Jendela

Geguyonan Nama dan Kata yang Tak Pernah Netral

Halo semua, kenalkan aku Jancuk. Iya, kalian tidak salah dengar! Namaku memang Jancuk. Jika kalian kira aku adalah manusia, maka kalian salah. Aku ini … ya, sebuah kata. Yang tentu saja sering menimbulkan polemik di sana-sini.

Sejujurnya ya … aku nggak mau namaku jelek. Tapi, lagi-lagi aku tidak bisa memilih bagaimana aku akan hadir. Kadang di antara celoteh para ojekers aku terlempar seperti kacang goreng yang menemani suasana akrab. Kadang pula aku hadir di antara mulut-mulut sialan yang tak tahu adab hingga mereka membenciku.

Suka tapi benci. Ya, mirip cerita sinetron televisi dengan judul Tarik Ulur Cinta di Pinggir Kali. Di antara kegelisahan atas sebuah nama, aku sadar bahwa sebuah kata itu tidak pernah sama.

Tak Sekedar Rangkaian Huruf yang Bisa Berbunyi

Gludak Gluduk! langkah kaki kecil terdengar dari ruang tamu. Langkahnya ringan tapi cukup membuat lantai rumah mengadu. “Bukkk!” panggil seorang anak laki-laki mencari ibunya.

“Ada apa?” tanya ibunya heran dan mengecilkan kompor untuk menggoreng.

Baca juga: Masyarakat Adat dan Para Pengabdi Modernitas

“Anu, Bu … aku tadi dipanggil Jancuk sama Tole!’ serunya. Nada suaranya meninggi.

Kata-kata yang disampaikan anaknya, seperti memukul gendang telinganya keras-keras. Aliran darahnya keras menuju otak. Berpikir ada apa.

“Awalnya aku nggak menoleh. Aku nggak tahu kalau Tole manggil aku. Katanya Jancuk itu panggilan akrab,” jelas anaknya lagi. Ibunya berjongkok. Terdiam. “Tapi, Bu … apa boleh manggil orang pakai Jancuk ya?” tanyanya polos. Maklum saja usia anak itu baru tujuh tahun

Otak ibunya mengayuh lebih keras, seperti pita kaset yang disuruh memutar cepat-cepat. Mencari jawaban yang bisa diterima anaknya. Wanita usia empat puluh tahun itu hanya mendesah. Agak berat dan akhirnya menggeleng sebagai jawaban.

“Kalau kamu memanggil orang, panggilah namanya,” jawab ibunya kemudian, “kan kalau seseorang memanggil kamu dengan panggilan yang bukan namamu, kau pun tidak menoleh.”

Baca juga: Beneran Simpati atau Eksploitasi Emosi?

“Tapi katanya Jancuk itu panggilan akrab buat siapapun …,” kata si anak lanang itu. Sekali lagi si ibu hanya menggeleng.

“Kata Jancuk itu nggak bisa sembarangan dipakai panggilan. Kadang ada orang yang suka, kadang ada orang yang marah kalau dipanggil pakai kata itu. Lagipula tidak sopan memanggil orang sebarangan apalagi setiap orang punya nama.” Si anak lanang berkerut alisnya.

“Kalau aku nggak tahu nama orangnya gimana?”

“Kan ibu sudah mencontohkan. Kamu bisa saja manggil pakai, kakak, adek, bapak, ibu, mbak atau mas. Itu panggilan yang sopan.” Anaknya manggut-manggut meski alisnya masih berkerut.

Ibunya tersenyum dan mengacak-acak rambut anak lanangnya. Tapi siapa tahu dalam hati si ibu pun bertanya, mengapa menjelaskan satu kata ini membutuhkan upaya yang cukup besar. Tidak hanya saat ia menjadi ibu, bahkan sejak ia menjadi anak-anak dan atau saat ibunya wanita itu masih jadi anak-anak.

Baca juga: Berdiri Seperti Pahlawan, Isi Kepala Jadi Sorotan

Kata Jancuk Bukan Sembarang Kata

Pagi itu sudah sangat riuh. Otak terus memberikan perintah untuk badan agar bergerak. Sejak pemiliknya bangun tidur, banyak dokumen yang harus dipindai otak lewat mata pemiliknya. Seorang wanita usianya hampir empat puluh tahun. Ketika layar smartphone wanita itu menyala, banyak tulisan yang harus dibaca oleh mata mulai dari masak, menyiapkan bekal, mencuci baju bahkan beberapa tulisan mengenai bahan belanjaan.

“Woi, kaki! Ayo segera bangun. Jadwal padat merayap!” pannggil otak dari atas kepala. Menghardik kaki yang seringkali manja untuk menapak ke atas ubin keramik. Katanya dingin.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, ketika pemilik otak berada di dapur. Menyiapkan makan siang untuk si anak yang hari senin ini libur sekolah. “Setelah masak! Ingat untuk belanja beras dan air galon. Kalau toko B nggak jual beras karena kasus oplosan, coba di toko A yang katanya berasnya lagi stok banyak,” perintah otak kemudian hanya dijawab oleh gerakan komat-kamit si mulut.

Lalu telinga bergerak, seperti ada suara yang menusuk dari arah belakangnya. Ternyata benar anak si pemiliknya. Ada semacam alarm dari si telinga yang mengirimkan sinyal ke otak. Alarm serius. Dan benar saja, ketika telinga mendengarkan suara yang keluar. Otak otomatis menerjemahkan kata-kata dari si telinga. Ya, kata Jancuk!

“Sialan! Ini dadakan sekali. Astaga! Dimana aku pernah mendengar kata Jancuk ini!” serunya kalang kabut. Ia memindai banyak sekali rak-rak dokumen di memori. Data mulai dua puluh tahun sampai yang satu detik yang lalu ia lihat. Nihil. Kosong. Tapi kenapa begitu familiar.

Baca juga: #KaburAjaDulu, Giliran Sukses Diaku-aku

“Woii, otak! Coba kau telurusi maknanya!” seru hati yang perlahan membawa suara dari ulu hati si pemilik otak.

“Ah benar, makna!” serunya kemudian. Lalu secara mengejutkan ia berteriak, “Speech Act Theory! J. L. Austin dan John R. Searle. Teori yang bilang kata-kata nggak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga melakukan tindakan melalui ujaran.” Maka otak pun mengirimkan sinyal jawaban pada pemiliknya.

Berkata, Bertindak, Bermakna dan Persepsi Subyektif

Warung Mak Yem, selalu saja ramai pemuda-pemuda. Mulai dari yang bolos kuliah sampai yang sekedar nongkrong sambil nunggu gebetan.

Wis ta, Cuk! Nggak usah sambat. Koen nggolek’o model koyok iki ora ono! (Sudah lah, Cuk! Kau cari model kayak gini ya nggak bakal ada),” sahut teman si kacamata yang ada di hadapannya. Sebut saja si Jabrix.

“Kalian ini cak cuk ae. Saru lho,” keluh salah seorang pemuda lagi di sisi si kacamata. Pemuda ini tampaknya berasal dari kota yang berbeda dengan dua orang temannya ini.

Baca juga: Makan Bergizi Gratis dan Kenapa Gratis Itu Masalah?

Ban, Iban. Koen nggak eruh yo, kene ngomong Jancuk iku yo mek karo koen-koen ae. (Ban, Iban. Kamu nggak tahu ya. Kita itu ngomong Jancuk itu cuma ke kalian aja),” kata si Jabrix sambil menunjuk muka kedua temannya. Si Kacamata mengangguk.

Kita yo eruh lah, lak ono teori Speech Act Theory teko J. L. Austin, terus dikembangno karo John R. Searle. Nah, nek koen ngeroso nggak enak, iku nek teorine jenenge Perlocutionary act. (Kita ya tahu lah, kan ada teori Speech Act Theory dari J. L. Austin, terus dikembangkan oleh John R. Searle. Nah, kalau kamu merasa nggak enak, di teori itu masuk dalam bagian Perlocutionary act),” jelas si kacamata.

Si Iban cuma bisa manggut-manggut, “semacam respon gitu ya?” tanya si Iban kemudian. Kedua temannya itu bergantian manggut-manggut.

“Tapi yo Jancuk iki cerita sejarah e simpang siur,” kata si Jabrix lagi. “Meski wes jadi budaya, cuma nek ngomong yo kudu ati-ati. Masalahe kan lambene wong iku kadang nggak aturan. (Meski jadi budaya, cuma kalau ngomong ya hati-hati. Masalahnya kan mulut orang kadang itu sering asal omong),” lanjut si Jabrix.

Si Iban menatap ke arah jendela besar di dekatnya, di mana ia melihat di depan warung Mak Yem segerombolan anak yang sedang bermain kelereng. “Makna,” kata si Iban lirih. Menerawang kata itu.

Jancuk yang Harus Menerima Nasib Hidupnya

Aku yang sering keluar dari mulut orang-orang, entah mereka orang lokal yang tahu seluk-beluk budaya atau orang-orang sok tahu yang ingin terlihat keren, seringkali merenungi nasibku sendiri. Tak cuma aku kok yang merasakan nasib sebuah kata yang artinya tak pernah konstan. Ada banyak kata. Sebagian dari mereka ada yang derajatnya turun atau yang para ahli bilang peyorasi. Dan sebagian lagi naik kelas, ameliorasi.

Dan kalian tahu, hidupku itu tidak hanya ditentukan oleh manusia tapi juga situasi sosial di mana manusia-manusia itu hidup. Seperti kataku di awal, meski aku si Jancuk memiliki definisi sejarah dan budaya yang panjang, tetap saja aku tak pernah netral.

Akan selalu ada tafsir, nuansa, emosi dan juga tujuan dari yang mengucapkan namaku atau telinga yang menerima namaku. Jadi tidak ada yang bisa kulakukan selain pasrah pada nasibku, karena aku bergantung bukan pada diriku, melainkan pada manusia.

Nah, gimana nih gengs cerita tentang fenomena kata jancuk ini? Pernah nggak sih kalian shock culture atau kaget mendengar kata ini? Apa yang kalian lakukan saat itu? Kalian boleh kok berbagi pendapat di kolom komentar, mau itu pro dan kontra sekalipun. Tapi ingat ya, untuk tetap bijak berkomentar dengan tidak menyudutkan siapapun, semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih. Yuk bisa yuk, untuk kita saling berdiskusi secara sehat.

Have a nice day! Jya, mata ne~

Source:
https://www.thoughtco.com/speech-act-theory-1691986

Abdulhamzah, Ali. “Speech Act Theory: A Historical Development.” Journal of Social Sciences and Humanities Invention, vol. 7, no. 12, 2020, pp. 6325–6331

View Comments

  • ya walaupun kata ini merupakan bagian dari budaya Surabaya, akupun kurang senang menggunakannya dan cenderung menghindarinya, biarlah dibilang sombong, tapi saya tidak suka menggunakan kata yang satu ini

  • Ah akhirnya teringat lagi aku dengan istilah peyorasi ini. Dulu saat ada perdebatan tentang satu kata (aku gak berani menyebutkan katanya), netizen pecah jadi 2 kubu. Ada yang merasa "lah kenapa? itu kan kata yang diambil dari kitab suci" tapi aku lebih ke pro kubu sebelah yang merasa walaupun kata itu terdapat di kitab suci, tapi perkembangan komunikasi dan hubungan antarmanusia sekarang bisa dipertimbangkan juga, toh ada kata lain yang dapat dipakai untuk menjelaskan maksud dari kata tersebut yang bisa diterima oleh semua kalangan.

    Kayak Jancuk ini, sebagai orang Sumatera, gak begitu relate sebab jarang didengar walau aku tahu artinya :D kalau di sini lebih umum kata-kata senada lain tapi yang sering kami gunakan. Menarik, dari bahas 1 kata eh malah dapet info soal peyorasi dan ameliorasi.