Saat kita masuk ke dapur, secara otomatis membuka kulkas dan melihat pilihan bahan makanan yang bisa kita olah menjadi makanan. Seringkali ketika kita membuka kulkas saking banyaknya pilihan bahan atau hmm … justru bahannya terbatas kita jadi merasa kebingungan sendiri mau memasak menu apa.
Apakah kita ingin mencicipi nasi goreng khas Jawa dengan sayur yang melimpah, soto ayam berkuah gurih, atau rendang sapi yang empuk dan pedas? Atau mungkin kita malah pengen makan hidangan internasional semacam burger, pizza veggie atau salad karena sedang diet?
Tapi nih, Sebelum mulai memasak ada hal krusial yang sering kita lewatkan saat memilih menu-menu makanan tersebut. Pernahkan kita lebih kritis dalam memilih bahan-bahan makanan dan cara pengolahan di dapur saat membuat menu-menu itu. Misalkan saja bagaimana sayur-mayur dan daging yang dihasilkan oleh produsen? Apakah mereka menggunakan produk kimia di dalamnya dan bagaimana pengolahan makanan sampai konsumen?
Food sustainability adalah upaya untuk membuat atau memproduksi makanan yang ramah lingungan, menggunakan sumber energi yang bersih dan meningkatkan kesejahteraan semua lapisan masyarakat. Dalam penerapan food sustainability setidaknya ada tiga isu penting.
Meski bernama green ingridient, tapi proses green ingridient itu tidak sehijau kenyataannya. Lalu mungkinkah anak muda sekarang bisa membantu mengurangi carbon footprint di dapur bumi ini?
Baca juga: Energi Nuklir di Negeri yang Sering Jadi Sasaran Hacker! Emang Boleh Se-Skeptis Itu?
Dapur bumi makin lama makin berantakan. Sayuran yang semula hijau dalam waktu lama, bisa layu dalam hitungan menit kalau enggak diseprot cairan kimia. Kulkas di dapur bumi tampaknya tidak bisa berfungsi karena pengatur suhunya sedang kacau. Kalau tidak bertindak, apakah kita yakin bisa menyajikan makanan yang baik?
Salah satu komunitas bernama Eathink juga berpikir serupa pada keseruan acara tanggal 20 kemarin. Mbak Jacualine pun ngobrol isu jejak karbon dari masalah makanan yang kita konsumsi. Semisal kita penggemar steik daging saja, olahan mahal dan enak itu menyumbang setidaknya 28 kg/kg daging sampai 36kg/ kg daging pelepasan gas CO². Bagaimana kita yang sedang diet, sehingga mengkonsumsi salad ayam? Salad ayam menghasilkan setidaknya jejak karbon yang lebih kecil.
Itu masih dalam menu yang diolah lo ya! Kalau ternyata dari makanan yang kita makan tidak habis dan menjadi food waste tidak terolah, jejak karbon akan bertambah. Dalam sebuah studi nih tiap orang di dunia membuang 8,7 kg daging sapi per tahun, jika kita kalkulasi maka setidaknya manusia penggemar steik daging yang tak tak habis bisa menyumbang pelepasan 278,4 kg gas karbon. Apa sebaiknya diet?
Sementara kita diet untuk tampil cantik, tapi lupa kalau diet ini tak melulu soal cantik melainkan jadi sehat. Nah, salah satunya adalah dengan menggunakan konsep diet karbon. Apaan tuh, neng?
Diet karbon merupakan konsep diet yang bertujuan untuk mengurangi jejak karbon dengan mengkonsumsi makanan yang sehat seperti mengatur kecukupan karbohidrat, mengurangi makanan mengandung pemanis buatan, mendorong konsumsi makanan rendah lemak.
Baca juga: Sekelumit Kisah Bumi, Hutan dan Penghuninya
Diet karbon ini juga diterapkan dan diupayakan oleh salah satu komunitas Skelas Siak yang memberdayakan UMKM untuk mengolah makanan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan menggunakan green receipt dari dapur bumi. Salah satu produk yang berhasil mereka bawa adalah produk minuman nanas. Nanas sendiri nyatanya bisa ditanam di lahan gambut dan tentu saja buah ini bisa menyelamatkan lahan gambut yang terus terkikis akibat pemanfaatan lahan.
Lalu juga ada pemanfaatan ikan gabus dengan membudidayakannya agar lahan gambut tetap basah. Ikan gabus yang hasil budidaya ini nyatanya bisa memberi dampak pada banyak masyarakat Siak, Riau. Mereka bisa mengolahnya dengan menjadikan makanan rendah lemak dan menyehatkan. Ikan gabus bisa kita olah jadi tepung, bisa makanan kukus, atau panggang. Terus kalau chef-nya sudah ada, makanannya sudah terpikirkan, bagaimana proses mengolah makanan di dapur bumi?
Mengolah makanan dari lahan untuk bisa sampai ke perut ini prosesnya tidak bisa sembarangan. Mulai dari memilih bahan untuk green receipt sampai energi apa yang kita gunakan saat memproduksi produknya. Apalagi kalau kita bicarakan masalah perubahan iklim yang kian hari kian mendekati cewek-cewek lagi PMS. Pagi kadang dingin, siang panas menyengat dan malam jadi dingin lagi. Sebelum berangkat ke pasar saja nih, para chef di dapur bumi pasti sudah berfikir, “nanti makan apa ya?” dan “enaknya nanti olahannya jadi seperti apa ya?”
Nah, dalam pemikiran pengolahan jadi apa ini biasanya enggak lepas dari energi yang akan kita pakai di dapur bumi. Isu transisi penggunaan energi ini kian santer lo mengingat kita dalam radiasi panas yang menyengat. Semakin banyak komunitas lingkungan dan energi yang mendorong banyak pihak segera mengganti energi tak ramah lingkungan, baik itu di dapur bumi kelas rumah tangga dan penghasil listrik, ke energi hijau.
Salah satunya komunitas trend asia yang kebanyakan masih diisi oleh anak-anak muda pegiat energi dan lingkungan. Mereka mendorong pemerintah dan masyarakat untuk mengganti penggunaan energi untuk memasak/menghasilkan olahan ke yang ramah lingkungan. Apalagi masih banyak lo baik itu rumah tangga dan industri yang menggunakan energi tak ramah lingkungan seperti gas alam, batu bara, dan yang paling baru malah pemerintah berencana menggunakan nuklir dalam proses pengolahan produknya (listrik). Serem apa serem banget nih?
Baca juga: Energi Terbarukan Indonesia dan Petualangan Avatar
Padahal di dapur bumi sendiri banyak sekali sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan seperti tenaga matahari yang enggak ada habisnya, ada juga tenaga angin dan air. Kalau mau buat listrik kenapa enggak diperbanyak PLTS-nya? kalau lahannya kurang, kenapa enggak mau pakai gedung-gedung terbengkalai bekas proyek mandek? dan masih banyak ‘kenapa enggak’ yang lain.
Di dapur bumi yang penuh dengan orang memasak baik bahan makanan, produksi barang sampai produksi energi kita bisa #bergerakbedaya untuk mulai menggunakan energi bersih. Kita bisa mulai menggunakan green receipt untuk memasak di dapur bumi. Green receipt itu bisa mulai dari menanam sayuran yang berdampak baik bagi ekosistem, sosial dan budaya. Lalu metode masak yang menggunakan energi terbarukan dari ekosistem hijau di bumi (matahari, air, angin). Serta tak lupa jumlah hasil produksi tentu jangan berlebihan mengingat bumi juga punya kapasitas dalam daya tampungnya.
Yuk bersama dengan #EcoBloggerSquad dan para komunitas warrior mendukung resep hijau bumi untuk amunisi perang melawan global boiling. Jadi, mau menu apa hari ini?
Punya pengalaman memasak yang unik menggunakan green receipt di bumi? atau kalian punya opini terkait resep hijau di dapur bumi? kalian bisa share di kolom komentar. Eits! komennya yang sopan dan bijak ya, semata-mata agar jejak digitalmu tetap bersih!
Happy Wednesday!
Source:
https://www.greeners.co
https://brgm.go.id/
https://kompas.com/
View Comments
Tentang ikan gabus itu, kalau dibikin pempek termasuk resep hijau gak?
BTW kesadaran utk tidak buang makanan dan bahan makanan wajib dipergencar srjak dini.
Makan makanan dari kebun sendiri adalah cara saya menerjemahkan dapur bumi, Mbak. Tentu saja sangat ingin kelak punya sapi yang kotorannya bisa jadi gas untuk memasak. Unlimited gas, pokoknya. Saya pernah dolan ke rumah teman yang punya 4 sapi perah dan menggunakan teknologi ini.
Setelah baca tulisan ini jadi makin tersadar bahwa ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk melindungi bumi dari penumpukan gas karbon. Food sustainabillity tidak hanya sehat untuk tubuh tapi juga sehat untuk bumi.
jadi lebih paham mbak tentang konsepnya, selama ini masih asal konsumsi aja, mulai coba untuk memperhatikan volume yang dimasak dulu agar tidak berlebihan dan bahan yang dimasak, perlahan mulai bergerak ke yang lain, agar bumi tidak semakin berat bebannya
Sekarang ini bukan lagi saatnya makan sekadar kenyang. Harus dipikirkan bagaimana sebisa mungkin kita tidak menambah beban sampah di bumi ini. Suka sedih kalau lihat makanan yang terbuang, harus bisa lebih me-manage lagi nih agar tidak menyumbang terlalu banyak sampah domestik.
Wah saya penggemar gorengan ini, gak ikan, telor atau cemilan dan pastinya menggunakan minyak goreng dari kelapa sawit. Ternyata perusahaannya juga terlibat praktik green washing. Kudu diantisipasi nih klo bisa dikurangi jejak karbonnya juga dengan makan rebus2an, biar tambah sehat hehe
Saya masih kesulitan menerjemahkan dapur bumi. Apakah yang dimaksud dapur bumi adalah semua makanan yang dimasak di dapur rumah kita masing-masing? Di mana makanan yang dimasak adalah realfood bukan instan?
dapur bumi adalah dapur milik bumi, artinya ya semua bahan-bahan yang diproduksi di bumi kita. Makanan instan kan juga bahannya dari bumi :D
Wah, terima kasih insight nya, mba. Jadi lebih aware nih dengan kebiasaan diri dalam hal makanan pun kita juga bisa melakukan gerakan ramah lingkungan, yaitu dengan tidak mudah membuang makanan (menyiapkan makanan secukupnya), mengolah makanan dengan bijak dan banyak lainnya yang bisa dilakukan guna menyelamatkan bumi.
Kalau ada pabrik tahu di sekitaran rumah malah bisa tuh diubah jadi bio gas. Jadi gak bakal terpengaruh kenaikan harga gas dan listrik.
Harga carbon saat ini $1 perton. Setiap aktifitas online juga menghasilkan carbon.
Saya menggunakan zero carbon/ carbon neutral ketika online. Dan membayarnya melalui blockchain.