Penulis : Dinda Pranata
Nara menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Tangannya yang menggenggam gelas kopi mulai gemetar saat membaca judul berita: “Eks Pegawai Bobol Data Cloud, Klaim Demi Keamanan.” Ia menelusuri isi artikel perlahan, mengabaikan bunyi notifikasi yang berdenting dari grup alumni. Mantan rekan kerjanya—orang yang dulu duduk tepat di sebelahnya—tertangkap meretas sistem internal dan mencuri ribuan data pribadi. Meski sudah terbukti bersalah, kata-kata yang meluncur dari mulut pria itu, sungguh membuat Nara geleng kepala.
Maaf Bukan Saya! Mungkin Alam Semesta
Nara menyandarkan punggungnya ke kursi, pikiran masih dipenuhi berita tadi. Ia teringat bagaimana temannya yang menjadi tersangka pembobolan itu berkata, “bukan saya yang membobol, tapi semesta memberi saya kesempatan untuk memberi tahu jika sistemnya rapuh!” Kalimat itu sering jadi pembelaan buat mereka yang sudah jelas-jelas membobol sistem.
Nara berpikir kebanyakan pembobol akan mengklaim hanya ingin “menguji keamanan”—seakan data pribadi orang lain bisa dijadikan bahan eksperimen tanpa izin. Yang lebih parah, mereka bangga, seolah aksi peretasan itu bagian dari aksi heroik.
“Aku tidak ingin menyalahkan semesta, tapi …,” kata-katanya terhenti begitu saja saat matanya tertumpuk pada berita lain.
Wawancara seorang influencer wanita yang sedang menggugat netizen karena mengolok-olok anaknya. Berita itu memblur nama akun yang influencer itu laporkan namun pesan di kolom komentarnya terbaca, “anak setan! makanya log in saja biar tidak jadi setan!” Nara membaca kolom komentar di berita itu yang isinya beragam tapi ada juga yang mengomentari, “jadi artis kok baperan”, “dikit-dikit lapor!”, “bercanda kok baper!”
Baca juga: Judul yang Penuh Harapan Tanpa Jaminan Realita
“Cyberbullying, selalu terbalut dengan kata bercanda,” desah Nara.
Masih ada lagi si tukang doxxing. Orang yang keranjingan membongkar identitas akun anonim karena tidak setuju dengan opininya. Setelah identitas tersebar, netizen menyerbu dengan ancaman. Dan si pelaku doxxing hanya angkat bahu, berkata, “Saya cuma kasih informasi aja, yang lain aja yang keterlaluan.”
Kasus-kasus ini membuat Nara resah menggunakan media sosialnya. Larut dalam pikiran yang dalam, tanpa sadar, seorang wanita muda tiga puluh tahunan menepuk bahunya yang membuatnya terlonjak. “Ada apa?” tanya Gita, teman kuliahnya yang sekarang di bagian personalia.
“Lagi baca apa sih, serius amat!” Gita menyunggingkan senyum, melirik ponsel Nara. Seketika senyum itu memudar. Ekspresinya mendadak kaku.
Cyber Wrecking, Otak Perlu Reseting

Gita tersenyum tipis. Sudut bibirnya tampak bergetar, seolah ada cerita di balik senyum itu. Wanita itu mengambil duduk di depan Nara. “Berita ini tentang temanku di perusahaan lama. Tak kusangka kelakuannya masih sama, “ kata Nara mendesah.
Baca juga: #KaburAjaDulu, Giliran Sukses Diaku-aku
Tangan Gita menggenggam erat cup tehnya yang masih mengepul. Berusaha menyembunyikan kekhawatirannya. “Aku dulu pernah memergokinya, masuk ke ruang server perusahaan itu beberapa tahun lalu sewaktu aku lembur.”
Nara terdiam sejenak sambil mengaduk-aduk coklat hangatnya. “Tak lama setelahnya aku baru tahu kalau akses ke ruang server tidak sembarang bisa dapat. Lalu atasan memanggil dia dan aku sebagai saksi saat itu, dalihnya sama, dia tidak membobol server tapi mencoba ketahanan server perusahaan.”
“Itu yang namanya disonansi kognitif,” jawab Gita pelan. Nara mengalihkan padangannya ke arah Gita. “Pernah dengar kan?” tanya Gita lagi. Nara menggeleng.
Gita mulai menjelaskan, “disonansi kognitif itu njelasin keadaan di mana pikiran atau keyakinan seseorang bertentangan dengan tindakan atau realita yang ada. Jadi, ketika seseorang melakukan sesuatu yang nggak sesuai dengan nilai moralnya, mereka akan merasa tidak nyaman. Nah, buat ngatasi ketidaknyamanan itu, mereka cari pembenaran. Kaya hacker yang bilang, ‘saya cuma ngetes keamanan aja kok.’”
“Tapi kan semua orang tahu kalau meretas dan membocorkan data itu salah!” seru Nara yang mulai naik darah.
Baca juga: Berdiri Seperti Pahlawan, Isi Kepala Jadi Sorotan
“Untuk seseorang yang tidak ada motif tertentu, itu salah. Tapi jika mereka ada motif terselubung, itu bisa dibenarkan. Setidaknya menurut mereka.” Gita menyesap teh hangatnya. “Keadaan ini semakin parah jika mereka mengakses media sosial berdasarkan alogaritma/preferensi yang menguatkan pandangan mereka,” lanjut Gita.
Invitasi dan Diskusi
Nara mulai tertarik dengan pembicaraan itu, seolah ada rasa penasaran tentang masalah itu. “Kasus yang kau baca itu punya nama, Cyber Wrecking. Baik hacking, doxxing, cyber bullying sampai spamming, itu masuk dalam cyber wrecking alias merusak sistem untuk tujuan tertentu,” jawab Gita.
Nara cuma mengangguk. “Lalu solusinya?” tanya Nara. Gita cuma menggeleng. “Tidak akan cukup hanya dengan iman yang kuat, jika mereka tidak punya kemampuan kesadaran literasi digital yang baik,” jawab Gita. “Intinya otak mereka harus direset ulang dengan etika digital,” sambungnya lagi.
“Kau tahu banyak ya,” kata Nara tersenyum lebar. “Kau akan mencari tahu, ketika kau mengalaminya,” jawab Gita.
Ponsel Nara di atas meja bergetar, sebuah panggilan dari nomor asing menghubunginya. Sebelum ia menjawab. Gita beranjak dari kursinya. “Kau juga harus berhati-hati,” katanya lagi sambil tersenyum, sebelum meninggalkan Nara yang masih duduk di kursinya.
Baca juga: Makan Bergizi Gratis dan Kenapa Gratis Itu Masalah?
Nara menerima panggilan telepon itu, dan terkejut dengan apa yang didengarnya. Berita mengejutkan bertubi datang padanya pagi itu. ART-nya menemukan Gita meninggal dunia di apartemennya, sebelum matahari terbit karena cyber wrecking dengan bentuk doxxing dari seorang penguntit yang menyebarkan data privasinya di forum gelap.
Ia menatap nanar kursi di depannya itu dan bayangan Gita yang berlalu meninggalkannya. “Lalu dengan siapa aku berbicara?” gumamnya dengan mata membelalak dan suara bergetar.
Dari cerita di atas nih, ada nggak yang pernah ketemu dengan orang yang ketahuan salah, tapi ngeles mulu buat bebas dari masalah? Yuk bisa ikutan ngeramein kolom komentar dengan cerita dan perspektif kalian ya boleh pro dan kontra. Eits, tapi komennya yang sopan ya, biar jejak digital kalian tetap bersih!
Happy Monday!
Source:
Baca juga: Bilang Terserah, Tapi Kalau Salah Marah
Athaya, F. H. (2022). Cognitive Dissonance pada Konteks Berkomunikasi dan Mencari Informasi di Ruang Digital: Fenomena Selective Exposure. Jurnal Lensa Mutiara Komunikasi, 6(1), 61–72. https://doi.org/10.51544/jlmk.v6i1.2535
Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.
Comment
Herannya, media mainstream sekarang sering banget doxing. Kalo ada kasus apa gitu, pasti dibuka datanya semua yang kena kasus tersebut. Padahal kasusnya gak selalu berhubungan dengan keluarganya atau pekerjaannya. Tapi ‘oknum’ media kaya mengkuliti semua latar si empunya kasus.
Artikel ini memberikan pandangan yang tajam tentang fenomena “ngeles” saat seseorang ketahuan salah, terutama dalam dunia digital. Menariknya, penggunaan konsep disonansi kognitif menggugah kita untuk merenung lebih dalam tentang pembenaran diri dalam perilaku buruk.
Banyak banget sih kejadian begini. Doxing atau cyber bulying. Saat ketahuan dan korbannya dirugikan, si pelaku ngeles dengan berbagai alasan. Kadang alasannya masuk akal. Seringnya mah dibuat-buat.
Pernah banget kaa…tapi emang jarang yaa saya nemuin orang yang benar-benar tidak membela diri jika salah. Dalam arti mau mengakui salah secara berani dan gentle, iya saya salah dan minta maaf. Kebanyakan yaa gitu dhe ngelees dulu, didesak dan terdesak baru ngaku.
Wahh pengetahuan baru nih buat saya ttng doxxing dan sebangsanya. Saya masih begitu abai utk menjaga keamanan privasi digital.
Penyampaian ilmu di sini jg pakai teknik storytelling yg baguss. Saya anak sastra jd menikmati bacanya.
Iya bener banget! Jaman sekarang banyak banget kasus-kasus kayak gini. Bahkan orang awam pasti udah anggap lumrah
Pernah bukannya sekali bahkan sering, terus orang ybs malahan memutarbalikkan fakta dan dia malah merasa berperan sebagai korbannya. Sangat manipulatif. Pokoknya harus lebih waspada apalagi maraknya kejahatan di dunia siber.
Dunia cyber dan media sosial ini memang kadang kejam sekali. Orang bisa membully dengan akun anonim, kena doxing dan lain sebagainya. Semoga saja sih kita terhindar dari permasalahan media sosial ini
Dalihnya mencoba, ternyata merugikan orang lain ya kak. Semoga data kita aman dari masalah cyber wrecking ini yah
Memungkinkan sih tiap orang merasakannya kak, udah tahu dia salah tapi eh ngelesnya kayak apaan tau. Kadang bikin gedek, tapi cuekin aja, toh kebanyakan orang lain tahu kebenarannya seperti apa
Duh, dunia digital ini memang semakin seram kalau kita tidak hati-hati. Bahkan pada sistem sekelas perbankan saja kebocoran data masih mungkin terjadi. Belum lagi fenomena cyberbullying, di mana banyak orang yang merasa aman membuli orang lain dari balik gadgetnya. Saya pun berharap kita semua semakin sadar dengan norma-norma yang harusnya berlaku di dunia digital ini.
Dulu aku masih suka berbagi hal pribadi, kaya nama lengkap keponakan, foto-foto mereka, dan lainnya. Untungnya sih masih aman, gak ada yang menyalahgunakan. Sekarang lebih berhati-hati. Gak usah sok ngasih tahu detail hal yang bersifat pribadi
Sepertinya saat ini lebih mudah menyalahkan orang lain atau sistem, tidak instropeksi dulu apakah kesalahan itu berasal dari dirinya. La yang jelas-jelas salah aja masih ngeles kok supaya ga ditimpakan ke dia salahnya
Barusan aja tadi penjual seblak cerita sama saya kalau kemarin ada anak seorang ibu yang memecahkan telur satu wadah, penjualnya ga tahu pasti siapa, eh si ibu itu juga ga mau ngaku kalau anaknya yang salah. Baru setelah bayar dia akhirnya ngaku dan mau gatiin telur yang pecah, tapi sayangnya hanya diganti sebagian. Kasihan penjual seblaknya kan kalau seperti inin
Sebenarnya dengan negeles itu salahnya jadi dobel bahkan tripel menurut saya. Salah karena melakukan kesalahan dan nambah dosa berbohong plus bikin orang lain bertambah kesal.
Fenomena cyber wreking ini ga bisa dipungkiri harus jd pertimbangan kita lebih hati-hati saat berselancar di dunia Maya dan sosmed ya
Manusia memang diberi kelebihan untuk self-defense yaah..
Bahasa lainnya “ngeles”.
Tapi kalau memang salah dan masih ngeles, ini jelas perilaku mengganggu sekali.
Tapi yaah, saat ini.. perilaku salah dan benar jadi kabur yaah.. serba abu-abu sejak semua-semuaaa viral di sosmed.
Fenomena kaya gini makin lama makin gampang kita temuin. Sayang banget, mentang2 visual dan gak face to face, malah ngomong seenaknya. Apalagi sikap ngeles seperti ini
Semakin banyak status opini maupun pembenaran hal-hal yang salah menjadi benar. Kemudian netizen ramai-ramai merujaknya. Pakar dan ahli ikutan angkat bisara. Lama-lama yang punya kasus dan para pemerhati saling tuduh dan riuh jadinya bermedia sosial dengan cara begini. Konsep disonansi kognitif harus dicermati supaya kalau ada fenomena seperti ini tidak terlampau ribet.
Fenomena “ngeles” biar lolos dari masalah memang sering kita jumpai, apalagi di era digital ini. Rasanya miris melihat orang yang jelas salah tapi malah mencari pembenaran, bahkan sampai menyalahkan semesta atau bilang cuma “ngetes keamanan.” Ironisnya, di media sosial, pembelaan semacam itu seringkali malah didukung oleh orang lain yang punya pandangan serupa. Semoga kita semua bisa lebih bertanggung jawab dengan tindakan dan ucapan kita, baik di dunia nyata maupun maya.
Hati-hati dengan dunia cyber. Akhir-akhir ini banyak banget kasus begini. Orang-orang gampang banget bully orang pake akun anonim
Ada banget. Ngeri lama-lama orang yang ngeles. Bahkan sekadar beralasan cuma becanda pun sangat ngeselin.
Melakukan tindakan yang merugikan orang lain seperti doxing dan bulying adalah tercela dan bukan hal yang harus dimaklumi dalam kehidupan online.
Melakukan tindakan yang merugikan orang lain sangat tercela dan bukan hal yang harus dimaklumi dalam kehidupan online.
Wah, endingnya malah horor 🤣🤣
Tapi makasih banyak lho, Kak. Selalu nambahin wawasanku terkait hal beginian dengan cara mudah dan menarik.
Jadi dengan siapa tadi berbicara mbak? Hantu atau kembaran Gita?
24 Responses