Home / Jendela

Logika Jungkir Balik Khas Warga Komplek

Senjahari.com - 12/05/2025

Moral Licensing

Penulis : Dinda Pranata

Kamu sedang menyapu teras saat mendengar suara teguran dari seberang jalan.

“Permisi, Pak! Mohon kalau buang sampah di tong sampah ya,” kata Pak Anton tenang dari terasnya.

“Aduh, cuma bungkus roti kok. Terbawa angin,” sahut Pak Yon enteng.

Pak Anton menghela napas. “Itu bukan angin, Pak. CCTV saya merekam bapak melemparnya.”

“Walah, saya ini lho, selalu ikut kerja bakti. Masak gara-gara plastik kecil dipermasalahkan?”

Baca juga: Diskusi Sehat Bubar, Anggota Barbar

Sesuatu dalam dirimu mendadak tertohok.
Bukan karena roti, bukan pula karena CCTV. Tapi karena kalimat Pak Yon itu.
Dan tiba-tiba kamu teringat sesuatu—yang lebih lama, lebih dalam, dan belum pernah kamu ceritakan ke siapa-siapa.

Jungkir Balik Logika Si Paling Rajin

Suara langkah ibumu membuyarkan lamunanmu. “Kok bengong? Mikirin apa?” tanya ibu.

Kamu hanya menggeleng pelan sambil menatap rumah Pak Yon, yang berhadapan dengan rumahmu. “Bu, Pak Yon itu orangnya gimana?” tanyamu. Ibu kemudian menatap rumah bapak itu.

“Memangnya kenapa? Kamu habis dimarahi Pak Yon?” tanya Ibu sambil mengambil serokan berisi kotoran dari debu-debu di teras.

“Enggak sih, tadi Pak Anton nyamperin Pak Yon. Dia bilang kalau …,” sebelum kamu menyelesaikan kata-kata, ibumu menimpali, “kalau Pak Yon buang sampah?”

Baca juga: Asal Kata Toast yang Bikin Istri-istri Pada Ngambek!

Kamu mengangguk dan heran mengapa ibumu bisa tahu.

“Ibu juga pernah negur Pak Yon kok. Dan … ya.. jawabnya sama,” kata ibumu sambil tersenyum geli.

“Kok malah ketawa, Bu? Itu kan sudah kelewatan kalau gitu,” gerutumu, “padahal ya, Ibu tahu bapak dulu dimaki-maki lho sama bapak itu gara-gara jarang ikut kerja bakti.”

“Namanya juga kompleks perumahan, Nak. Logika orang kadang jungkir-balik. Ya, seperti Pak Yon itu,” kata Ibumu. Meski ibumu seolah tak menganggap serius perilaku Pak Yon, namun di sudut matanya, kamu tahu ada kesedihan yang menggantung.

Moral Licensing

Ibumu masuk ke dapur, meninggalkanmu yang masih mematung di teras. Udara pagi mulai menghangat, tapi pikiranmu membeku di satu pertanyaan: Mengapa ada logika jungkir-balik seperti Pak Yon?

Baca juga: Adarusa Marah, Pemberi Utang Resah

Kamu mengikuti ibumu ke dalam rumah dan bergabung dengan bapakmu yang sedang asik menikmati pisang goreng di teras belakang. “Kenapa murung? Ibu ngomel lagi sama kamu?” tanya bapak.

Kamu menggeleng. “Pak,” panggilmu pada bapak, “kenapa waktu dua tahun lalu waktu Pak Yon bilang bapak itu orangnya sombong, nggak mau kenal tetangga, nggak peduli lingkungan, ibu… bapak… kok nggak marah?” tanyamu.

Bapak yang mengunyah pisang goreng saat itu, mendadak berhenti mengunyak. Menatapmu penuh rasa ingin tahu. “Rasanya bapak belum bilang ya sama kamu,” kata bapak lagi. Lalu bapak mengambil tisu dan membersihkan sisa minyak di jemarinya.

“Bapak, ibu tersinggung! Hanya tidak terlihat,” jawabnya, “orang seperti Pak Yon itu banyak sekali. Ya, yang sering berdalih kalau melakukan kesalahan karena sudah melakukan kebaikan.”

Mata bapak memandang jauh ke kolam ikan. “Itu yang namanya moral licensing. Itu fenomena psikologis yang mana orang akan berpikir berhak melakukan tindakan buruk, karena sudah melakukan tindakan baik sebelumnya.”

Baca juga: Negara Kaya, Tapi Kok Merana Ya!

“Contohnya ya kayak Pak Yon. Dia salah satu warga yang paling rajin ikut kerja bakti termasuk berdonasi, tapi Pak Yon juga sering melakukan dalih-dalih kalau ketahuan buang nasi bungkus atau putung rokok sembarangan. Atau karena kita ikut menyumbang dalam acara tertentu, kita berhak mengatur-atur seenak jidat,” jelas bapak.

“Terus kenapa orang melakukan itu? Itu kan sama saja bohong!” gerutumu.

“Alasannya bisa banyak, Nak!” kata Bapak sambil menghela nafas berat, “bisa karena mereka malu dan untuk menyelamatkan ‘muka’, mereka pakai dalih. Ada juga karena kurangnya kesadarann diri sampai faktor lingkungan sosial yang menormalisasikan perilaku seperti itu.”

Kamu manggut-manggut tanda sudah memahami maksud bapakmu. Tapi dalam dirimu, ada sesuatu yang mengganjal dan ketika kamu memikirkan itu, kamu menyadari satu hal.

Moral Baik Tidak Datang Karena Absensi, Tapi Karena Kesadaran Diri

Moral Licensing dan Logika Jungkir Balik

Kerja bakti untuk kebaikan kadang hanya sebatas impresi untuk sekedar tampak memenuhi absensi. Kamu sadar bahwa kerja bakti dan kerja baik apapun jika pada pelaksanaannya tidak menumbuhkan kesadaran, maka akan menjadi semacam pembenaran atas kesalahan yang dilakukan dengan sengaja.

Baca juga: Isi Dompet Boleh Digital, Literasi Tetap Vital Bersama Bank Sentral

“Kita pun jangan cepat-cepat menghakimi, Nak,” kata bapak lagi, “kadang orang yang jarang ikut kerja bakti, kumpul warga, belum tentu anti-sosial, belum tentu juga sombong dan belum tentu juga nggak peduli. Siapa tahu dia sedang berusaha menata kehidupannya, berjuang memenuhi apa yang kurang, tidak sehat, dan hal yang bahkan tidak kita tahu.”

“Tapi kalau jarang muncul nanti malah dianggap anti-sosial, parahnya dianggap kriminal atau teroris,” gumammu sambil bergidik ngeri.

“Ya tidak semuanya, Nak. Ada juga kan kasus-kasus kriminal atau teroris yang ternyata orangnya adalah orang yang terkenal baik, ramah dan sering beramal pada lingkungannya,” jawab bapak.

“Terus gimana kita bisa tahu mana orang yang melakukan moral licensing dan mana orang yang sadar?” tanyamu.

“Kalau kamu mau perhatikan, orang yang melakukan moral licensing itu cenderung defensif, mengungkit kontribusinya sebagai tameng. Selain itu, lebih menonjolkan kontribusinya alih-alih mengubah perilaku buruknya,” jawab bapakmu.

Tiba-tiba suara ibumu datang dari arah dapur, membawa susu coklat hangat buat menemani obrolan pagi itu. “Contohnya kalau di kompleks ini tuh, Pak Anton,” kata ibumu yang ikut bergabung, “Pak Anton itu hampir jarang sekali ikut kerja bakti, tapi saat tetangganya butuh bantuan mereka mengulurkan tangan, rumahnya juga selalu bersih, belum lagi yang hebatnya beliau dan keluarganya nggak pernah buang sampah sembarangan. Sekarang malah ibu lihat, keluarga Pak Anton buat kompos sendiri di rumahnya.”

“Nah, seperti Pak Anton itu, malah bapak melihat lebih tulus. Ya … daripada yang aktif kerja bakti tapi masih suka buang sampah di pekarangan tetangganya,” timpal bapakmu.

Kamu menatap kedua orang tuamu dan sadar mengapa mereka begitu keras mendidikmu selama ini. Bukan karena mereka jahat, tapi ada hal di masyarakat yang salah tapi terlalu halus untuk terasa.

Invitasi dan Diskusi

Sesaat sebelum tidur, kamu menatap langit-langit kamar dan membiarkan jangkrik di halaman depan bernyanyi sebelum kamu menutup mata. Percakapan bersama kedua orang tuamu puluhan tahun itu, begitu melekat dalam hatimu, bahkan mereka sudah tiada.

“Dunia memang butuh lebih banyak orang yang diam tapi hidup dengan logika kebaikan yang konsisten, ketimbang yang rame tapi sekedar di mulut. Karena sejatinya, menjaga itu soal keseharian, bukan sekedar acara mingguan,” katamu pada diri sendiri.

Puluhan tahun kamu menerima didikan itu—tentang kerja bakti, tentang Pak Yon, tentang Pak Anton, dan tentang apa arti kebaikan bertetangga yang sesungguhnya. Dalam diam, kamu mulai memahami bahwa menjadi manusia yang sadar secara moral tak selalu harus tampil di panggung sosial.

Kadang tanpa kamera,

Tanpa mata yang memandang,

Tanpa bibir yang memberi pujian.

Kebaikan justru akan terasa begitu dekat dan nyata.

Bagaimana nih guys, punya pengalaman nggak seputar kehidupan bertetangga yang pelik? Yuk bisa share di kolom komentar ya. Eits, ingat apapun cerita, kisah atau pandanganmu tentang kisah ini, pastikan untuk tetap meninggalkan jejak digital yang positif ya. Semata-mata untuk menjaga diri kalian juga di masa depan.

So, happy friday!

Source:
Khalil, Elias L., and Nick Feltovich. “Moral Licensing, Instrumental Apology and Insincerity Aversion: Taking Immanuel Kant to the Lab.” PLOS ONE, edited by Pablo Brañas-Garza, no. 11, Public Library of Science (PLoS), Nov. 2018, p. e0206878. Crossref, doi:10.1371/journal.pone.0206878.

Gholamzadehmir, Maedeh, et al. “Moral Licensing, Moral Cleansing and pro-Environmental Behaviour: The Moderating Role of pro-Environmental Attitudes.” Journal of Environmental Psychology, Elsevier BV, Oct. 2019, p. 101334. Crossref, doi:10.1016/j.jenvp.2019.101334.

Tinggalkan Balasan ke Lintang Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Agar rumit juga ya bertemu orang2 yang mencari pembenaran hanya karena rajin partisipasi

Sepertinya, saya coba ingat-ingat, belum pernah ketemu model pak Yon di lingkungan saya. Bisa jadi karena saya kurang bersosialisasi dengan lingkungan, atau karena lingkungan kami rumahnya jauh-jauhan, bukan di konpleks perumahan tapi di kampung. Ada ya orang model si Yon ini? Anw, saya menikmati membaca cerita ini. Saya harus belajar lagi bagaimana menyusun narasi blog. Well done 👍

Pernah bertemu dengan orang yang mirip dengan Pak Yon. Tiap terlibat di kegiatan apapun rasanya pengen ngelus dada mulu, wkwk. Pernah juga bertemu dengan orang yang mirip dengan Pak Anton. Biasanya kebaikan orang-orang seperti Pak Anton ini tidak terlalu ‘terlihat’, padahal justru mereka inilah yang justru sering membantu sesama.

Kadang-kadang pernah juga bertrmu orang setipe dengan pak Yon maupun pak Anton.
Berbuat kebaikan dan bersosialisasi merupakan kewajiban setiap orang, dan kebaikan itu tidak hòóarus semua orang yg tahu. Cukup urusan kita dg Alloh saja.

Betulll. Kebaikan itu urusan hamba dengan Tuhannya. Tapiii, kadang ketemu sama orang modelan Pak Yon ini capeee banget, ya nggak?

Bertetangga apalagi dilingkungan kompeks perumahan dengan beragam suku, bahasa, dan kebiasaan memang memunculkan banyak sekali potensi perbedaan, di tambah lagi sifat dan perilaku tiap orang yang berbeda, makin menambah panjang deret perbedaan yang harus dimaklumi saat bertetangga hehehe, tapi aku sekarang mikirnya yang penting baik-baik aja, ngak terlalu dekat juga ngak terlalu jauh karena bagaimanapun tetangga adalah orang terdekat kita apalagi diperantauan.

Maria tanjung sari

Bener dan setuju banget dengan kalimat ini, moral baik tidak datang dengan absensi tapi dengan kesadaran diri. Namun sayangnya banyak orang kurang sadar terhadap tanggung jawab bermasyarakat ya kak.

Bener sih. Kesaran diri yang paling penting apalagi saat ini sudah tidak berlaku… cuman bisa berkoar koar aja….

Seriusan mbak, aku juga punya tetangga kayak gitu. Memang sih tinggal di perumahan tapi bukan tipe yang individu tertutup semuanya, masih tegur sapa, masih ada ibuk-ibuk yang nongkrong di depan gitu. Dan ada aja kelakuan tetangga yang unik bahkan tentang sampah juga kayak gak peduli yang penting udah bayar angkut sampah sama kerja bakti, padaha keseharian cuek dan cukup sering sampahnya berserakan di depan rumahku, ya begitulah tetangga meski ditegur tetap aja, tapi ya berusaha ke tetangga tetap sopan dan menghindari keributan.

Kayaknya aku setipe ama pak anton deh, hehehe. Jarang ikut kegiatan, tapi berusaha sedapat mungkin nggak melakukan hal yang merugikan tetangga. Untungnya tetanggaku juga pada baek2. Nggak terlalu sering ngumpul, tapi tetap rajin bertegur sapa

Pak Yon dan Pak Anton ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita. Berbuat kebaikan karena eksistensi dan niat tulus memang berbeda walaupun mungkin setipis benang. Yang penting minta ridha Allah aja bukan semata manusia. Artikel yang keren banget nih 🙂

Saya sering tidak habis pikir, kalo ada kendaraan, mobil khususnya, gampang banget buang sampah ke jalan, apa di kendaraannya gak tempat sampah gitu, apa itu kaya jadi sesuatu yang lumrah? padahal justeru di jalan banyak banget mata. Nah setuju dengan tulisan ini, kalo gak ada kesadaran, ya jadinya gitu, buang sampah bukan berdasarkan tanggung jawab tapi karena ada yang ngwasin.

Ada, Kak. Awalnya memang kesel, tapi semakin lama ya…sudahlah. Akhirnya kita jadi tahu, mana yang baik dan tidak. Minimal untuk dijadikan pelajaran.

Agustina Purwantini

Rupanya selalu begitu, ya rumusannya. Orang yang suka koar-koar ngomingin kebaikannya sesungguhnya tidak tulus. Cuma ingin dianggap baik saja. Nauzubillahi min dzalik.

Tukang Jalan Jajan

Cerita yang sangat relevan! Fenomena moral licensing ini memang sering kita temui di lingkungan sekitar. Kadang yang paling lantang justru yang paling sering “nakal”. Pentingnya kesadaran diri dan konsistensi dalam berbuat baik, bukan sekadar absensi.

Suka dukanya bertetangga ya… Ada yang seenaknya karena merasa berjasa, ada yang lilahitaallah. Dinamika bertetangga yang mau tinggal dimana saja pasti bertemu orang-orang semacam mereka. Jangankan orang lain, di lingkungan keluarga besar pun pasti ada yang seperti mereka

Kalau aku sih alhamdulillah ngga ada yang model Pak Yon ini di kompleks. Tapi ada juga yang lebih random. Punya tong sampah sendiri tapi kalo buang sampah di tong tetangganya depan rumah. Alesannya katanya biar tong sampahnya ngga kotor. Lha? Logika apa lagi nih?

Ternyata sikap seperti pak Yon ini namanya Moral Licensing. Hmmm memang banyak ya orang seperti pak Yon, rasanya kita menjelaskan pun percuma. Kalau tersinggung kita pun nggak memperlihatkan. Selain kesadaran diri, kayaknya harus ada orang yang menyadarkan deh, wkwkwk.

Pernah banget digosipin kena KDRT. Hanya karena ada satu tetangga melihat mata muka saya sembap. Entah gimana dia langsung menyimpulkan KDRT dan menyebarkannya ke tetangga lain. Untung ada yang konfirmasi hahaha!

Saat itu memang saya abis nangis banget. Tapi, karena anak saya sakit Typus dan penyembuhannya lumayan lama. Sampai badannya kurus banget. Makanya saya lagi sedih banget saat itu.

Kalau di pemukiman rumah ortu dulu yang gak ikut kerja bakti atau ronda malam bisa nyumbang dana aja, walau di perkampungan. Bisa karena kesibukan dll. Kalau di lingkungan rumah lamaku, walau komplek, eh yg ada malah dighibahin wkwkw, untung sekarang tinggal di komplek yg apa2 urusan estate dan pasukan satpamnya.
Tapi soal bertetangga bener kita gak bisa ngejudge apalagi kalau cuma kenalnya sepintas2. Jujurly aku tipe yg gak terlalu suka akrab sama tetangga, sapa senyum seperlunya saja.

Yang namanya bertetangga, ada bermacam sifat orang ya. Kisah di postingan ini banyak terjadi, dan bisa menjadi renungan agar kita bersikap lebih baik

macem-macem juga ya ini tipe warga wkwk, sejujurnya aku paling nggak cocok sama orang yang kebanyakan ngomong dan hobi kepoin hidup orang lain. trus gampang banget ngejudge. kalo udh keliatan ada org bgtu aku auto mundur sih. males bgt

Cerita yang sangat menghibur.. itulah salah satu polemik kehidupan bertetangga, pasti selalu ada aja dramanya..

Oh namanya moral licensing toh. Lumayan sering lihat orang yang kelakuannya seperti itu. Merasa udah berjasa, jadi merasa bebas berbuat apa saja.

Warga komplek sebagian isinya pribadi yg unik2 , hal ini mungkin disebabkan latarbelakang yang tidak berbeda sama kebiasaan diajarkan adab setiap siswa oleh ortunya

25 Responses