Home / Jendela

Kolonivora dan Kota yang Berpesta

Senjahari.com - 27/10/2025

Kawasan Heritage Kayutangan Malang

Penulis : Dinda Pranata

Besti, ke kawasan heritage yuk!” seru Gita, salah seorang teman dari Klungkung, Bali.

“Ogah ah, di sana mau ngapain juga!” seruku ogah-ogahan. Sebenarnya, aku enggan tapi bukan karena panas. Lebih ke bayangan ribetnya parkir semrawut di sisi kawasan itu.

Tapi rayuan Gita, selalu saja membuat ragu menjadi mengangguk.

Debu jalanan belum sepenuhnya turun ke aspal, ketika kendaraan menyapunya kembali naik ke awan. Sisi jalan motor terparkir rapi, tapi tak terlalu rapi. Tentu saja, harus memakan trotoar pejalan kaki, yang bagaimana pun caranya harus mengalah pada kuda-kuda besi itu.

Sebuah gapura besar, berdiri di atas pandanganku. Barangsangkanya pikiranku yang aneh adalah realita yang diindahkan.

Baca juga: Studi Komparatif Bertema SARA: Apakah Rawan Konflik?

Rumah Berganti Jubah di Ruang Kolektif

“Mbak, mbak!” panggil seorang wanita tua. Aku menoleh, melihatnya menunjukku dengan mata yang nyaris keluar dari wadahnya. “Kalau masuk kawasan ini ada tarifnya. 5,000 per orang,” katanya sekali lagi.

Tanpa banyak komentar, kurogoh kocek sepuluh ribu dari dompet. Wanita tua yang kuperkirakan usianya enam puluhan itu, memberiku dua kartu pos. Gambarnya dua rumah tua di kawasan itu.

Aku memiringkan kepala sambil menatap kartupos dan jalan di depanku. “Bagus sih …,” gumamku, “tapi apa ini benar-benar bagus atau cuma …,” aku tak melanjutkan kata-kataku. Meski ada ingatan samar, namun aku memilih menelan lagi suara yang hendak keluar. Kembali ke perut.

“aih! Irage, mikir banget! (aih, kamu kebanyakan mikir)!” seru Gita.

Setengah paving, setengah semen. Jalanan di gang itu tak rata. Mungkin sama dengan pikiranku yang berat sebelah. Sepanjang menyusuri gang yang lebih dari satu bentangan tangan ini, terlihat aroma sedap kopi-kopi manis menguar bersama dengan uap kering kemarau.

Baca juga: Pintu Everlasting dan Antrian Selembar Administrasi

“Din, foto di sana yuk!” ajak Gita. Langkah kaki yang lebar, membuatnya buru-buru menerobos pejalan kaki di sisinya. Dengan satu langkah, ia lalu terduduk di sebuah kursi panjang sebuah rumah. Aku mengikutinya dengan langkah setengah tak bernyawa. Kepanasan. Dengan cepat dan tubuh yang darahnya nyaris tersedot panas, aku memotret. Klik. Suara shutter dengan lirih mengaduh.

Kuperhatikan lagi rumah itu. “Bagus lho!” seru Gita sambil melongok dari sisi samping. “Iya, bagus,” dengan suara yang tersekat di tenggorokan. Rasanya kepalaku agak sedikit konslet. Arus pendek terjadi tengah jam kerja sel-sel di kepala. Rupanya ia sadar. Satu hal yang barangkali terselip di sela-sela memori tentang hal yang ditolak ingatan.

Kolonivora dan Pesta Pora Wisata

Pra-Festival Sastra Kota Malang 2025
Pemaparan Mas Nino tentang Kota dalam Antropologi. Dokumentasi © 2025 Senja Hari

Aku mundur perlahan, membiarkan diriku tersedot pada satu detik yang membeku. Aku terjebak di sebuah ruang bercat hijau pudar. Ruang di Plaza Maliki.

Di lantai dua, aku duduk di meja bundar. Mirip kepala orang-orang yang mengelilingiku saat itu. Sinar dari mesin LCD memantul ke dinding dengan judul besar di tengah “Membaca Kota dari Sudut Pandang Antropologi” dan seperti tagline di bawah judul sebuah tulisan “Pra-Festival Sastra Kota Malang”

Sebuah lokakarya yang kuikuti dengan tanpa sengaja. Di momen antara siang dan hujan itu, seorang peneliti bernama Mas Nino dan Mbak Yayuk, membentangkan realitas yang rasa-rasanya luput dari mata warga pendatang sepertiku.

Baca juga: Ekologiverse Versi Irfan Yuta Pratama di Dunia Kedua

Satu kata yang memantik, “apakah kawasan heritage benar-benar diperlukan? Dan apakah hanya itu satu-satunya cara mereka ‘berdagang’?”

Di tengah arus bisnis travel, di momen itu aku kembali belajar membaca kota yang kudatangi perlahan. Ingatan kota Surabaya, Jogja, Lembang, Bandung, Malang dan lainnya. Hampir di setiap sudut kota atau wilayahnya itu, bersisian dengan kawasan heritage. Awalnya aku ragu menanyakan mengapa harus ada? dan mengapa caranya pun perlu sama?

Dalam ruangan itu aku hanya bisa menyimak, meski kepalaku sibuk menakar segala macam teori humaniora yang bergesekan dengan penjelasan Mas Nino. Dan satu-satunya yang kuingat adalah ketika aku menuliskan tentang garasi di ruang publik yang membuatku ingin mengumpat. Aku, kita dan mungkin mereka tidak sadar bahwa kita semua sedang meniru penjajah dalam bentuk yang lain.

Sementara itu, kita lupa bahwa kawasan heritage itu tidak selalu berpengertian positif atau netral. Seringkali kawasan itu memikat sekaligus menindas, lalu tanpa sadar kita terjerembab dalam bentuk lain penjajahan. Lamat-lamat kita termangsa oleh ke-kolonialisme-an itu. Perlahan. Tanpa sadar. Menjadi kolonivora.

Lalu, kita berpesta pora wisata di atasnya.

Baca juga: Makan Bergizi Gratis dan Kenapa Gratis Itu Masalah?

Biarkan Potret Berbicara Bukan Terpajang

Aku menatap para wisatawan yang sibuk memotret diri. Di depan rumah berkesan vintage, kata mereka. Bagi mereka, rumah itu instagramable.

Lain lagi, dua orang dengan kamera mirrorless memotret secangkir kopi, yang diseduh di sebuah kedai beratapkan genting kusam hitam. Barangkali, itu genting era belanda yang belum terganti. Kata mereka dengan caption media sosial, chill di kawasan heritage.

Tapi pernahkah aku, kita dan mereka bertanya pada bangunan itu seperti apa rasanya menjadi mata yang abadi saat melihat perubahan zaman? Kita menganggap mereka hanya obyek yang tak bisa bicara. Padahal dalam setiap batu bata yang menopang dinding-dinding (yang katanya bangunan vintage itu), ada keringat si ‘bahu miring’ yang memanggul pala pendem bagi tuannya.

Di sela-sela keambiguanku tentang kawasan heritage, muncul kembali pertanyaan tak kalah rumit. “untuk siapa sebenarnya pariwisata heritage ini?” benarkah untuk mereka yang menjadi bagian dari ke-heritage-an itu? Tanpa ada yang menjawab dan sepertinya hanya angin di belakang tengkuk yang mengerti.

Lalu ketika, Gita menarik tanganku, aku mulai sadar. Aku terlalu lama berdiri di depan kursi panjang yang diduduki Gita sambil memegang kamera. “Ayo jalan, aku kegerahan!” katanya lagi.

Baca juga: Bilang Terserah, Tapi Kalau Salah Marah

Aku melangkah lebih jauh. Kali ini, meski kakiku berjalan di gang kawasan heritage, ingatanku tertahan di momen hening di Plaza Maliki.

Bisa saja, rumah-rumah itu pun ingin menjerit. “Jangan kenang aku sebagai bangunan vintage!” Mungkin rumah tua sebuah titik di peta, ada yang melakukannya.

Closing Senja Hari

Gimana nih gengs narasinya? Pernah nggak merasa ada aura atau sensasi aneh ketika memasuki sebuah kota tua atau sebuah gedung peninggalan lama? Nah, tiap orang tentu punya sensasi, yang bisa jadi itu adalah hal perlu kita tanyakan atau cari tahu. Kalian bisa lho berbagi di kolom komentar, tapi tetap ya dengan bahasa sopan. Semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih.

So, have a nice day! Jya, mata ne~

Source:

Epafras, L. C. (2012, November). Signifikansi pemikiran Homi Bhabha: Sebuah pengantar teori pascakolonial. Conference paper, Extension Course Filsafat (ECF), Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

https://theconversation.com/potret-gentrifikasi-pariwisata-di-indonesia-ketimpangan-dan-eksploitasi-di-kawasan-konservasi-211527

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Ire Rosana Ullail

Gaya penceritaannya menarik. Aku seperti sedang membaca novel. Runut dan rampi pula. Kalau menjelajahi kawasan heritage diceritakan seperti ini tentu membuatku tak bosan dan ingin terus-terusan membaca. Terima kasih untuk ceritanya 🙂

Saya merasa sensasi asing kalau masuk area Cirebon, ga tau kenapa beda aja atmosfer nya. Bukan hanya perkara suhu udara ya, Saya sering pergi ke daerah dengan cuaca yang panas, tapi kalau masuk Cirebon suka berasa masuk sebuah daerah dengan suasana yang berbeda. Unik gitu pokoknya

Bahasannya keren banget, bikin mikir tentang sisi lain kehidupan kota. Kadang memang banyak hal yang terlihat indah tapi menyimpan ironi di baliknya

Sebenernya aku suka kok kalau masuk ke kawasan heritage , asaaal yg terawat yaaa. Krn banyak juga beberapa kawasan heritage yg kumuh mba. Dan kalo masuk ke sana, langsung ngerasa sedih aja. Indonesia itu punya banyak tempat2 oldies, tp sebagian dirawat dan bisa jadi spot wisata, sebagian lagi kayak di ignore. Ga bisa nyalahin warganya juga. Krn aku tahu dengan keterbatasan ekonomi, sudah pasti mereka lebih mentingin perut dulu drpd merawat bangunan tua.

Ntahlah sebenernya tanggung jawab siapa. Tapi suatu tempat vintage yg dijadikan objek wisata menurutku masih lebih baik, Krn bisa membantu kehidupan warga sekitarnya juga. Selain memanjakan mata dan membayangkan kehidupan di zaman dulu nya

Menarik kak narasinya, gas ke cerpen, hehehee. Btw aku belum pernah ke tempat itu sih. Ke tempatku aja gak pernah main main sekitarnya, hehehe

Menurutku setiap tempat, setiap bangunan, setiap lokasi punya auranya sendiri. Beda-beda. Kalau sensasi aneh saat memasuki gedung atau kawasan lama juga sering. Ada yang auranya tenang, ada juga yang auranya mencekam. Biasanya ini juga pengaruh pencahayaan dan kelembaban. Hahaha ngomong apa sih saya. Pokoknya begitu lha.

Saya suka mengunjungi kawasan apapun termasuk kawasan heritage. Karena setiap kawasan selalu punya kisahnya sendiri. Dan saya suka “mendengar” masing-masing kisahnya.

Istiana Sutanti

Hmm.. Aku dan anak-anak sebetulnya suka melihat bentuk bangunan kota tua gitu, terkesan gagah dan memang kokoh. Pernah juga sih kepikiran, bangunan ini tuh sudah berdiri jauh sebelum kita ada dan mereka adalah saksi sebenarnya saksi sejarah, sayang mereka gak bisa berbicara jadi gak bisa menceritakan apa yang sebenar-benarnya terjadi sepanjang mereka berdiri.

Nah, aku mikirnya mereka justru suka dijadikan tempat wisata kayak gitu karena artinya mereka jadi berfungsi dan bermanfaat lagi serta sering dikunjungi lagi. Walaupun iya sih, kebanyakan untuk foto-foto, walau ada juga yang memang menyimak sejarah dari bangunan itu sendiri.

Begitulah, aku pribadi menganggap bangunan tersebut bisa bersinar lagi setelah lama tidak dihiraukan (menurut akuu yaa)

Din, aku tuh terdiam sejenak untuk kalimatmu ini ,
>>Tapi pernahkah aku, kita dan mereka bertanya pada bangunan itu seperti apa rasanya menjadi mata yang abadi saat melihat perubahan zaman?<<

Kebayang aja bagaimana bangunan itu melihat banyak peristiwa dan ia jadi saksi bisu. Mungkin ada yang semena-mena memakai tempat itu dengan di luar nalar, tanpa ada rasa hormat. Atau bisa jadi ia juga jadi melihat insan datang dengan senyum tapi sejatinya hatinya terluka. Aku membayangkan menjadi bangunan itu.

Yang paling kupikirkan, seberapa banyak yang datang benar-benar menghormatinya dan sungguh menikmati klasiknya. Tanpa jadi ajang pamer. Aaaah selalu membaca tulisanmu jadi berpikir lebih dalam.

Iya ya mbak, kadang ada aja orang yang nggak bisa melihat nilai dari bangunan2 itu. Bahkan ada lhooo yang emang bener2 nggak suka lalu berusaha menghancurkannya. Udah banyak kejadian2 gitu.
Makanya perlu perhatian masyarakat dan tentu saja pemerintah yang punya regulasi supaya bangunan2 tersebut tetep terawat dan awet.

Aku salah satu yang suka sama bangunan2 vintage gitu mbak. Lebih ke mengagumi, wow, kokoh ya sampai sekarang berdiri, gak kyk bangunan baru yang gampang retak bahkan ambruk.
Suka bikin bertanya2 ini arsiteknya siapa, siapa yg membangun dll.
Namun di satu sisi perawatannya emang gak murah, jadi sepertinya keberadaan wisatawan2 itu “dibutuhkan” supaya bisa membiayai perawatan gedung2 itu kali ya. Suka sedih kalau ada bangunan tua gak terawat gitu. Bahkan kalau sampai dirobohkan huhu.
Di sisi lain buat wisatawan mungkin juga bisa memperkaya pengetahuan tentang sejarah kali ya.

Bambang Irwanto

Saya paling suka kalau memasuki kawasan atau tempat bernuansa heritage. Seperti masuk ke lorong waktu. Dan sensasi itu saya dapatkan kalau benar-benar kawasan atau tempat itu ada sejak dulu. Misalnya kawasan kota tua. Itu selalu ada sensasinya, membayangkan bagaiman dulu hiruk pikuknya kawasan itu. Sebaliknya kalau pas ke sana sepi, agak merinding juga. Seperti merasa diawasi oleh orang-orang Tempo Doeloe. Makanya kalau ke tempat seperti ini, harus permisi-permisi juga.

Kalau masuk ke kawasan heritage, imajinasi mengembara ya. Bisa jadi cerpen atau novel nih. BTW maybe i know where you went with your friend, and i never go to that place in my life (padahal udah 30 tahunan di ngalam), hmm.

Kawasan heritage sebenarnya seneng sih ngunjunginnya, baru di Bandung dan Yogyakarta aja. Belum ke tempat lain. Kepikiran pengen ke Solo atau Cirebon gitu. Cuman emang sih kawasan heritage ini kadang terlalu riuh sama pengunjung yang kurang bisa menjaga kebersihan sekitar.

pernah ke Cirebon menarik banget vibes nya
aapalagi yg heritage2 gini.
aku lupaa pernah ke sana apa blum ya

tapi jadi penasaraaannn banget euy setelah baca postingan kerenn iniii

Tukang Jalan Jajan

Aku setuju, kadang kita cuma ikut arus “instagramable” tanpa benar-benar merenungi sejarah atau nasib bangunan-bangunan tua itu. Konsep Kolonivora itu deep lho, kayak kita tanpa sadar “memangsa” nuansa kolonial itu hanya untuk selfie atau gaya hidup, dan lupa ada sisi “penindasan” atau ironi di baliknya. Jadi kepikiran, pariwisata heritage ini benar-benar untuk siapa, ya? Keren!

Aku setiap kali berkunjung ke kawasan kota tua atau bangunan tua, rasanya ada yang memikat lebih dari sekadar vintage. Aura dan aroma nya tuh beda.

Dan aku selalu terkagum dengan arsitektur tempo dulu, sangat kokoh meski umurnya banyak yang sudah ratusan tahun serta sesekali aku membayangkan bagaimana kondisi dulu, sesulit apa masa kolonial dan lainnya berputar-putar di kepala.

Aaahh, aku jadi ngerti sekarang kolonivora itu apa. Persis dgn yang selama ini aku pikirkan, kenapa kita meromantisasi kolonialisme? Tapi pada akhirnya aku ikut arustama juga, menikmatinya sebagai objek wisata sejarah apa pun latar belakangnya.

Terakhir ketrigger itu di Yogya, dgn pemandian putri itu.. lupa namanya. Mengetahui bahwa situs tersebut tempat raja memilih gundik-gundiknya, aku jadi muak sendiri dan sebeell banget berada di situ. Seketika jadi males aja kesitu lagi. Hahahahhaa. Emosi campur sugesti ya.

Andri Marza Akhda

Kawasan heritage memang selalu punya daya tarik tersendiri, apalagi kalau dihidupkan lagi lewat acara seperti itu. Suasananya pasti terasa unik, antara nostalgia masa lalu dan semangat modern yang berpadu jadi satu.

Daku pernah merasakan juga Kak Din, kalo pas lagi lewat atau masuk ke tempat kayak kota tua atau sebuah gedung peninggalan lama. Bawaannya yah merinding, pikiran aneh² kadang sih, tapi kadang juga biasa aja.
Menurut daku gak apa juga semisal bangunan tersebut dipertahankan, karena bisa jadi bangunan bersejarah, cuma ya tetep dirawat dan dikasih lampu penerangan yang baik biar gak serem² amat

Di Semarang ada Kota Lama yang sudah direvitalisasi dan jadi tujuan wisata, syukurnya bangunan kunonya walaupun cagar budaya tapi tetap dipakai misalnya jadi kafe, restoran, aula hingga minimarket jadi tidak hanya dikenang sebagai bangunan tua ya tapi juga fungsional..

Berkelana di area dan bangunan heritage biasanya kita merasakan aura khusus, bahkan jika seseorang memiliki indera kesekian hehe bisa tahu hal mistis. Entahlah, mungkin hanya khayalan atau kenyataan? Kawasan heritage yang bagus, bersih terawat memang menyedot pengunjung untuk datang. Sekadar relaksasi badan dan pikiran serta menambah wawasan sejarah.

Heni Hikmayani Fauzia

kalau saya bawaannya kagum aja gitu mbaa saat memasuki gedung-gedung tua. betah menelusuri setiap jengkal sudt bangunannya. Beberapanya entah kenapa kadang suka merinding hehehe

Sebagai orang yang gak “peka” terhadap lingkungan yang ada ((mungkin disebut penunggu)) – aku suka ngerasa B aja.. meski ke ((yang katanya auranya kuat)) kayaaa Lawang Sewu.
Mungkin kudu mempertajam rasa yaa.. tapi aku orangnya penakut juga.. huhuhu.. kayanya kondisi saat ini uda yang paling pas sih yaa..

Artikel ini mengajak kita untuk nggak sekadar jadi turis, tapi juga jadi warga kota yang kritis dan mau bertanya: “Apakah bangunan ini bahagia hanya jadi objek foto?” Keren!

Agustina Purwantini

Adakalanya saya merasakan qda aura berbedq ketika berada di kawasan heritage.

BTW kalau di Jogja saya tuh enggak tahu, di manakah yang biasa dijenap sebagai kawasan hetitqge? Hahahhaha .. saya orang Jogja, tapi saya emggak tahu sebab bagi saya di mana pun pojoakn Jogja, ya heritage.

Agustina Purwantini

Aduh maafkeun saya, kok ternyata banyak typo😭😭

Pagi ini aku sarapan di samping Jembatan Cirahong, sebuah bangunan yang berusia sekitar 120 an tahun, Jembatan yang merupakan penghubung Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya ini, jembatan ini masih berfungsi sampai sekarang. Bahkan kelebihan jembatan ini adalah mempunyai double fungsi, diatas sebagai jembatan kereta api, di bawahnya sebagai jembatan transportasi lokal seperti kendaraan roda dua dan para pejalan kaki. Sebenarnya dulu bisa juga untuk mobil, namun demi keamanan jembatan ini mobil sudah tidak bisa lagi lewat semenjak beberapa tahun kebelakang. Setiap kali hadir di tempat ini selalu terbayang dan terbawa ke memori jaman itu, bagaimana bisa bahan bangunan yang begitu kokoh itu dulunya hanya di bawa dengan kereta kuda di bawa dari Eropa. Baja-baja beton setelah di rangkai memanjang 200 meter dengan tinggi 66 meter mulai di bangun pada 1893…sekarang hanya bisa berharap semoga bangunan ini masih bisa berfungsi hingga sampai tahun tahun berikutnya..

Jalan jalan ke tempat heritage seperti ini kesukaan saya. Seperti mengunjungi dunia di tempat dan masa yang berbeda. Cocok pula untuk hunting foto foto suasana, bangunan dan arsitekturnya.

Konsep “kolonivora” mengingatkan kita pada tantangan menjaga warisan sejarah sambil merayakan budaya. Penting untuk menemukan keseimbangan agar kawasan heritage tetap dihargai tanpa kehilangan nilai historisnya.

Kalau saya pribadi, gak masalah kawasan heritage dijadikan tempat wisata. Apalagi kalau kemudian dapat pemasukan di sana dan bisa dipakai utuk merawat kawasan tersebut. Tapi, memang sebaiknya jangan sampai sejarahnya tergerus. Sebaiknya tetap ada semacam tour atau apapun, di mana para wisatawan gak sekadar ‘berpesta’ tapi juga tau sejarahnya.

Kadang kita (saya saja kali ya) kalau pas ke kawasan heritage suka banget mengabadikan beberapa sudut karena merasa Instagramable padahal banyak nilai lain selain itu ya

31 Responses