Home / Jendela

Pungutan Sukarela tapi Ribut Karena Tak Rela

Senjahari.com - 02/06/2025

Senjahari-Pungutan Sukarela

Penulis : Dinda Pranata

“Orang-orang membutuhkanku, tapi aku juga bisa jadi biang keladi kemelaratan.”

Aku berpikir begini, bukan tanpa sebab. Sejak aku lahir ke dunia, semua orang menggunakanku. Mereka juga mengelukanku dan bahkan ada yang memujaku. Seolah aku ini lebih hebat dari kekuasaan dan lebih benar daripada kebenaran itu sendiri.

Namun di balik kehebatannya diriku, ada rasa rendah diri. Tak sedikit mereka menggunakanku sebagai tameng kehormatan, dan standar nilai ‘tahu diri’. Seringkali namaku terucap saat rapat warga kompleks; rapat di ruang kelas bersama walimurid; bahkan dalam brankas-brankas tersembunyi yang terbuka dalam persidangan. Mereka menyebutku sebagai pungutan sukarela meski akhirnya menjadi gonjang-ganjing.

Aku melipat tubuhku, sembari diam-diam menangkap ironi dari balik saku setiap orang.

Pungutan Sukarela di Kertas Membuat Pilu Isi Dalam Tas

Pagi di tahun 2021, Pak Joko duduk di teras, berteman dengan semilir angin yang menggoyangkan pucuk daun mangga, serta aroma pahit kopi luwak olahan sang istri menembus rongga hidungnya. Dari teras, Pak Joko melihat Ismail, remaja SMP yang keluarganya baru pindah ke lingkungan itu dan bapaknya baru saja dirumahkan. Pakainnya lusuh, seperti seterika tak pernah menyentuhya.

Baca juga: Yang Dilihat Postingan, Yang Dihakimi Kehidupan

“Mau kemana, Le?” panggilnya, sambil beranjak dari kursi kayu jati di terasnya.

@senjaharimedia

🪙: Aku capek! Mau pensiun aja! Kalau uang bisa lelah, apalagi kita yang terus dipalakin pungutan liar dengan kedok sumbangan sukarela. Gimana menurutmu gengs! #foryou #fyp #foryoupage #blog #blogger #isusosial #humaniora #SenjaHari #ChitChatOverTea #pungutanliar #pungutansekolah #financial

♬ original sound – Senja Hari Media – Senja Hari Media

Ismail yang mendengar panggilan itu pun menghentikan langkah, dan membalikkan badan. “Mau bantu ibu belanja di pasar, Pak,” jawabnya lirih.

Pak joko berjalan menuju gerbang dan membukanya. “Oh iya, bapak nitip edaran ini buat bapakmu,” kata Pak Joko, si RT.

Mata Ismail membelalak membaca surat edaran itu. Ia menelan ludah. “Kami harus bayar ya Pak?” Tangannya gemetar menerima surat edaran yang berbunyi ‘Perihal: Biaya Urus Surat Pengantar RT’. Takut.

Baca juga: Satu Kotak Harapan, Isinya Kejutan yang Tak Diharapkan

“Biayanya seikhlasnya, Le. Sukarela saja kalau memberi,” sahut Pak Joko. Sorot matanya tajam dan nada suaranya pun menusuk.

“Bayar lima puluh ribu atau seratus ribu, juga bisa,” kata Pak RT itu, “biasanya kalau mau cepat warga sini bayar seratus sampai seratus lima puluh ribu.”

Pemuda itu menelan ludah. Berat. Meski katanya se-ikhlasnya, nyatanya pungutan sukarela itu tidak bisa benar-benar ikhlas.

Bangun Ruang Bernama Diam yang Multi-Perspektif: Plural Ignorance

Senjahari-Pungutan Sukarela dan Wisuda Sekolah

Rasanya pagi itu terasa melambat, sementara burung pipit bernyanyi pelan di atas pohon. Kontras dengan suasana di bawahnya yang hidup di tahun 2025, di mana semua orang dituntut untuk bergerak lebih cepat. Aku diam berdiri di warung Mbok Yem, berjajar dengan benda yang serupa denganku. Motor matic lama keluaran tahun 2011. Menunggu penumpang yang bisa kuantar ke mana pun.

“Aku tak yakin ikut wisuda, Bim!” seru Mojo, pemilikku yang punya rambut seperti bakwan jagung itu. Mereka terdiam lama.

Baca juga: Ketahuan Salah, Ngeles Biar Lolos Dari Masalah!

“Jangankan 750 ribu, uang 150 ribu saja sudah besar buat keluargaku,” lanjutnya lagi. Memecah keheningan.

“Aku kira cuma aku yang mikir begitu,” kata Bimo, teman Mojo yang sama-sama jadi ojek online buat menambah pemasukan rumah tangganya.

“Namun, kita nggak punya pilihan lain selain bayar wisuda sekolah anak-anak kita sesuai dengan surat keputusan komite,” desahnya lagi.

“Itu karena banyak walimurid yang diam sewaktu rapat bersama, Bim!” seru Mojo.

Aku mendengar percakapan itu meski mereka berdua tidak tahu bahwa aku larut berpikir. Resah. “Mereka diam, karena takut berbeda sendiri, nggak kompak, anti-sosial, nggak peduli anak dan semacam itulah,” jelas Mojo lagi.

Baca juga: Beli Mobil Tapi Garasi Nihil

Aku memahami pembicaraan itu. Aku bisa menebak bahwa mereka sedang membicarakan pluralistic ignorace. Sebuah kondisi saat mayoritas individu dalam kelompok tidak setuju, tapi mereka tetap mengikuti keputusan itu, karena percaya suara diam dalam kelompok artinya sebuah persetujuan.

Seandainya aku bisa ikut bicara, aku ingin memberitahu mereka seperti ini, “hei, plural ignorace bisa membuat norma jadi semu atas dalih kesepakatan bersama. Ini termasuk membungkam pemikiran kritis kita mengenai esensi kesepakatan itu.” Selain itu jika Permendikbud No. 44 Tahun 2012 bisa bicara, dia tentu akan marah, karena selaku aturan diabaikan begitu saja.

Namun aku hanya benda, tidak mungkin mereka paham bahasaku.

Invitasi dan Diskusi

Senjahari-pungutan sukarela dan ironi

Pohon di pinggir kompleks itu sangat rindang, tapi juga berisik. Deru mesin dari jalan di depan kompleks bersahutan; suara penggorengan dari warung Mbok Yem terdengar nyaring; dan kasak-kusuk diskusi di pelataran serta di dalam rumah bisa tertanggkap oleh tubuh mungilku.

Aku memang burung pipit, tapi aku bisa menangkap kegelisahan di balik sepoi angin yang terasa berat. Suara-suara sumbang yang meminta pungutan sukarela, iuran se-ikhlasnya bahkan uang rokok penuh penghakiman dan tatapan sinis tentang besaran angka-angkanya.

Baca juga: Negara Kaya, Tapi Kok Merana Ya!

Di lingkungan ini, pungutan sukarela bukan lagi tentang partisipasi dengan hati, tapi sudah berubah menjadi hukuman mati bagi hati nurani.
“Cih! Mending hilangkan saja istilah sukarela itu!” seru seorang pria paruh baya yang sedang berteduh di bawah pohonku.

Aku ingin turun dan bicara padanya kalau aku sepemikiran. Ingin kukatakan padanya, “kau boleh menolak karena itu bukan karena kau pelit atau tidak peduli. Mereka saja yang tak mengerti sudah mengubah pungutan sukarela menjadi pungutan liar, termasuk dengan cara-cara yang kotor.”

Jika memang iuran sukarela itu masih ada, maka bebaskan seseorang memilih tanpa harus meributkan berapa jumlah yang mereka beri.

Gimana nih gengs? Pernah ngalami kondisi seperti Pak Joko atau Mojo nggak? Boleh dong share di kolom komentar tentang pengalamannya dan kira-kira solusi dari kalian apa. Eits, gunakan bahasa yang bijak ya, semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih.

Happy Monday! Ja, mata~~

Source:
Bangun, Cendera Rizky, and Nareswari Kumaralalita. “Kim Seon Ho, You Are Cancelled: The Collective Understanding of Cancel Culture.” Jurnal Komunikatif, no. 1, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, July 2022, pp. 1–10. Crossref, doi:10.33508/jk.v11i1.3785.
Lütz, Alessandra F., and Lucas Wardil. “The Evolution of Pluralistic Ignorance.” Physica A: Statistical Mechanics and Its Applications, Elsevier BV, Aug. 2024, p. 129920. Crossref, doi:10.1016/j.physa.2024.129920.

Tinggalkan Balasan ke Dinda Pranata Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Bedanya pungli dan pungutan sukarela ini harusnya lebih disosialisasikan ya

Akupun bingung memaknai sukarela ini, karena kalo dikasi kecil disana yang ngoceh, dikasi besar isi dompet kita sendiri gak kuat, heheh.. memang istilah sukarela ini emang paling cocok buat sedekah dijalan ajalah, sedekah sama orang tak dikenal, bukan dilingkungan tempat tinggal kita

aaah akhirnya ada yang memiliki keresahan yang sama. sebenernya kata “sukarela” ini sungguh ambigu. karen apada kenyataannya ya akan seperti “dipaksa” untuk sama.

Malah kayak seperti alih² sukarela padahal mah ada unsur paksaan memberi uang dengan nominal yang ditentukan.
Semisal memang beneran sukarela, y kan nggak bakalan ada model begitu

Pluralistic Ignorance
Ahaaa, ternyata ada istilah nya yaaa
aku kerap kali berjumpa situasi ini, tapi yaahhh atas nama dalih “Daripada ribut ribut” biasanya aku milih untuk diem ajaaa
padahal dampaknya gak main2 yaa…karena kondisi ekonomi tiap orang kan berlainan…ga bisa dipukul rata

Ah soal itu sudah mengalaminya bertahun tahun
Namun, suara tetap kalah sama yang punya duit
Terseok-seok pun tak ada yang mau tahu
Makanya saya tuh sangat menghormati Komite kalau mau mendengar dan tak sekadar didengar saja

Iya, namanya sukarela mestinya ya terserah yg memberi. Saya mendingan dibilang ini iuran wajib karena mesti bla bla bla. Misalnya iuran sampah, kan tukang sampahnya juga harus dibayar. Kl ada yg tidak sanggup rutin, baiknya sih diobrolin bersama ya. Jd jangan keputusan sepihak. Pernah sih ngalamin, yg ada jd kesel juga. Apalagi kl kyk di artikel ini: serelanya minimal 50K. Itu mah gak rela banget 🙁

maria tanjung sari

Sebenarnya kalau dibilang sukarela ya harusnya sesuai kemampuan si pemberi sumbangan ya kak. Aku pun misal ada donasi semacam itu, akan menyumbang sesuai kemampuan finansial. Meskipun ada yang menyumbang di atasku tapi jika tak ada uang lebih bagaimana donk. Yang penting ikhlas menyumbang kan namanya juga pungutan sukarela

Sumbangan sukarela yang tak suka dan tak rela. Kalau ditempatku jadi adu gengsi, kalau ngasih dikit malu, kalau ngasih besar nggak ikhlas. Pada akhirnya ini bukan soal keikhlasan tapi ajang penyelamatan muka. As long as kita di Indonesia dilema sumbangan sukarela sepertinya susah untuk dihentikan. Ya, solusinya menurutku adakan sumbangan dengan nominal tertentu aja. Setidaknya kita tidak berlindung di balik kata-kata yang kontra 😀

Pungutan sukarela tapi kalau yg dipungut gak rela jadi kayak pungli gak sih? soalnya kalau minta dana gitu kan harus sepersetujuan semua ya

fanny_dcatqueen

aku paling ga suka ama pungutan sukarela gini, tp pas dikasih seikhlasnya malah ngomel2 menganggab itu terlalu kecil. trus pake kata2 kalo mau cepet dilakuin setidaknya ksh 150k.. berarti kan memang sengaja… kalau bisa aku laporin, bakal aku laporin sih..

heraan, ada ga tahu apa yg begitu itu jatuhnya haram, krn ga ada keikhlasan dari pemberi…

untungnya ketua RW di sini ga ada yg begitu… kalopun mungut sumbangan dari warga dia ga pernah maksa harus berapa..

Blogger juga ada yg kasih tarif seikhlasnya tapi pas udah acara eh ditagih katanya yg lain udah transfer seratus ribuan.
Glek, padahal tadinya aku mau transfer gopay 20 ribu aja. Pikir saya sebanding dengan ilmu yg dikasih Blogger tersebut karena emang ilmunya juga udah banyak di yutub. Tadinya aku ikut menghargai komunitas aja.
Sejak itu ga mau lagi ikut acaranya walaupun katanya gratis

Ilusi kenyamanan berdalih ingin dipuaskan, menjadikan sepatutnya menjadi bias. Tentang kamu yang menjadi pusat, sejatinya adalah sebuah alat. Kenyamanan, ego terus bertarung mengalahkan sebuah alur yang sangat penting, memudahkan insan.

Ah apalah artinya memudahkan jika ego sudah berlomba untuk dimenangkan, bahkan nada kerelaanpun tak memiliki arti. Silau atas sebuah alat. Sedangkan waktu tersenyum sinis, betapa pongahnya jiwa-jiwa yang hilang itu.

Ha ha ha maafkan ya kalau komenku ini jadi ingin menumpahkan logika atas kejamnya ego, tentang kondosi pak Joko dan Mojo, sampai saat ini belum mengalami. Berharap jangan sampai bertemu. Hanya bisa berharap sama waktu, semoga banyak insan sadar akan sebuah kebenaran dan memiliki hati memudahkan.

Kak, terima kasih ya sudah menuliskan masalah ini dengan bahasa yg indah dan mudah dicerna. Masalah yg seringkali terjadi dan tentipernah pula kualami. Semoga saja, hal seperti ini tdk berlarut dan jika iuran sukarela itu tetap ada, benar2 sukarela dan tdk berubah terpaksarela…

Ya ampun mbak makasih loh udah menyuarakan ini. Pungutan sukarela ini konteksnya banyak ya, bukan soal ini aja. Diam kayak setuju, padahal ngedumel juga dalam hati. Kalau nggak setuju kenapa nggak bilang saja? Akhirnya malah memberatkan juga. Sukarela yang malah jadi hal yang wajib. Ternyata ada istilahnya ya. Aku juga gemes kalau ada persoalan kayak gini tuh. Aku sih tim yang langsung protes kalau nggak sesuai, hehe.

Muak banget sama pungutan model begini, merusak tatanan ikhlas di dalam hati. Niatnya udah sukarela malah dongkol duluan.

Pernah, Kak. Realitanya seperti itu, istilah sukarela sering jadi dilema. Mau ngasih dikit mereka udah kayak ngasih peringatan. Tapi kalo banyak, ya kebutuhan lain juga banyak.

Alfia D. Masyitoh

Aku merasa relatable dengan cerita ini kak. Di lingkungan kita sekarang memang banyak sekali embel-embel pungutan sukarela, tapi besarnya sudah ditentukan. Dan itu kadang nggak sedikit. Btw, aku baru tau istilah pluralistic ignorance ini. Ini juga sering kejadian di sekitarku. Contoh simpel, pas musyawarah walimurid aja, banyak yang diam padahal aslinya keberatan. Akhirnya ya disimpulkan semua menyetujui karena diam aja. Kok agak ironis ya rasanya…

Sering banget terjadi nih. Dalihnya pungutan seikhlasnya namun tetap saja ada info “biasanya sih sekian atau sekian ya”. Ujung-ujungnya terasa memberatkan juga dan kebanyakan malas bersua padahal eloknya tetap bersuara jika keberatan kita kan demokratis. Tapi ya gitu harus bersiap dibenci atau dikucilkan sama tim cari aman atau orang yang pro sama peraturan. Begitulah duniawi dan posisi uang ya, sering membebani yang pas-pasan dan kurang mampu pun ikut OVT.

Heni Hikmayani Fauzia

Iya pernah mbaa….tapi yaa saya enggak banyak bicara orangnya. Males ribut dah rame² ya udah ikutin aja

Kebetulan aku dengar kemarin gitu dari tetangga mba, anaknya mau diwisuda tapi disuruh kasih uang sukarela dan ia sendiri ndak sanggup jika uang sukarelanya ditakar segitu.. Auto mak jleb, ini kalo menurutku mending dibilang iuran wajib aja atau uang wisuda biar jadi keliatan penting ya dan uangnya jelas digunain kemana juga

Pungutan sukarela sayangnya suka ada embel² yang gak jelas.
Padahal namanya sukarela, ya udah seikhlasnya. Janganlah dipatok dengan harga sekian, kan jadinya bukan sukarela lagi dong

Pungli dan pungutan sukarela sepertinya memang ada di mana-mana ya Kak. Rumit memang. Baik Pungli maupun Pungutan Sukarela sebenarnya sama-sama memiliki pesan tersembunyi, yakni “cenderung wajib”. Karena jika tidak dibayarkan, akan ada “sanksi sosial” dibaliknya. Judulnya saja sukarela, tapi nyatanya selalu ada batas bawah atau nilai kepantasan yang ditentukan secara tak tersurat.

Pungutan kaya gini tuh emang sering terjadi. Misalnya ya kalau di desa tuh ada sedekah bumi. Mau ikhlas, tapi ya gimana. Gak semua orang saat itu punya uang kan. Memang buat meriahin suasana. Balik lagi karena ekonomi lagi gak nentu, jadi deh banyak mikir kalau ngeluarin duit

kadang juga bingung karena saking banyaknya pungutan di negara kita tercinta ini

Wah tentang yang lagi rame ya wisuda murid. Kalau di sini, kadang pungutan sukarelanya dibuat-buat, ngaku dari banjar padahal boong.

Kalau pungutan sukarela ditentukan ya jadinya ga jadi sukarela lagi dong. Budaya pungli dan suap di negara kita kuat banget perlu peran serta banyak pihak untuk menghapus nya

Uang sukarela ini memang bikin beban karena kita tidak tahu pasnya berapa. Kalau relanya cuma 1000 pasti dijulidin kalau di atas 100 ribu ya nggak rela pasti.

Aku pernah banget mengalami pungutan sukarela yang ternyata ada nilai minimumnya.
Rasanya gimana yaa.. jadi gak suka dan jadi gak rela tuuh..
Huhuhu.. karena aku jarang banget punya uang cash kan yaa.. sekalinya punya, dimintain pungutan sukarela. Menangiiiss…

Bambang Irwanto

kalau dulu sih sesuai pengalaman saya, kalau inta surat pengantar, ada memang uang sukarela untuk kas RT, jadi tidak dipatok lima puluh ribu atau seratus kayak Pak Joko hehehe. Kalau di Balai desa dulu ada kotak. Dan seiklasnya. Tapi sekarang tidak ada lagi. Tapi saya juga sering memberi, bukan karena merasa itu pungutan sukarela, tapi lebih kepada tanda ucapan terima kaish saya karena telah membantu dan melancarkan urusan saya.

Aku kok paling muak dengan katab “seikhlasnya” hahaha. Apalagi kalau pungutan2. Ngasi dikit entar dinyinyirin, ngasi banyak eh ternyata yang didapat gak sesuai apalagi kalau jadi menaikkan standar pungutan wkwk.
Yg menyebalkan lagi pungutan berubah jadi pungli dan dimaklumin. Gtu tereak2 pemerintah korup, gak taunya masyarakat bawahnya juga. Pantesan dapat pemimpin korup juga =))

Fajar Fathurrahman

Inilah fakta di negeri Indonesia, seringkali kejahatan dibungkus dalam bahasa yang santun.. akhirnya mau tak mau, semua orang mengiyakan dan menormalisasi. Padahal, harusnya tidak begitu.
Aku pribadi, sekarang yang namanya bayar parkir ke jukir liar itu paling anti. Kalo ada minimarket yang ada kang parkinya, pasti langsung kutinggal. Atau kalaupun parkir, kutinggal meleos aja. Bodo amat lah orang bilang, ‘cuma 2 ribu’. Aku gak mau hal itu dibiasakan, jangan sampai korupsi dan premanisme merajalela dari hal terkecil.

Tapi biasanya pak parkir ini kamuflase.
Awalnya ga ada, giliran kendaraan mau pergi, dia nongol.
Gatau kerjanya apa tuh…
Huhhu.. jadi kaya mau gak mau, kejebak suasana yang mengharuskan bayar parkir.
kan sedih amat yaa.. suka aku cepet-cepetan pergi, nyatanya.. mereka bagaikan flash! yang bahkan lebih cepat dari kecepatan cahaya.

Ngikik mbak Len baca komenmu, aku tuhhh..
Antara kasihan sama kang parkir, tapi juga gedeg sama kelakuannya ya. 🙁

Ini semacam pemalakan secara halus sih mbak. Sukarela, seikhlasnya, tapi jd malah bikin dongkol karena tidak ikhlas membayarnya. Menurutku lebih baik dari awal dikasih tarif sih daripada pakai topeng sukarela. Sayangnya ini udah jadi kebiasaan di mana² mbak.. entah sampai kapan. Hiks..

Mending kan nggak pake embel-embel sukarela ya, jadi kasihan sama ‘suka rela’nya. Hehehe…
Sampai Tuhan menyadarkan mereka… Tapi ya repot kalau terjadi.. 🙁

Kalo pungutan seikhlasnya ya semampu yg bayar lah. Ga usah matok minimal 50.000. iya kalo pas ada uang. Kalo gak gimana? Lieur jadinya.

tapi jujur emg masih di komen ya begituan? kan jelas2 dikatakan pungutan sukarela, gak matok berapa.
lucu aja kalau masih ada yang komentar 🙁

Masih kok kak yang seperti itu. Cuma bahasanya lain-lain. Ada sukarela, ada uang lelah atau uang rokok. Kalau jeli pasti nemuin.. 😀

Iya ya sempat ramai masalah pungutan wisuda anak-anak ini ya. Ortu sebenarnya khawatir, kalau menolak artinya nanti anak-anaknya yang dikucilkan sekolah atau teman-teman yang semangat mengadakan acara sejenis. Untung yayasan tempat saya dulu pernah mengajar sangat memperhatikan hal ini dan mengusahakan yang terbaik tanpa memberatkan ortu

40 Responses