Penulis : Dinda Pranata
“Apa yang menarik sih Din dari lampu oblik berkarat?” tanya Putri, teman perempuan di belakangku.
Kurang dari dua puluh tujuh langkah, aku sudah pasti berdiri tepat di bawah lampu oblik itu. Tapi, aku memilih diam. Mengamati. Rasanya ada sesuatu yang menggantung di lampu itu. Lebih tua dan dalam.
Sementara Putri terus komat-kamit. Sebal padaku yang terlalu banyak berpikir sebelum mengambil obyek. Akhirnya, aku mengalah.
Klik! Satu obyek terpantul di layar kamera.
Setelahnya, kricikkk! kricik! Suara air dari keran terbuka bersamaan dengan ingatan akan lolong kekanakan dalam pikiran, “Kak! toyané sing ngalih (Kek, airnya nggak ngalir),” kataku pada Pekak (panggilan kakek dalam bahasa Bali) di halaman rumahnya, di Sampalan Klod, Klungkung.
Baca juga: Sound Horeg Meriah, tapi Ada Kepala yang Pasrah
Dalam benakku pun muncul pertanyaan, “Pekak, kenken kabaré (Kek, gimana kabarnya?)” gumamku. Lentara di atasku masih terdiam, atau mungkin … ia justru mendengar lebih banyak.
Reza Riyadi yang Mencari Pemantik Lentera
Malam itu dadaku terasa membuncah, meski aku yang lain ini kerap kali memberikan pelatihan daring atau luring, namun malam itu aku kembali mengingat masa di mana Lentera dalam diriku mencari pemantiknya. “Perawat itu bukan cuma merawat yang sakit. Merawat itu juga pada mereka yang masih sehat,” kataku pada peserta workshop menulis.
Aku yang lain ini adalah seorang perawat dan seorang pemenang Satu Indonesia Awards tingkat provinsi tahun 2022. Namaku adalah Reza Riyadi Pragita. Tak hanya membawa rasa bangga, justru dalam benakku ada semacam gumaman rasa, apakah aku bisa meneruskan semangatku untuk merawat mereka yang ‘terlupakan’? Dengan segala perasaan campur aduk, aku masih meyakini bahwa profesi perawat itu seperti lentera.
Jika saja banyak orang yang membaca kisah Florence Nightingales, mungkin akan sedikit orang yang berkata bahwa perawat hanya bertugas untuk merawat pasien; menyuntik nadi; atau memperban luka. Karena sebenarnya, perawat hidup dalam siklus promotif (meningkatkan kesehatan), preventif (mencegah sakit), kuratif (mengobati sakit), rehabilitatif (memulihkan kehidupan) dan paliatif (memberi kenyamanan). Aku akhirnya menyadari filsafat itu, ketika aku mengucapkan panji sumpah profesi bertahun-tahun yang lalu.
Sampai suatu hari, kenyataan menghantam pandanganku tentang tempat tinggalku. Pulau Bali. Pulau dengan segala pesona keindahan, nyatanya memiliki sisi yang hampir tak terlihat oleh mata khalayak.
Baca juga: Jadilah Turis, Bukan Pelanggar Garis
Desa Ban, Karangasem. Lokasi di mana aku menemukan kenyataan bahwa siklus keperawatan tak hanya tentang teknis, melainkan tentang seni berkolaborasi dengan alam sekitar.
Barangkali di titik inilah, lentera yang dibawa Florence Nightingales mencari pemantiknya yang lain. Tak harus api untuk bersinar. Mungkin bisa dengan salah satu fondasi dasar pemikiran Nightingales. Air.
Saat Lentera Tak Menyala, Coba Tanyalah Pada Lenteranya

Kukira Desa Ban, Karangasem akan sama dengan desa panoramik yang terkenal di Bali. Dengan akses jalan yang penuh batu dan aroma debu tanah yang kering, membuatku berpikir mungkin air lupa cara mengalir di musim kemarau. Desa ini seperti peradaban yang terlupa oleh kebisingan kota karena letaknya di antara dua gunung besar. Gunung Abang dan Gunung Agung.
Mataku hampir tak bisa berkedip, ketika menatap seorang wanita yang mendorong gerobak penuh derigen air. “Ibu …,” gumamku. Sosok wanita itu membuat dadaku mengencang, sementara kepalaku seperti menghidupkan hologram sosok ibu. Begitu jelas. Kudekati wanita berkaos putih itu. Apa yang kudengar terus menggema hingga aku pulang ke Klungkung. Jelas terdengar kalau wanita itu harus membeli air bersih untuk kebutuhan hidupnya.
Aku mencari tahu lebih banyak. Angka-angka yang kubaca terus berteriak, “hei! Aku angka 391 untuk jumlah sungai di Bali yang mulai mengering tahun 2023! Sementara, aku angka lima untuk wilayah yang mengalami kekeringan ektrim. Apa kau akan diam saja jika digitku perlahan berganti?”
Baca juga: Masyarakat Adat dan Para Pengabdi Modernitas
Angka itu semakin menggedor sabda-sabda ketuhanan yang kupegang segera diwujudkan nyata. “Sebaik-baiknya manusia, adalah ia yang bermanfaat untuk sesamanya,” gumamku.
Awalnya, kukira ide bedah rumah menjadi cara yang ideal. Sekali lagi aku mencermati setiap pilihanku. Namun, potongan buku-buku yang kubaca membuatku kenal bahwa manusia itu … bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Aku putuskan bertanya pada mereka yang tahu akan kebutuhannya.
Aku kembali ke Desa Ban. Bertemu dengan warga, kelian adat (pemimpin banjar). Kumendengar jawaban yang tak terduga. “Bedah rumah sudah pernah dilakukan oleh pemerintah daerah, tapi …,” suara pria tua yang duduk di depanku dengan pakaian adat Bali yang khas, “yang kami butuhkan sebenarnya adalah akses air,” lanjutnya. Cerita-cerita selanjutnya membuatku yakin akan keputusanku. Membangun cubang.
Aku yakin jika lentera tak menyala, ada kalanya bertanya pada lentera bisa memberimu terang.
Lentera yang Menyala, Senyum yang Merona
Siang menjadi lebih panjang, bahkan malam terasa begitu singkat. Perjalanan menuju swadaya air di Desa Ban, bahkan lebih terjal dari jalan-jalan yang harus kucapai. Entah sudah lewat berapa malam atau siang, aku berjibaku dengan rencana program ini. Mulai jalur penggalangan dana di kitabisa.com hingga jalur yang tak pernah kubayangkan yaitu politik, sudah meninggalkan jejak di kegiatan yang kuberi nama “SAUS (Sumber Air Untuk Sesama) untuk PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)”.
Sampai di suatu malam (yang aku lupa apakah itu musim hujan atau kemarau di mana cuaca tetap begitu gerah) total penggalangan dana yang kami harapkan tidak sesuai ekspektasi. Aku mencengkeram erat rambut-rambut keritingku. Seolah ingin menjerabutnya dan mengubahnya menjadi pundi-pundi emas yang bisa menyelamatkan senyum harapan di desa Ban.
Sudah terlintas rasa gagal yang mungkin terjadi. Berkelindan bayangan wajah-wajah anak-anak, para nenek dan kakek, serta semua penduduk yang sudah penuh harap akan kehadiran air untuk kehidupan mereka. “Apakah dengan dana segini program ini akan berjalan?” tanyaku lagi. Namun sepertinya penduduk malam pun ikut hening. Ngingggg!
Terombang-ambing dalam kegamangan, sebuah notifikasi muncul. Lentera dalam diriku yang sempat padam, muncul kembali. Tepat ketika pengalangan dana di kitabisa.com tutup. Seseorang dari sebuah yayasan dari luar daerah Bali mengirimkan donasi sebesar tiga puluh juta. Dan itu menyalakan kembali lentera diriku yang hampir padam. Program SAUS (Sumber Air Untuk Sesama) untuk PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) berjalan sebagaimana mestinya, bahkan jauh lebih dari apa yang kubayangkan.
Kini aku bisa menyaksikan wajah-wajah mereka yang layu, bisa terukir senyum merona. Dari lentera yang kupikir harus menggunakan api (rencana bedah rumah), nyatanya lentera itu bisa menyala bahkan dengan lawannya. Air.
Baca juga: Berdiri Seperti Pahlawan, Isi Kepala Jadi Sorotan
Lentera Tak Harus Tentang Cahaya, Kadang Artinya Melawan Dahaga
Aku kembali ke asal semua ingatan dan suara ini bermula. Aku yang berdiri di bawah lentera berkarat. Imersi kenangan akan workshop semalam bersama dengan Reza Riyadi, pemenang Satu Indonesia Awards tingkat Provinsi Bali. Cerita Reza Riyadi itu membuatku merasa lentera di depanku, bukan tentang karat. Tapi lentera yang menemukan cahaya dari aliran air.
Dari lentera di atas kepalaku, aku bisa mengingat kegelisahan pekak di Sampalan Klod-Klungkung ketika aku masih bocah. Kala air tidak mengalir ke pekarangan pekak karena kebocoran pipa perusahaan air daerah, Pekak Kace mendorong gerobak cukup jauh sambil menggendongku di punggung untuk membeli air bersih.
Dering ponsel mengangkat semua imersi kenangan itu, nama Paman muncul di layar ponsel. Tak lama kemudian, suara Pekak Kace terdengar. Seperti kebiasaannya yang sering menggunakan ponsel paman untuk menelepon cucunya.
“Eh, Kak! Napi ni telepon Dinda? (ada apa ini telepon, Dinda?),” tanyaku rindu.
“Be, pidan lakar mai malih ka Klungkung? Pekak lakar ngajak ka Tukad Unde. Di ditu yehne deras tur seger munang udan. (Kapan main ke Klungkung? Kakek mau ajak kamu ke Sungai Unde. Di situ airnya deras dan segar setelah hujan),” suara kakek terdengar mendesis setelah giginya banyak yang tanggal. Mendengarnya aku cuma bisa tersenyum.
Baca juga: Judul yang Penuh Harapan Tanpa Jaminan Realita
Seperti aku ketika aku mendengar setiap kisah perjuangan Reza Riyadi malam sebelumnya, Lentera dan air kadang bukan saling menolak. Sesekali mereka bisa bersatu. Seperti bagaimana Nightingales mendobrak praktek keperawatan dengan cara yang holistik. Begitupun Reza yang menemukan cara lewat lentera yang ia nyalakan.
Terlepas dari betapa indahnya panorama Bali, aku percaya ada sudut kecil yang mungkin terlewat jika peta perjalanan kita diperbesar.
Closing Statement Senja Hari
Gimana nih gengs, cerita inspirasi dari Mas Reza Riyadi. Di balik keindahan Pulau Dewata, kadang kita tak ingat ada sudut-sudut terlupa yang perlu dirawat. Nah, dari sini ada nggak sih yang pernah bertemu dengan sisi lain dari tempat kalian tinggal?
Bisa dong untuk share di kolom komentar, siapa tahu cerita kalian bisa menginspirasi pihak lain untuk ikut bergerak bersama. Eitz, ingat komennya yang bijak ya. Semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih.
Have a nice day! Jya, mata ne~
Source:
https://inarisk.bnpb.go.id/pdf/Bali/Dokumen%20KRB%20Prov.%20Bali_final%20draft.pdf
https://www.balipost.com/news/2023/10/11/367152/Debit-Air-Sungai-di-Bali…html
https://www.balisharing.com/2025/03/12/krisis-air-mengancam-bali/
https://nurseslabs.com/florence-nightingales-environmental-theory/
Gilbert, H. A. (2020). Florence Nightingale’s environmental theory and its influence on contemporary infection control. Collegian, 27(6), 626–633
Comment
Aku pernah zoom langsung dengan beliau dan memang orangnya sangat passionate soal gerakan yang dia usung karena memang melihat langsung kondisi desa-desa yang kekurangan air padahal berada di provinsi dengan pariwisata terbaik di Indonesia sampai nangis dong dia ceritanya. Hebat banget sih orangnya
Kalau suatu tempat sampai susah air, itu sedih sih. Sesuatu yg vital soalnya. Aku JD inget pas masih di Banda Aceh mbak . Samaaaa. Air itu susah, lebih sering mati, giliran pake air pompa, kotooooor. Ntahlah kenapa bisa gitu.
Sejak pindah JKT baru kayak legaaaa banget. Syukur tempatku air lancar, bersih. Harus diakui masih banyak tempat2 di Indonesia yg susah air. Harus cari jauh dulu. Ga tega liat bapak2 tua yg masih narik gerobak utk bawa air 😞😞. Makanya anak2 aku ingetin, jangan buang2 air. Secukupnya pakai.
Baca bahasa bali jadi inget masa² dl waktu tinggal bali..bahasa bali dgn iramanya yg khas 😁
Karangasem dl jg pernah kesana tapi dalam rangka liburan dn gak nyangka klo ternyata disana ada daerah yg kekeringan ya mba…
Kalo di tempat tinggalku dl sempet terkena banjir yg lumayan tinggi mseki gak sampe masuk rumah tp waktu itu sempat was2 juga sie..bersyukurnya skrg sudah gak pernah lagi kejadian spt itu dan semoga tdk ada lagi
3 Responses