Penulis : Dinda Pranata
“Permisi!” seru pria dengan baju batik dari arah belakang, “mohon tidak duduk di kursi itu ya. Sudah ada pembatasnya.” Senyumnya simpul tak tulus. Kesal.
Dua pria itu, menunduk tak enak, sambil meminta maaf pada pria itu yang ternyata petugas museum. Mereka kemudian keluar dari garis pembatas kuningan itu dan berkasak-kusuk.
Di saat yang sama, aku, si penjaga batas itu, cuma bisa menghela nafas panjang. “Hei, bruh!” seru si kursi yang tadi diduduki oleh pelancong itu. “Kau itu nggak bisa kerja ya. Masalahmu kok selalu sama. Kau kan tahu aku udah rapuh. Mereka duduk sedikit, patahlah aku!” keluh si kursi.
Aku sekali lagi mendesah. “Ya, bagaimana lagi. Mereka ndak bisa dengar aku ngomong,” keluhku. Lalu sebuah langkah mendekatiku, pria yang sama. Pria berbatik. Dan, kali ini dia menatapku cukup lama. Orang ini apa ngerti bahasaku ya? pikirku saat itu.
“Permisi! Aku Bukan Hiasan Meski Tubuh Penuh Warna.”
Pria berbatik bernama Budi itu membelai kepalaku. “Maaf ya,” katanya lirih. Lalu menghela nafas panjang. Lelah. “Orang-orang itu kok bisa-bisanya bilang tak sengaja,” keluhnya sambil tangannya memperbaiki posisiku, “padahal mereka tahu, kalau benda ini bukan hiasan.” Ia menggelengkan kepala. Lalu, berlalu meninggalkanku.
Baca juga: Diskusi Sehat Bubar, Anggota Barbar
Aku merasa kerdil. Aku tahu kok, kalau aku itu bukan tokoh utama dalam pameran atau tempat-tempat umum lainnya. Bisa kubilang hanya garis, pita atau semacamnya. Bagi mereka mungkin hanya pemanis atau tanda. Tak penting!

Namun, mereka juga bisa celaka jika aku tak ada. Serius. Aku adalah penjaga jarak. Penjaga batas antara tangan iseng dan benda rapuh. Bisa juga penjaga antara jarak aman dan bahaya. Ya, tergantung di mana manusia meletakkanku. Dalam kasusku kali ini, aku diletakkan di museum, yang artinya aku penjaga benda-benda yang punya cerita lebih lama dari hidup pengunjung.
Coba bayangkan berapa banyak marabahaya yang bisa terjadi dari tangan dan kaki yang iseng melewatiku. Contohnya seperti si kursi itu. “Hei, kerja yang benar dong! Lihat kaki-kakiku retak gara-gara wanita itu mendudukiku!” keluhnya.
Atau, si gramofon tua yang ada di ujung koriodor. “Tolong! salah satu bautku lepas!” teriaknya kesakitan. Tersiksa. Suara itu mengeluh gara-gara tangan jahil yang sengaja melewatiku.
Aku juga kesal. Manusia jahil itu pun sering menyalahkanku gara-gara posisiku yang miring lah. Posisiku yang tidak kelihatan lah dan beragam alasan lain. Aku juga bisa murka. Aku merasa direndahkan dalam jabatanku yang penting ini. Ingin sekali kuserukan, “Halo, halo! aku bukan hiasan meski tubuh penuh warna-warni!”
Baca juga: Negara Kaya, Tapi Kok Merana Ya!
Terdengar lucu (atau tragis ya yang cocok), aku tak bisa berbuat apapun untuk masalah itu. Selain, menunggu seseorang yang bisa memahamiku.
Teori Perilaku Terencana
Museum itu perlahan sepi dan hanya menyisakah suara kasak-kusuk pada petugas museum yang sedang berjaga di bagian lobby. Sementara itu, langkah kaki dan samar suara seseorang sedang berbincang mendekat ke arahku.
“Bayangin, Mal!” kata si Budi, “entah berapa kali aku mesti bilang pada turis-turis lokal itu untuk tidak melewati garis pembatas. Tapi ya masih ada aja yang lewat garis buat selfie lah, buat duduk lah!” Nadanya meninggi dan matanya membesar. Kesal. Aku sendiri yang mendengarnya hanya bisa menghela nafas.
Di sisi lain, si Malik, sesama petugas museum, hanya tersenyum getir. “Ya begitulah mereka, Bud! Susah dikasih tahunya. Lu baru aja satu bulan kerja di sini, Gue sudah bertahun-tahun kerja di sini harus jelasin hal yang sama berulang kali dan menegur berulang kali.”
Mereka berdua bersandar pada salah satu pilar penyangga museum itu. Letih. “Gue pernah dengar istilahnya deh untuk fenomena kayak itu. Apa ya namanya …” Malik berpikir sambil menengadahkan kepalanya. Berusaha mengingat. “Ah, maksudmu Teori Perilaku Terencana?” tanya Budi.
Baca juga: Sound Horeg Meriah, tapi Ada Kepala yang Pasrah
“Ah iya!” seru Malik, “teori perilaku terencana itu bilang, kalau perilaku kita sebenarnya bisa diprediksi. Sama kayak kasus turis itu.”
Aku mendengar percakapan mereka tentang teori perilaku terencana itu. Meski benda, begini-begini juga aku menyerap ilmu. Pembicaraan mereka itu membuatku merasa terhenyak, aku pikir pengunjung tersebut benar-benar lupa. Tapi dari percakapan itu, aku malah merasa pengunjung itu lebih dari sekedar lupa.
Karena Perilaku Bisa Terprediksi
Rasa-rasanya baru kemarin, aku melihat seorang wanita yang dengan santainya melewatiku. Ia merasa larangan untuk duduk di kursi tersebut berlebihan. Si turis wanita itu bergumam, “cuma sebentar kok.” Lalu dengan anggun dan tanpa rasa bersalah duduk di kursi yang rapuh dan usianya lebih tua daripadanya. Kata para ahli itu disebut sebagai sikap terhadap perilaku, salah satu poin penting dalam teori itu.
Ada lagi yang bikin geleng kepala. Mereka yang tahu salah, tapi tetap melakukannya. Kenapa? Karena yang lain melanggar dan nggak kena sanksi. Mereka sering menyebut itu sebagai tekanan sosial terhadap norma. Semakin permisif terhadap aturan, ya semakin banyak orang yang melewati batas.
Seperti kasus si Gramofon tua itu. Seorang pria dengan santainya melewatiku, karena ikut-ikutan setelah melihat seorang wanita yang juga melewati garis pembatas. Pria itu bergumam, “masak cuma dia yang boleh dan aku nggak.” Lalu dengan santainya mengutak-atik bagian si Gramofon, sampai salah satu bautnya terpental entah kemana. Terlalu!
Baca juga: Logika Jungkir Balik Khas Warga Komplek
Yang paling bikin frustrasi adalah tentang kendali atas niat perilaku mereka. Bahasa kerennya sih perceived behavioral control.
Seringkali mereka ini celingak-celinguk memeriksa keadaan. Lihat apakah ada CCTV yang merekam atau apakah tak ada petugas yang berjaga. Kalau situasi aman, mereka lompat menyeberangi garis dengan enteng bilang, “cuma foto.” Kalau turis ini merasa aman dan nggak ada konsekuensi dari tindakan mereka, maka batasan apapun hanyalah hiasan.
Aku, si pembatas, hanya bisa tarik-ulur pita di kepalaku secara samar. Perlahan aku terhisap dalam huruf-huruf dan arus informasi dari Malik dan Budi. Sampai, aku tak sadar kalau mereka sudah tak di sekitarku. Mendesah sekali lagi. Berharap suatu saat yang aku tak perlu lagi mengeluh ingin pensiun dini.
Invitasi dan Diskusi
Teori perilaku terencana tersebut terdengar sepele ya? Melangkahi aku, yang katanya hanya sebatas garis, bisa menjadikan mereka, si turis, individu tak terhormat. Namun, coba pikirkan ini. Jika satu garis kecil saja dilanggar, bagaimana mereka bisa menjaga batas yang lebih besar dari itu.
Tidak hanya di museum, tapi juga di tempat umum seperti taman, aku sering juga menjumpai individu yang tak tahu batas. Melewati rumput atau tanaman yang baru saja tumbuh meskipun, sudah ada pembatas di sekitarnya. Ini bukan tentang dilarang atau melarang, tapi bagaimana individu bisa menghargai dan menghormati batasan terhadap suatu hal. Bukankah jika batas dilanggar, mereka pun akan melompat kepanasan?
Baca juga: Beneran Simpati atau Eksploitasi Emosi?
Bagaimana nih gengs? Pernah nggak menemui orang-orang yang seperti ini? Bisa dong cerita di kolom komentar. Eitz, komennya yang bijak ya, semata-mata biar jejak digital kalian tetap baik.
Happy Sunday! Jya, mata~~
Source:
Bosnjak, Michael, et al. “The Theory of Planned Behavior: Selected Recent Advances and Applications.” Europe’s Journal of Psychology, no. 3, Leibniz Institute for Psychology (ZPID), Aug. 2020, pp. 352–56. Crossref, doi:10.5964/ejop.v16i3.3107
https://accounting.binus.ac.id/2022/07/27/pengenalan-variable-penelitian-dalam-theory-of-planned-behavior/
https://www.neliti.com/publications/244719/theory-of-reasoned-action-dan-theory-of-planned-behavior-sebuah-kajian-historis
Comment
Oh, pantesan aja ya di negara Konoha tuh koruptornya terus menjamur, bahkan bisa melakukannya secara berjamaah. Itulah yang disebut perilaku terencana ya, efek dari penegakan hukum yang permisif.. tajam ke bawah, tumpul ke atas. Akhirnya ya gak kelar-kelar ini urusannya, gak ada efek jera sama sekali.
Pada akhirnya kita tinggal bilang, “Pejabat sudah mencontohkan, rakyat tinggal mengikuti”
Bisa jadi salah satu faktornya mas Fajar. Makanya tuh, kalau hukumnya aja permisif ya orang-orangnya jadi gampang menormalkan kesalahan dengan dalih ‘ah begitu aja!” 🙁
Seringkali terjadi Mbak
Kalau aku bakalan marah sih dan langsung bad mood seketika karena merasa tidak adil sebab saya sudah berusaha tidak melewati batas, ada yang seenaknya dan bisa mendapatkan apa yang saya harapkan.
Makanya tuh aku ga paham yang suka melewati batas tuh mikirnya pake apa…
dongkolnya jadi double ya mbak.. 🙁
Iyaa ih suka gemes kalo liat orang2 yang seperti itu,,terang2an melanggar garis batas yang jelas2 terlihat dan terpampang nyata…padahal kan sebenarya mengambil foto di luar garis batas pun juga tidak masalah yaa karena semua juga paham kalo barang2 di museum itu sudah tua jadi perlu untuk dilindungi bukannya malah asal pegang asal sentuh aja hhmmmm…
Nggak cuma di museum mbak Er. Di public space pun kadang sering dijumpai kok. Kayak dilarang injak rumput, eh rumputnya keinjak dong. 😀
Wah, sentilan yg elegan! Aku jadi inget beberapa kejadian serupa pas jalan-jalan. Gimana satu tindakan kecil dari seseorang tuh bisa bgt memicu yang lain untuk ikut melanggar. HANYA KARENA “yang lain juga begitu.” Penjelasan tentang teori perilaku terencana jd hidup banget lewat kisah si kursi tua dan gramofon itu. Salut, tulisannya sebenernya bawa konsep psikologi yang dalam, tapi aku yg baca rasanya ringan2 aja.
Larut kembali membaca tulisanmu, kali tentang beberapa istilah yang menarik soal prilaku.
Paling menarik soal tekanan sosial terhadap norma. Sepertinya ini yang semakin membesar di era sekarang, bahkan mengaburkan arti sebuah “norma”
Konon berdalih demi sebuah kebahagian. Melupakan peran pembatas satu tujuan pentingnya menyelamatkan.Hanya bisa bernafas panjang. Semoga tulisan ini ditemui banyak insan sehingga semakin banyak yang mau kembali pada tempatnya.
Semoga ya bisa memberi dampak ya mbak Nik..
Suksma sudah mampir kemari.. 😀
Kak, apakah dirimu alumnus Psikologi?
Deep bangetttt lagi postingannyaaa
beneran bisa bikin kita mikir dan kontemplasi, loh.
dikemas dgn personifikasi dan PoV yg out of the box, tapi kwereeenn!
Aku lulusan sastra, Mbak.
Sungguh bangga kalau aku beneran jadi alumnus psikologi. hehehe.. 😀
Mungkin mereka ini menganut paham aturan ada untuk dilanggar mba 😞. Tipe orang yg ga bisa diatur, ntah Krn memang sombong, arogan atau pada dasarnya bodoh.
Aku kebayang orang2 begini datang ke museum2 di Korea Utara, trus nekad foto atau menyentuh, wassalam hidupnya 🤣🤣. Aku ngerasain sendiri ketatnya aturan di sana.
Padahal yaaa aturan itu ada ya utk menjaga ketentraman dan kenyamanan. Kok ya malah seneng kalo keadaan jadi kacau
Sungguh terlalu sih kalau ada yang bilang penjaga garis nggak kelihatan, segitu besarnya masa nggak kelihatan. Dari melanggar aja, udah kelihatan wataknya gimana. Ini sering banget aku lihat kalau di tempat-tempat umum kaya taman gitu. Jadinya merusak dan mengganggu orang sekitar, huhu..😢
Aku yang selalu ngingetin anak supaya gak melewati garis pembatas. Karena kalau sudah dibatasi, artinya ya benda itu sebegitu dijaganya. Semoga kemudian hari makin banyak orang yang teredukasi dan bisa memahami arti batasan. Karena masalah di kita itu sesimple gak memahami batasan, batasan mana hak kita mana hak orang lain. Maka sering terjadi hak orang lain dilanggar hanya karena sebetulnya orang itu gak tau mana batasannya, hiks hiks. (Termasuk korupsi)
Terbiasa mengabaikan, tidak emmperhatikan batasan akhirnya jadi kebiasaan dan kebablasan. Buat apa norma dan aturan dibuat jika hanya untuk dilanggar, justru seharusnya ada aturan untuk mengatur agar teratur.
Hidup mengikuti aturan juga akan lebih tenang dan lebih terarah, hufft
Nah, aku juga selalu heran serta kesel sama orang yang membiasakan diri melanggar yang sudah dilarang. Seperti kasus pembatas di area museum kan jelas ya, nggak boleh melewatinya tapi ada aja yang malah dudukin, foto dkk. Rupanya perilaku kayak gitu bukan spontanitas? Hmmmp terencana toh, intinya dalam pemikirannya sudah terencana bakalan gini, gitu. Jadi edukasi buat tidak melanggar larangan mesti di kencengin yak terutama kesadaran dalam diri, supaya lebih tertib dan semua pihak jadi nyaman juga. Tentu bakalan lebih damai pula ini negeri.
Kalo si tali itu bisa bicara bakalan kek gitu curcolnya kurang lebih. Karena emang iya sih ya, adakalanya seseorang kalo ada garis batas bukannya menjaga jarak malah kalo bisa diterobos ya diterobos huhu
Sering sih lihat orang-orang yang tidak tahu aturan. tidak hanya melanggar pembatas, tapi sudah ada tulisan, dilarang memegang atau disentuh, masih saja disentuh. bukan hanya dimuseum, di tempat wisata juga. Sudah ada larangan stupa jangan dipanjat, masih melanggar selfie sambil dipanjat. jadi memang harus penuh kesadaran saat berkunjung ke suatu tempat.
Hadeh hadeehh soal melanggar garis ini emang tabiat kali ya, apalagi turis domestik. Nggak hanya garis pembatas kek pita gitu, tapi sering tu misal di lampu merah banyak yang majuin kendaraannya melebihi lampu lalu lintas, kalau di stasiun sering menginjak garis kuning bahkan maju ke depannya lagi, kalau ada palang kereta api dah turun mereka menerobos. Ya ampuuuunnn. Perilaku katrok gini entah kapan hilangnya. Generasi lalu mungkin gini, maka tugas generasi yang waras ngajarin generasi berikutnya biar berubah perilaku. Tapi ya gituuu, tantangannya banyak. Herannya kalau gantian orang sini jadi turis asing di negara maju lebih bisa tertib. Jadi penyebabnya apa ya, puyeng =))
Naaah itulah manudia terlalu krpo hinhga rela melanggar aturan. Bahkan ada sebuah kalimat yang mengatakan bahwa aturan itu ada buat dilanggar. Sungguh keterlaluan. Rasanya jika gak dilanggar tuh gak seru. Semoga kita dijauhkan dari lerilaku seperti itu.
Kalau berwisata di mana saja memang harus menjunjung etika. Jangan seenaknya, mentang-mentang sudah bayar. Perilaku negatif kayak gini tuh memalukan banget.
Iya, manusia sudah tahu kalau dilarang tapi tetap melanggar itu memang mengesalkan, tak mesti orang berpendidikan rendah atau latar belakang ekonomi pas-pasan, orang kaya dan berpendidikan pun bisa melanggar batas seperti ini..
Sepertinya pola melanggar garis batas ini sepertinya uda jadi natural behaviour seseorang yaa..
Merasa leih thrilling kalo ada yang “beda” karena melanggar aturan.
Seperti sedang selingkuh aja gituu..
Uda tau itu perbuatan buruk, tapi yaa.. tetep dilakukan.
Tapi sesungguhnya yaa.. sesuatu yang berlebih-lebihan dan melewati batas itu sudah dilarang dalam agama. Alarmnya juga uda dipasang sama sang Maha Pencipta.
Oh aku sering bertemu orang seperti itu
Nampaknya itu adalah perilaku terencana ya, efek dari penegakan hukum yang permisif..
Terkadang garis yang sudah dibatasi banyak yang melanggar. Sama kaya aturan yang udah ada. Pasti masih ada yg melanggar aturannya…
Begitulah, ga sedikit turis yang melanggar peraturan dan tata tertib kunjungan wisata. Sikap terhadap perilaku ternyata ga bisa diukur dari pendidikan dan level sosial ya. Kalau hatinya kepengen ‘nakal’ ya dia lakukan. Misalnya menduduki kursi tua warisan buyut di sebuah museum. Mesti diapakan ya si pelanggar ini? Dihukum apa dong? TFS.
Teori Perilaku Terencana dijelaskan dengan ringan dan relate sama kebiasaan turis. Menarik banget!
Ikut kezel pada orang yang enggak peduli pada batasan terhadap satu hal…dilarang menyentuh benda pameran, dilarang injak rumput, dilarang mengambil foto, …dll tapi tetap dilakukan, dan banyak orang menganggapnya normal bahkan diikuti banyak orang. Huh
Gaya penulisannya unik! Ngajak kita mikir dari sudut pandang “garis pembatas” yang sering disepelekan. Ringan bacanya.
Perilaku lahir dari kebiasaan dalam aktifitas rutin dan sering dilakukan dalam setiap hari. Jadi…. No jugdet sih
TULISAN APA INI KOK BAGUS BANGEEEETTT!!
Aku setuju banget sih sama teori perilaku terencana ini, khususnya pada beberapa kasus hukum di Indonesia yang majority masuk menjadi perilaku terencana. Hmmm,.. Hal-hal seperti ini jadinya tidak kelar-kelar ya, gak ada ujungnya.
Perilaku terencana tuh kadang nggak disadari mas. Implisit dan haluss banget menurutku. Penegak hukum atau pelanggarnya bisa jadi nggak sadar mereka melakukan sebagian atau seluruh perilaku itu.
Dan, terima kasih sudah mampir kemari ❤️🚀
Tulisan ini bikin saya teringat berita beberapa waktu lalu. Tentang seorang pria yang duduk untuk berpose di kursi koleksi museum dan kursinya jadi rusak.
Beberapa kali lihat begini. Sebel banget. Apalagi kalau di wisata alam ketinggian. Udah ada pembatasnya, masih juga diterobos. Padahal itu kan buat batas aman. Kalau sampai terjadi apa-apa malah jadinya ngerepotin banyak orang.
Kisah si pembatas ini bikin kita merenung, ya! Batasan, sekecil apapun, bukan hiasan. Pentingnya menghormati aturan dan norma demi kebaikan bersama. Sangat relate dengan kehidupan sehari-hari!
Saya sempat lihat di medsos kerusakan kursi di museum itu. Memang masih banyak pelanggaran ya dan belum paham fungsi pembatas. Hiks
Sering banget menemui hal tersebut. Kalau aku bakalan marah sih, karena merasa tidak adil sebab udah berusaha tidak melewati batas, eh ada yang seenaknya ngelanggar dan bisa mendapatkan apa yang aku harapkan.
“ih yang lain juga gitu kok”
Kek yang menormalisasi sesuatu hal yang seharusnya ga boleh tuh udah biasa gitu loh di kalangan masyarakat. Miris yaaa. Terima kasih kak reminder nya
38 Responses