Penulis : Dinda Pranata
Siang itu terasa begitu nikmat untuk cuaca panas terik di Kota Blitar. Aku duduk di bawah pohon rindang, yang aku sendiri tak tahu namanya. Batang pohon itu tidak coklat, namun warnanya keperakan. Mungkin karena jamur. Namun, di batangnya menjuntai tanaman paku-pakuan. Tanduk rusa.
Mataku menatap tanaman tanduk rusa itu lama. “Tanaman paku-pakuan,” gumamku lirih, “paku….” Kata-kataku terhenti. Aku ingat satu buku yang kubawa di dalam tas. Buku itu seperti paku, menancap keras sembari mempertanyakan pola sejarah yang kulihat masa kini masih ada.
Kisah perawan remaja dalam buku itu. Nama perempuan, yang usianya mungkin lebih muda dariku, yang namanya tidak pernah masuk cerita sejarah.
Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer
Buku Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer, diterbitkan oleh penerbit KPG tahun 2002. Perjalanan Pramoedya dalam menulisnya bermula dari cerita-cerita samar tentang perawan Jawa yang dibawa tentara Jepang sejak 1942 (tahun awal pendudukan). Tentara itu menjanjikan akan menyekolahkan mereka ke Tokyo. Usianya masih belasan sekitar lima belas hingga sembilan belas tahun.
Namun kenyataan yang menyambut mereka jauh dari janji. Bukan pendidikan yang mereka dapatkan, melainkan paksaan untuk menjadi pemuas nafsu tentara Jepang. Tentara-tentara itu menjadikan mereka wanita penghibur.
Baca juga: Review Buku The Man Who Loved Books Too Much
Ketika Jepang menyerah pada tahun 1945, para gadis itu tak pernah sampai ke Tokyo. Mereka tercerai-berai. Sebagian hilang arah, sebagian lagi terdampar di Pulau Buru (tempat Pram sendiri menjadi tahanan politik puluhan tahun kemudian). Dari potongan-potongan cerita yang ia kumpulkan, Pram mulai menelusuri nama-nama remaja itu di pulau itu. Mencoba menyatukan kembali fragmen tubuh dan ingatan yang pecah dan tak utuh dalam sejarah.
Aku bergemuruh ketika membaca halaman-halaman awal buku ini. Awalnya kukira, ini buku seperti Bumi Manusia (fiksi historis yang dibuat Pram di pulau yang sama). Tapi dugaanku meleset.
Namun dari halaman pertama hingga beberapa halaman selanjutnya, tak kutemukan alur seperti novel-novel yang kubaca dari karyanya. “Ini bukan novelet,” kataku, “ini memoar historis.”
Aku tetap melanjutkan? Ya, aku kira sudah kepalang tanggung, pikirku saat itu. Aku pun melanjutkan dari halaman ke halaman. Di baris ketiga, pada paragraf pertama, sebuah halaman ada kalimat yang menghantam.
Perawan remaja itu memohon pulang setelah tahu Jepang kalah, namun jawaban tentara itu hanya satu kata: “Dame! (Tidak)”
Baca juga: Radio Gosip Puritan: Skandal Hester Prynne Dari Nathaniel Hawthorne!
Alasannya? Agar para remaja itu tak membuka kejahatan mereka.
Aku terenyuh membayangkan nasib mereka dan keluarganya yang mungkin menunggu, tanpa kabar. Dan kalaupun sudah tiada mereka pun … tanpa nisan. Kenyataan itu justru tak pernah kutemukan dalam pelajaran sejarah tentang propaganda Jepang. Lalu apa yang salah dari ini semua?
Sejarah Itu Penuh Celah, Namun Rawan Pecah

Kadang kita hidup dalam narasi sejarah yang tak pernah benar-benar diam. Ia bergerak, lalu retak. Ada celah kosong di sana-sini—dan ketika akhirnya pecah, sering kali kita tak siap menghadapi kebenarannya. Krisis kepercayaan pun muncul, menyelinap diam-diam dan akhirnya pecah tumpah ruah di jalan. Demo.
Namun, pernahkah kita berpikir (setidaknya sebelum tumpahan itu terjadi) alasan sekolah mengajarkan sejarah? dan pernakah kita berhitung berapa kali kita benar-benar terjaga saat guru sejarah menerangkan. Dengan seribu satu alasan, kita sering berkata, “halah! ngapain belajar sejarah? Toh kita sudah merdeka!”
Padahal sejarah tak pernah statis. Ia punya pola. Kadang samar, kadang menyakitkan. Pola yang bisa berulang, entah dalam bentuk serupa atau menjelma dengan wajah baru.
Baca juga: Ketika Uang Cuma Numpang Lewat, Perhatikan Kesehatan Mental si Uang!
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer bukan sekadar catatan sejarah. Ia seperti pecahan puzzle yang berharap ditemukan dan disatukan kembali. Dalam penulisannya, tak ada kronologi. Tapi Pram tak tinggal diam. Ia mencatat: siapa yang ia temui, siapa yang ia selami, apa hubungannya dengan para korban, dan siapa saja nama perempuan remaja yang Jepang bawa pergi.
Bagiku, buku ini seperti catatan lapangan. Mentah tapi jujur. Pramoedya tak hanya menelusuri jejak para perempuan dari tanah Jawa, ia juga berhadapan dengan masyarakat adat di Pulau Buru. Komunitas yang punya cara sendiri ketika menyambut orang luar. Di situlah pria itu belajar melenturkan sikapnya, menyimak lebih banyak daripada berbicara.
Tak heran jika dalam buku ini terselip banyak istilah dari bahasa Pulau Buru. Tak selalu mendapat penjelasan. Kadang kita harus menerka dan menafsirkan. Sisi itulah yang menjadi daya tarik buku ini. Kita tak lagi jadi pembaca pasif. Kita diajak ikut menebak, meraba, dan ikut merasa.
Menutup halaman terakhir, satu tanya diam-diam menggema di kepala:
Sudahkah kita mengenali pola-pola sejarah yang terjadi pada perempuan itu? Sudahkah kita berhenti atas pola-pola itu atau justru mengulangnya kembali?
Suara yang Tersembunyi, Narasi yang Terkuasai
Dalam sejarah, suara tak selalu berteriak. Kadang ia terpaksa membisu. Kadang justru terselip di balik catatan kaki (sebagai nama yang disebut) tapi tak pernah benar-benar bicara.
Baca juga: The Path Made Clear: Optimisme sang Visioner Oprah Winfrey
Gadis dalam buku Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer adalah suara-suara yang disembunyikan. Mereka pernah ada. Mereka pernah mendapat sapaan janji-janji manis pendidikan ke Tokyo, lalu ironinya justru menjadi pemuas tentara. Dan ketika perang usai, suara mereka tak pernah kembali.
Bahkan ketika Pram berhasil menemui salah satu perawan itu (yang dulu pernah dibawa Jepang, pernah dikebiri masa depannya) ia menjadi sosok yang diam. Seperti enggan membuka luka dalam kisah masa mudanya. Wanita itu masih hidup. Namun ucapannya seperti tenggelam.
Apakah suara itu sudah hilang? Atau sengaja bersembunyi demi bertahan?
Kita tumbuh dalam narasi besar yang dikuasai oleh yang kuat, yang bersenjata, yang memegang pena sejarah. Sementara, para remaja (yang tubuhnya menjadi alat di medan perang, yang hidupnya terjerabut begitu saja) tak mendapat cukup ruang untuk menyusun kalimat. Dibisukan.
Kepatuhan seolah jadi syarat selamat. Diam seolah jadi bahasa yang aman.
Baca juga: Novel Emma: Idealitas Wanita di Era Victoria
Dan kita, generasi setelahnya, membaca mereka dari balik teks, berusaha menebak suara yang tak pernah tercatat itu. Mungkin karena mereka memilih diam. Atau karena dunia ini tak cukup aman untuk mendengar kebenaran mereka.
Tapi bukan berarti suaranya tak ada. Ia tetap hidup. Dalam bayangan. Lukisan retakan. Bahkan, dalam jeda yang lama kosong oleh narasi dari mereka yang sibuk menulis kemenangan.
Invitasi dan Diskusi
“Maaf ini pesanan kopinya,” kata pelayan bercelemek coklat tua yang terbuat dari kulit. Aku tersadar dari lamunanku. Langkahnya pelan sambil membawa es latte dari kopi arabika yang sudah teracik di dalam dapur. Aroma pahit bercampur manis menguar ketika es latte itu ada di atas meja.
“Terima kasih, Mbak,” kataku sambil tersenyum. Sebelum beranjak pergi aku memanggil perempuan muda itu. Perempuan muda berambut panjang dan terikat rapi itu membalikkan badannya kembali.
“Mau pesan lagi?” tanyanya padaku.
Aku hanya menggeleng sambil tersenyum, “maaf apa boleh aku tahu berapa usia mbak ini?” tanyaku sopan.
Perempuan itu memiringkan kepalanya sedikit. Ragu menjawab. “Aku seorang penulis,” kataku sambil mengangkat note yang kubawa. Perempuan itu tersenyum kembali sambil menjawab, “18 tahun, baru lulus sekolah kejuruan.”
Aku tersenyum dan tak lama kemudian perempuan muda itu berjalan berbalik. Lalu kembali bekerja.
“Semoga saja gadis itu hidup lebih baik dari kisah yang kubaca ini,” gumamku.
Gimana nih gengs, ada yang sudah membaca buku Perempuan Remaja dalam Cengkraman Militer milik Pramoedya Ananta Toer ini? ataukah pernah membaca buku yang cukup membuatmu terdiam akan suatu hal? Kalian bisa berbagi ya di kolom komentar. Eits! Tapi tetap dong dengan bahasa yang sopan, semata-mata agar jejak digital kalian tetap bersih.
Happy Monday! Jya, mata~
Comment
Hmm, cerita yang menarik, ya. Kadang buku-buku karya penulis lama itu bisa memberi banyak literasi buat author pemula kayak aku gini. Hahaha…
kapan saya bisa baca buku di bawah pohon rindang ya
Tulisan ini bikin aku diam cukup lama setelah membacanya. Rasanya seperti ditampar sejarah yang selama ini tak diceritakan utuh. Terima kasih sudah mengangkat kisah sunyi para perempuan yang seringkali dilupakan, padahal mereka pernah jadi korban dan saksi bisu perang.
Harusnya, meski sekelam apapun sebuah cerita dalam sejarah, baiknya memang diceritakan ya, Kak. Ah entahlah. Sungguh kejam sekali tentara Jepang itu.
Miris sekali ya. Perawan remaja dalam cengkeraman militer ini. Kenapa mereka nggak boleh pulang ketika Jepang sudah menyerah sih? Aku belum pernah membaca buku ini. Sebenarnya, aku belum pernah membaca semua buku Pak Pramoedya. Aku hanya pernah diceritai oleh temanku yang sudah selesai membacanya.
Waktu sekolah, nggak suka belajar tentang sejarah, karena mata pelajaran ini ntah kenapa kesannya “menuntut siswa untuk menghapal tanggal-tanggal dan nama tokoh”. Tapi setelah dewasa, merasa membaca sejarah itu seru dan memang kita nggak pernah tahu cerita sejarah yang paling benar dan lengkap. Karena katanya sejarah ditulis oleh pemenang. Btw saya penasaran pulau Buru ada di mana, pertama kali dengar.
Pramoedya Ananta Toer memang gk pernah gagal kalau nulis. bukunya menarik banget jadi masuk wishlist saya sekarang, gk nyangka ceritanya real berlatar belakang memori dari kekejaman jepang, disekolah yang beginian gk pernah diajarin padahal banyak sekali luka lama yang terpendam
Aku bakal cari deh buku Pram yg ini. Setelah baca tetralogi nya yg bumi manusia dkk, jadi sukaaaaa banget buku2nya pak Pram. Cara dia menuliskan semua , bikin susah lepas dari buku sampai benar2 tamat.
Buku yg bikin aku terpana, sampe kayaknya susah banget move on, dan saking sukanya aku baca ulang 4x, itu gone with the wind dan sekuel keduanya Scarlett. Sukaaaaaa bangettttt.
Tapi fiksi sih mbak . Cerita ttg kehidupan bangsawan Amerika di zaman dulu, yg masih ada budak, tp kemudian jatuh Krn pemberontakan. Dari gadis manja yg selalu dilayani, dia bisa berkembang menjadi wanita kuat dan tangguh ❤️❤️❤️.
Cerita yg bikin kita termotivasi gini, selalu aku suka sih
Aku jadi inget, beberapa waktu lalu juga di’racuni’ untuk membeli bukunya Pramoedya Ananta Noer sama mbak Nik. Ternyata beliau tak hanya piawai menulis fiksi, tapi juga pandai dalam menyusun kepingan-kepingan sejarah ya.
Pas sekali ini, dengan yang viral saat ini kala sejarah ingin ditulis ulang oleh para penguasa seenaknya. Seakan masa lalu hanyalah angin lalu yang minim arti.
Btw jadi inget dulu pas kursus bahasa jepang. Kata senseiku, orang jepang malah banyak yang gak tau lho bahwa leluhur mereka pernah menjajah Indonesia. Begitulah, ketika masa lalu sudah diubah dan difilterisasi, akhirnya segala yang buruk dihilangkan begitu saja.
Aku belum baca mbaa…belum pernah baca karya beliau..sebenarnya pengen baca karya2 beliau tapi suka maju mundur takut klo terlalu berat..baiklahh setelah aku selesaikan series buku2 ku lanjut buku karya beliau aku masulkan wishlistku selanjutnya..krn jujur aku juga penasaran sbnrnya dengan cerita utuhnya
Pas baca ini, aku jadi mikir: suara siapa aja ya yang selama ini hilang dari sejarah? Kisah para perempuan muda itu bukan cuma menyedihkan, ya mbak, tapi juga nunjukin gimana mudahnya mereka disisihkan dari narasi besar. Dan sampai sekarang, kayaknya pola itu belum sepenuhnya hilang.
Nah iya mbak, jadinya kelam banget kalau membayangkan jaman dulu tentu perempuan. Semoga di masa sekarang gak lagi ada yang seperti itu
Ternyata di Jepangnya sendiri juga chaos ya. Serem banget malah dijadikan tempat pelampiasan hawa nafsu. Aku kayak pernah juga sih nonton ini, ehh ternyata sama dugaan kita Bumi Manusia, ternyata bukan ya.
Berbicara sejarah itu kayak nggak ada habisnya, nggak tahu yang mendekati kebenaran yang mana, tapi setiap cerita selalu membuat kita jadi berpikir kritis.
Ini buku memoar sejarah, betul, dan untuk baca buku-buku seperti ini butuh kesiapan mental dan hati. Karena biasanya suka nyesek, membayangkan bahwa kisah ini nyata, dialami manusia sama sepertiku juga. Menempatkan diri sebagai tokohnya pun aku tak sanggup, saking seringkali ceritanya sangat menyedihkan…. Pram delivered it so well.
Saya belum pernah membaca buku ini Mbak. Tapi membaca ulasannya, sungguh miris l perih dan menyayat hati. Saya membayangkan perempuan muda berangkat dengan penuh harapan. Terbayang Tokyo kota tempatnya menuntut ilmu . Namun semua berakhir dengan penderitaan. Kalau dipikir tentara jepang jahat sekali Memang. Padahal sejarah mencatat, jepang masuk ke Indonesia karena ingin membantu kita belaki sebagai kakak asia. Kalau ga salah di pelajaran sejarah dulu dengan 3 semboyannya. Nippon pelindung asia. Nippon pemimpin asia Nippon cahaya asia.
Kayaknya cerita ini bagus juga kalau difilmkan ya
Aku belum membaca bukunya, walau Om Pram sebagai satu sosok kuat dalam perjalanan menulisku. Tulisan ini membangunkan lapisan terdalamku, melihat betapa sering kita menelan narasi pemilik panggung. Lalu tulisan ini >> melenturkan sikapnya, menyimak lebih banyak daripada berbicara.<< kalimat yang ingin sekali banyak penerus mengerti bahwa sejarah atau masa lalu penting untuk diketahui.
Banyak alasan untuk itu diantaranya, waktu suka mengulang peristiwa dengan wajah berbeda.
Terima kasih untuk tulisan segarnya, selalu mendapat kekuatan setiap membacanya.
Aduh, beneran ini kudu nyariii buku iniii dan segera bacaaa
keburu di-banned ama rezim jaman now.
Kebayang pola penyiksaan yg terkuak di novel ini, bakal bikin orang2 tertentu naik pitam.
Pak Pram memang huebaattt, berani menarasikan hal2 yg berbahaya
Jujur pernah baca buku Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer, benar-benar merasakan betapa kelam dan seramnya nasib para perawan kala itu dan benar semsetinya kita selaku orang yang hidup di masa merdeka, tidak melupakan begitu saja sejarah kelam karena konon sejarah itu akan berulang namun dengan cara yang lebih modern dan tidak terasa padahal secara garis besar polanya sama. Maka janganlah jadi jas merah, kalau bisa kulik semua sejarah, pahami dan cegah juga. Banyak suara suara dibungkam paksa demi selamat padahal dalam dada bergejolak kekecewaan mendalam akan ketidakadilan.
Saya belum membaca buku ini mba. Tapi saya tuntas membaca Bumi Manusia bukunya Pramoedya yang lainnya. Tetap berlatar sejarah yaa. Saya harus baca nih bukunya
Kalau udah Pramudya yang menulis gereget pisan dah. Diksinya bagus pula. Apalagi ini dikemas layaknya memoar, jadinya yang membaca turut merasakan nuansa sejarah yang mengena.
Resensinya mengena banget! Gak cuma bikin sadar soal kekejaman Jugun Ianfu di Pulau Buru, tapi juga ngebuka mata soal dampak sistemik terhadap perempuan—hilangnya kehormatan, mimpi, dan hak dasar mereka. Gaya tulisan Pram yang humanis bikin kisah ini terasa ‘hidup’ dan bikin pembaca benar-benar merasa empati. Jadi mau cari deh bukunya yang ini.
Kalau nonton atau membaca buku mengenai serpihan sejarah ini, aku yakin.. kejadian sebenarnya lebih pedih beribu kali lipat.
Rasanya benar kalau digambarkan bahwa “Sejarah Itu Penuh Celah, Namun Rawan Pecah”.
Sejarah bisa tergantung siapapun yang menceritakan.
Bagi yang superior, mereka bercerita dengan gaya pongahnya.. dari sisi inferior, meski sudah diceritakan secara utuh pun, mereka tidak dapat menggambarkan bagaimana kekejian penjajah pada jamannya.
Duh iya, jepang yang dikira sahabat tua ternyata lebih kejam (kalau menurut sejarah). Mana orang2 Jepang gak diajarin sejarah itu, jadi kek lupa gitu aja. Makanya orang2 Korea kyknya masih dendam juga nih ma mereka.
Perilaku biadab tentara Jepang pada masanya emang jahat, meski begitu pemerintah mereka pada akhirnya mengakui peristiwa itu sebagai bahan buat merenung agar tidak mengulangi kesalahan serupa.
Ternyata buku ini bukan novel ya tapi lebih ke catatan. Lebih suka gini biar gak terlalu sedih bacanya, melainkan kita kyk membaca fakta aja di lapangan supaya bisa kita ceritakan lagi ke dunia.
Aku suka baca buku Pramoedya Ananta Toer ini
Kisahnya selalu ada unsur sejarahnya ya
Mgkn karena memang Pram hidup di zanan penjajahan
Buku Pak Pram ini temanya berat ya mbak, tetapi aku tetap penasaran dengan karyanya, ingin membacanya langsung apalagi buku ini memoar. Hmm tak dapat membayangkan kerasnya kehidupan yang dialami oleh remaja perempuan tersebut. Berapa banyak yang harus meregang nyawa untuk mempertahankan haknya dan berapa pula yang dibungkam agar tetap hidup namun tak punya jiwa
Saya blm pernah membaca buku ini, sepertinya buku yg cukup ‘berat’ ya..rangkuman sejarah yg terpendam atau terpaksa dipendam. Terimakasih sharing review buku ini..
Saya blm pernah membaca buku ini, sepertinya buku yg cukup ‘berat’ ya..rangkuman sejarah yg terpendam atau terpaksa dipendam. Terimakasih ya.. sharing review buku ini..
aku belum pernah baca bukunya pram sebenarnya. tapi kalau soal sejarah begini setelah dewasa jujur aku baru tahu kalau sejarah yang kita pelajari di sekolah itu ditulis oleh pemenang dan untuk pelajaran sejarah kita sekarang entah bagaimana pemerintah sekarang menuliskannya
Saya belum pernah membaca Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, tapi dari penjelasan singkat di sini saja sudah terasa betapa penting dan pedihnya kisah yang diangkat.
Miris sekali membayangkan bagaimana gadis-gadis muda dijanjikan masa depan cerah, tapi justru terjerat dalam tragedi kemanusiaan.
Rasanya buku ini perlu masuk ke daftar bacaan agar kita tak lupa bahwa sejarah juga menyimpan suara-suara yang selama ini mungkin tenggelam
Cerita menariik berpadu dengan kisah sejarah kelam yang kerap dilupakan, membuat kita bertanya seberapa banyak suara yang sengaja dibungkam dalam sejarah.
Miris ya, perlakuan yg diterima oleh remaja perawan ini dari penjajah Jepang. Kok bisa sekejam itu mereka dan ngga habis pikirnya penjajah sebegitu takutnya rahasia kejahatannya disebar.
Dan benar juga ya sejarah ini bagai puzzle yang kadang tidak bisa ditebak dan memberikan celah kosong pada kita tapi dia masih tersusun rapi dikenangan para penerusnya
Miris ya, perlakuan yg diterima oleh remaja perawan ini dari penjajah Jepang. Kok bisa sekejam itu mereka dan ngga habis pikirnya penjajah sebegitu takutnya rahasia kejahatannya disebar.
Dan benar juga ya sejarah ini bagai puzzle yang kadang tidak bisa ditebak dan memberikan celah kosong pada kita tapi dia masih tersusun rapi dikenangan para penerusnya.
Belum baca buku ini, ngeh tentang Jugun Ianfu pas belajar sejarah di sekolah. Pernah nanya sama Oma yang melalui zaman pendudukan Jepang tapi karena masih kecil, membahas hal begini dianggap tabu dan dijawab sekedarnya saja.
Suatu saat jadi pengen baca juga demi mengentaskan rasa penasaran.
Tulisanmu beneran baguss kak! Menyentuh banget buat aku ga berenti baca
aku belum baca buku ini kak. Pasti rasanya sedih baca buku ini ya. aku belum pernah baca bukunya Pram. tapi udah ada sih di list ku. hhehe
huaa, aku sudah lamaaa sekali tidak membaca buku seperti ini xD padahal dengan banyak membaca, kosakata bisa bertambah dan kemampuan literasi kita bisa meningkat ya.. terimakasih sharing bacaannya melalui blog ini..
35 Responses