugas dari generasi sebelumnya juga beban tanggungjawab sosial sebagai puncak kelas sosial.
Kita nggak cuma berkenalan kesulitan dan kebanggan sebagai seorang bangsawan, tapi ada bagian tak terlihat dari novel ini yang menyentuh aspek sosial humanisme.
Baca juga: Novel Emma: Idealitas Wanita di Era Victoria
Lalu bagaimana subyektifitas terhadap Novel Kenanga?
Secara pribadi Novel Kenanga lebih mengena daripada novel Tarian Bumi. Pada kisah antar tokohnya seolah membawaku pada sebuah memori lama tentang darimana aku berasal dan bagaimana aku orang tua membesarkanku jauh dari Pulau Ini. Ada beberapa hikmah yang kurasakan sebagai orang Bali yang merantau dan senada dari buku ini.
Aku bisa bilang buku ini cocok buat kalian yang suka baca buku feminis tapi nggak mau yang rumit. Ada yang sudah baca buku ini?
View Comments
Belum pernah baca buku ini. Tapi kalo gak salah pernah baca salah satu cerpen Oka Rusmini. Lupa di mana. Judulnya apa. Buku-buku kumpulan cerpen dan novel koleksi saya pada kena rayap padahal udah ngumpulin bertahun-tahun. Kalo gak salah baca Oka Rusmini di salah satu buku yang hancur itu. Hiiikksss. Saya cenderung suka lho sama cerita-cerita yang rada feminis tapi gak rumit begini.
Pas baca judul tulisannya saya langsung tertarik untuk membaca buku aslinya. Meskipun ngga paham soal adat dan kasta.