Jendela

Sound Horeg Meriah, tapi Ada Kepala yang Pasrah

Siang itu belum juga terik, ketika orang-orang menaikkanku ke atas truk besar yang cukup sempit untuk ukuranku. Meski truk itu sempit, tapi aku cukup senang ketika melihat mereka bahagia. Teruata saat aku bernyanyi.

Pawai pun akhirnya mulai, aku bernyanyi dengan riang dan makin lama tangan mas-mas mulai melambai, memberi tanda agar suaraku lebih maksimal dan membuat seluruh tubuhku ikut bergetar.

Semakin lama truk itu melaju dan jalanan mulai padat, di sanalah aku merasa ada yang tak wajar. Campuran antara sinis, marah sekaligus benci. Barulah beberapa bulan kemudian ketika dalam sebuah pertemuan aku tahu, bahwa aku (speaker sound horeg) selalu jadi kambing hitam atas masalah pawai.

“Meski Tak Bersalah, Tapi Aku Ingin Minta Maaf”

Aku ini cuma kotak hitam dengan kabel-kabel dan suara bass yang menggema. Tapi entah sejak kapan, aku menjadi kambing hitam untuk masalah keributan. Tidak di jalan atau di pemukiman. Contohnya kalau ada yang tak bisa tidur, mereka menganggapku pengganggu. Kalau kaca rumah pecah, maka aku mendapat cap biang kerok. Ini termasuk kalau jalanan bisa mengejutkan jantung pengendara, sekali lagi aku yang salah.

Meski bukan pencipta keributan, aku tetap berbesar hati meminta maaf. Andai aku punya bibir untuk berkata atau berteriak, maka aku pun bisa bersuara seperti manusia yang menggunakanku. Sayangnya, aku hanya benda mati, yang hanya bisa menuruti perintah. Ketika mereka minta volume penuh, aku beri. Mereka pasangku di atas truk, aku patuh. Aku tak punya kuasa.

Baca juga: Diskusi Sehat Bubar, Anggota Barbar

Satu-satunya yang bisa: manusia.

Beberapa bulan lalu, sebuah kampus menyewaku. Untuk pertama kalinya aku bersuara nyaring, tapi bukan membuat keributan. Aku bersuara untuk menjelaskan sebuah ilmu. “Henri Lefebvre mengatakan bahwa ruang itu bukan cuma tempat. Ia adalah produk sosial yang diberi makna,” kata salah satu dosen yang memintaku bersuara, namanya Pak Doni.

“Ada tiga jenis ruang: ruang yang dirancang, ruang yang dihidupi, dan ruang yang dipraktikkan,” kata Pak Doni yang menyewa bibirku untuk bersuara.

“Ruang yang dirancang seperti jalan raya, trotoar, taman atau fasilitas berupa bangunan dengan aturan di dalamnya. Lalu, ruang yang kita beri makna contohnya kenangan ibu-ibu menyapu pagi hari, atau suara gamelan dari kejauhan. Dan terakhir …,” kata Pak Doni yang memandangi para mahasiswanya, “ruang yang kalian praktikkan atau yang kalian tahu adalah ruang gabungan antara ruang yang dirancang dan yang diberi makna, seperti fenomena sound horeg di jalan ketika pawai.”

Aku pun terdiam. Merenung dan tepat saat itu Pak Doni menunjuk ke arahku. “Maafkan aku …,” pikirku saat itu.

Baca juga: Satu Kotak Harapan, Isinya Kejutan yang Tak Diharapkan

Sound Horeg, Pawai dan Aku yang Membisu

Setelah selesai dari ruang kuliah yang sangat luas itu, ke esokan harinya segerombolan bapak-bapak paruh baya menggotongku ke atas truk untuk pertunjukan selanjutnya. Kali ini tidak hanya aku saja yang di atas truk itu. Ada tiga temanku yang berbadan besar diletakkan di atas truk bercat jingga itu. Sementara, aku harus berdiri bagian atas, mereka berdua yang berbadan besar itu.

Kali ini para pria dan beberapa orang menaiki truk dengan memanjat sisi samping truk. Mereka ada di belakangku, mempersiapkan kabel-kabelku dan ketika semua orang sudah siap. Aku harus bernyanyi.

Sound horeg menggelegar. Lantang. Kami bergetar. Sementara, orang-orang berbaris dan berjoget di belakang truk. Pawai pun dimulai.

Truk melaju cukup pelan. Ia mengambil setengah bagian jalan, di mana para kendaraan harus saling mengalah dengan kendaraan dari arus lawannya. Aku bisa tahu setiap suaraku yang bergema, membuat kaca mobil, kaca rumah bahkan jalan ikut bergetar. Tak hanya getar jalan dan kaca, tapi dampak suaraku sampai pada gangguan pendengaran dan ketenangan bagi mereka yang mencari ketenangan.

“Aku ingin berhenti!” kataku. Mereka tak mendengarku. Kadang suaraku serak karena orang terus-menerus menyuruhku bernyanyi. Sesekali aku tersedak. Suara tak keluar. Mereka memukul kepalaku.

Baca juga: Lomba Luka, Siapa Pemenangnya?

Tak ada pilihan lain selain bernyanyi lagi. “Ini lah yang kata Henri Lefebvre dikenal sebagai konflik ruang,” gumamku. Aku berdiri di ruang yang awalnya tenang, jalan yang dipakai untuk lalu lintas, berubah menjadi arena kuasa: siapa yang bersuara paling keras, dia yang menang. Saat itu aku menjadi aktornya.

Hingga sebuah insiden benar-benar membuatku membisu. Membisu untuk selamanya dengan cap penganggu yang terus melekat. Di sana ada sebuah kepala tertunduk yang pasrah.

Aku Benda Mati, Tapi Bersuara

Ketika truk yang membawaku berjalan, ia tidak melihat sebuah dahan membentang dan menghantam bagian belakang kepalaku. Aku tersungkur ke jalan. Cabang pohon patah. Menindih seseorang yang ada di bawahku.

Aku merasa bersalah. Tak berani lagi bersuara. Kabel yang menjadi pita suaraku terputus dan akhirnya aku teronggok di pojok gudang. Berdebu dan membisu. Selamanya.

Ketika kebisuanku merayap. “Ah, seperti ini rasanya hening,” gumamku. Aku mulai membayangkan bagaimana jika suatu saat ketika suaraku pulih dan aku boleh bersuara lagi? Bagaimana jika pawai tetap bisa gempita tanpa mengorbankan ketenangan?

Baca juga: Makan Bergizi Gratis dan Kenapa Gratis Itu Masalah?

Mungkin waktunya manusia berhenti menjadikanku alat untuk menunjukkan gengsi. Jadikan aku medium, bukan monster menakutkan. Atur ukuran suaraku. Sesuaikan dengan ukuran ruang tempatku berada.

Pemerintah bisa hadir bukan sebagai pemadam kesenangan, tapi penata ruang sosial. Ada aturan jam, zona, bahkan pelatihan untuk para pengendali suaraku yang pemerintah keluarkan. Edukasi yang bukan sekadar larangan, tapi pemahaman menyelenggarakan sound horeg ini sesuai dengan tempat dan batas aman. Karena meski aku benda mati, aku juga bagian dari ruang ini. Dan ruang ini bukan milik suara paling keras, atau paling liar. Asal tahu batasan dan tempat yang tepat.

Aku siap bernyanyi kembali. Namun, aku ingin punya peran tanpa harus jadi beban.

Gimana nih guys, ada yang punya pengalaman seputar sound horeg nggak? Mau itu happy atau nggak, boleh dong berbagi di kolom komentar. Eits, tapi tetap jaga lisan komentarnya ya. Semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih.

Jya, mata ne minna~~

Baca juga: Asal Kata Toast yang Bikin Istri-istri Pada Ngambek!

Source:
https://buku.kompas.com/read/5365/sound-horeg-pengertian-asal-usul-dan-fenomena-yang-sedang-tren
https://tirto.id/sound-horeg-pindah-ke-laut-meriah-di-permukaan-riuh-di-dasar-hb7S

View Comments

  • Sound horeg yang sabar yaa....😁😁 memang tugasmu seperti itu. Kalo gak jedag jedug,, ya bikin gaduhh....hehehe

  • ada kalanya Sound horeg jadi hiburan yang membahagiakan, tapi memang bisa jadi menganggu jika digunakan tidak tepat waktunya, misal tengah malam orang tidur engkau berisik, hehehe.. tpi tetap engkau memiliki tugas yang banyak membahagiakan orang orang kok :)

  • Kadang orang yang bikin acara ini gak mikir risikonya. Sound horeg yang biasanya kita anggap cuma alat hiburan, ternyata juga bisa jadi “monster” kalau nggak diatur dengan baik. Ceritanya bikin mikir soal gimana pentingnya menjaga batasan suara supaya nggak ganggu orang lain

  • Aku juga sering keganggu sama sound horeg yang gak ada habisnya. Kadang sampe bikin gak bisa tidur 😩 Semoga makin banyak yang aware dan ada penertiban serius soal ini. Terima kasih udah berani nulis topik kayak gini

  • Aku bukan orang yang suka suara bising. Jujur, kalo denger suara kenceng jantung langsung berdebar. Pliiis, jangan sampe ke kotaku yak! :(

  • Terus terang, aku salah satu yg ga tahan mendengar suara keras dari sound (meski bukan termasuk yg horeg), jantung berdegup lebih keras rasanya tiap kali berdekatan dg sumber suara di pesta/keramaian.. Jadi aku sangat mendukung bila ada penertiban penggunaan nya

  • Saya baru tahu sound horeg gitu ya namanya?
    Tahunya sound system aja gitu. Hehehe ...
    Sebagai manusia, yang diberikan akal dan pikiran, seharusnya kejadian sound horeg yang jatuh dan menimpa korban itu tidak perlu terjadi, kan?

  • Awalnya bingung kok namanya horeg. Karena jarang mendengar kata itu disandingkan dengan sound. Mungkin horeg itu untuk menggambarkan suaranya yang bikin horeg atau menggelegar kali ya?

  • Aku belum pernah lihat dan denger langsung sound horeg, tapi tahu banyak ttg kekesalan orang2 terhadap ini 😞.

    Kalo baca ceritanya, wajar sih mereka marah. Krn keributan yg dibuat. Blm lagi sound horeg ini sampe ada yg diadakan di laut. Dan itu bikin makhluk hidup dalam laut sebenarnya bisa stress juga. Jangan dikira mentang2 mereka hewan, trus masa bodo amat kan.

    Sedih memang... Kadang terpikir, kenapa pemerintah daerahnya kayak diam aja. Atau memang karena sudah mendapat bayaran cukup besar sampai mengorbankan rakyat kecil yg terganggu 😞. Masa blm cukup dengan insiden yg terjadi dan menimpa anak2 itu

  • Suka banget bacanya, jadi paham POV sound horeg hehe.
    Saya tu sempat punya gangguan pendengaran yg sensitif Kalau terlalu kencang telinga saya terasa sakit. Tak terbayang andai tren ini menghampiri daerah saya. Mungkin saya adalah salah seorang yang akan menatap sinis atau bahkan protes ke sound horeg itu