Home / Serambi

Aku Memang Makhluk Kotor, Tapi Bolehkah Aku Berharap Manusia Mendoakanku?

Senjahari.com - 18/07/2025

Tikus dan Cerita Mikroskopik

Penulis : Dinda Pranata

Pagi itu, matahari cukup terik dan cucian baru saja selesai tergiling di tabung mesin cuci. Aroma wanginya segera menguar tatkala aku mengeluarkan cucian itu dari si mesin. Aku mengangkat ember. Sedikit membungkuk. Cukup berat seperti beban hati yang tak kunjung usai menumpuk di dasarnya.

Aku menuju garasi dan Bak kuletakkan di dekat jemuran besi di kanan. Sisi yang terkena sayup-sayup sinar matahari. Dari kejauhan aku menatap sesuatu. Dan … Tubuhku menegang. Seketika aku berteriak dari tempatku berdriri, “AYAH TOLONG AKU!”

Seekor tikus terlentang tak bernyawa di sisi jalan tak jauh dari halaman rumah. Tapi, ada suara lain yang ikut bersuara. Meski hening.

“Semoga Kelahiranmu Esok, Lebih Baik Dari Tubuhmu Sekarang”

Ya, ucapan hening itu datang dari sisi diriku yang ingin bersuara. “Semoga kelahiranmu esok, lebih baik dari tubuhmu sekarang,” ujar sisi sentimentil itu. Aku menjauh sejenak dengan setengah berlari. Aku sudah kehabisan nafas.

Sementara itu, suamiku buru-buru berlari. Menemukanku ada di depan pintu teras belakang. Menutupi hidung dengan kerah kaos usangku. “Ada apa, Bun?” tanyanya panik. Aku lihat sorot matanya melotot. Seperti hendak keluar dari cangkangnya.

Baca juga: Energi Terbarukan Indonesia dan Petualangan Avatar

“Itu ada tikus mati di sana,” kataku sambil menunjuk ke arah aku menemukan jasad tikus itu. Suamiku, kemudian menghembuskan nafas panjang. Antara lega tapi juga setengah kesal karena membuat jantungnya nyaris saja copot. “Astaga, ngagetin saja!” serunya, “bentar aku ambil masker.” Ia kembali masuk mengambil masker.

Tak lama ia kembali dengan masker menggantung menutupi hidungnya, sebuah cikrak dan tentu saja sekop. “Mau aku bantu?” tanyaku. Suamiku hanya menggeleng, tersenyum dan memintaku menjauh menjaga bocahku yang saat itu berusia lima tahun.

“Ayah mau apa, Bun?” tanya si bocah.

“Mengubur tikus yang mati di selokan,” jawabku.

“Kok dikubur. Kan itu tikus. Kotor,” protesnya polos.

Baca juga: Energi Nuklir di Negeri yang Sering Jadi Sasaran Hacker! Emang Boleh Se-Skeptis Itu?

Pertanyaan dari anakku ini, tentu saja membuatku hening lagi. Sekali lagi suara si sentimentil mengintervensi. “Memang benar sih. Tikus mah kotor, dekil dan hidupnya hina. Tapi, masak nggak kamu doakan? Toh dia tidak pernah mengganggu hidupmu seperti manusia,” keluh si sentimentil.

Tikus dan Manifestasi Hidupnya

Infografik Tikus by Senja Hari

Rasanya aku mempertanyakan kewarasanku setelah menatap tubuh tikus yang mati saat itu. Kaku. Tak Berdaya. Tapi sesuai pesan papa dan Pak Yan, maka aku biarkan si sentimentil mengambil alih pikiranku hari itu.

Aku terjaga cukup lama malam itu. Kukira si sentimentil ini akan pergi tapi hingga lebih dari sembilan belas jam sejak penemuan itu. Antara khayalan atau kenyataan, aku melihat bayangan aneh di cermin sebelah ranjang. Seorang pria dengan pakaian compang-camping, tapi kulitnya bersih. Siapa atau lebih tepatnya apa itu?

Jari kakiku menyentuh lantai. Beranjak pelan. Aku berdiri di depan cermin itu. Berbisik padanya, “siapa kau?”

“Aku si tikus got yang kau doakan. Terima kasih,” katanya. Aku menganga. Tak menyangka. Sempat berfikir mungkinkah ini akal-akalan si sentimentil.

Baca juga: Mengintip Green Receipt di Dapur Bumi, Mau Menu Apa Hari Ini?

Namun, si bayangan cermin itu tersenyum geli. “Kau mungkin satu-satunya manusia yang mendoakan hewan sepertiku. Kau tahu kan hewan seperti apa diriku di mata manusia,” katanya lagi.

“Iya, aku bahkan gerdigik geli setiap melihatmu!” gerutuku. Ia sekali lagi tersenyum geli.

“Andai aku bisa berharap, aku juga ingin bisa hidup dengan layak. Hidupku cukup menyedihkan daripada spesies pengerat lain yang begitu bermanfaat. Hamster atau tikus putih misalnya,” jawabnya.

“Ya kan mereka menggemaskan. Coba saja kau tidak mengganggu hidup manusia, merusak padi, membuat sarang yang dekat dengan pemukiman atau setidaknya tidak sering tiba-tiba muncul di selokan atau tempat sampah. Ya, mungkin kami akan menganggapmu seperti katak,” gerutuku. Kesal.

“Aku datang bukan karena ingin merugikan. Aku kelaparan. Spesiesku hidup dalam keterasingan. Diburu tanpa ampun oleh ular atau kucing. Kami pun tak pernah tahu apa itu siang dan hanya menjadi makhluk malam agar tidak terlihat bagi sesama bangsa kami yang jumlahnya hampir tujuh miliar.”

Baca juga: Over Populasi Hewan Domestik. Saatnya KB Pada Hewan?

Aku mengerutkan dahi. Sesekali membatin, astaga! Kenapa merasa dia yang korban, ya! Kesal. Tapi kata-kata selanjutnya membuatku seperti begitu kecil. Tak benar-benar baik dihadapan makhluk itu.

“Bolehkah Aku Mendapat Satu Doa Baik Saja, Tak Lebih”

Tikus dan bagaimana menghayati hidupnya by senja hari

“Bisa jadi kau menganggapku manipulatif,” katanya merendah. Aku terdiam. Tepat. Ia berkata lagi, “populasiku membludak bukan tanpa sejarah. Kami berevolusi melewati kapal-kapal pada era penjajahan, beranak pinak di tanahmu ini. Semua itu aku dengar dari para nenek moyangku.” Aku melotot. Ingin marah. Bagaimana bisa ia menyalahkan manusia atas penderitaannya, batinku saat itu.

“Meski begitu, aku sungguh bersyukur. Jika satu manusia saja mendoakan tubuhku yang kotor ini dengan doa baik. Aku tahu tubuhku bahkan tak lebih indah dari para rumput teki di pekarangan kosong. Tapi, satu saja doa baik bisa berarti buatku. Tak lebih.”

Syutttt! Aku tersentuh dengan kata-katanya. Meski aku ingin menampik kata-kata sosok di balik cermin itu dia menambahkan, “meski aku hewan kotor, hidup di kubangan, apakah itu artinya aku tak layak mendapatkan doa hanya untuk kematianku yang tak berharga?”

Dari pertanyaan itu, aku justru merasa kecil. Semua kata-katanya yang seolah menyalahkan manusia buyar. “Untuk ukuran tikus, kau terlalu banyak bicara!” tampikku. Aku setengah iba.

Baca juga: Selimut Polusi dan Populasi: Realita Pahit Kelahiran Manusia di Bumi

“Meski aku bersembunyi di siang hari, sesekali aku mengintip dari celah yang tak kalian sadari,” ia cengar cengir. Lalu melihat reaksi wajahku yang berkerut, senyum itu pudar. “Tapi..,” dia bergumam lagi, “spesies kami bisa saling merasakan saat sesama kami terluka. Kami juga memiliki rasa empati. Sama seperti manusia. Hanya dengan cara dan bahasa yang hanya kami mengerti,” jawabnya. “Bahkan …,” ia ingin menambahkan tapi kupotong.

“Peneliti bahkan menggunakanmu sebagai alat penelitian kan!” hardikku. Aku tahu aku marah. Tapi bukan karena bayangan itu. Tapi karena ada yang terkuliti.

“Jika kau merasa manusia lebih baik dari tikus, itu benar. Tapi ada juga sebagian manusia yang …,” aku tidak melanjutkan kata-kataku. Terlalu dalam.

Sebelum bayangan di cermin itu hilang, ia mengatakan lagi padaku. “Kami tidak meminta diperlakukan lebih. Hanya satu doa. Dan itu sudah lebih dari cukup. Terima kasih, Hooman.”

Dia melambai. Aku terbangun dari mimpi itu. Merasa bersalah.

Invitasi dan Diskusi

Andaikan saja kita tahu, bahwa mungkin saja di dalam hati tikus, ada rasa iri yang diam-diam menyelinap di hatinya. Betapa ia ingin menjadi seperti manusia. Bisa makan dengan layak. Tidur dengan tenang dan bahkan bisa berpergian saat matahari bersinar.

Apa kita harus mengasihaninya? Apa kita perlu membiarkan tikus itu memporak-porandakan struktur penting manusia? Tidak, teman. Bukan itu.

Kita tidak perlu permisif dengan kehadirannya. Kita boleh saja kesal atau bahkan jijik dan geli terhadapnya. Saat melihat tikus mati di jalan jika boleh aku meminta kebesaran hatimu untuk mengucap satu doa baik untuknya? Bukan untuk menganggapnya istimewa, tapi untuk sekedar menganggapnya bagian dari bumi kita juga.

Gimana nih gengs? Pernahkah terpikir olehmu mendoakan hewan yang kau miliki atau mungkin sesederhana tikus yang mati dipinggir jalan? Kalian bisa kok berbagi pengalaman kalian tentang hal sepele menurut kalian di kolom komentar, karena ya bisa saja hal sepele itu justru adalah hal yang dibutuhkan di masa sekarang. Ingat ya tetap berkomentar secara bijak, semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih.

Have a nice day! Jya Mata ne~

Source:
https://nationalgeographic.grid.id/read/13992069/akibat-perubahan-iklim-populasi-tikus-meningkat-sepuluh-kali-lipat
https://www.nature.com/articles/d41586-021-00016-z#:~:text=Mice%20witnessing%20another%20mouse%20in%20fear%20or%20pain%2C,to%20share%20the%20feelings%20or%20mood%20of%20others.

Tinggalkan Balasan ke Amel Kelces Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Ceritanya unik banget, nggak nyangka tikus bisa punya filosofi hidup sekompleks itu. Tapi emang aku geli kalo ada tikus 🙁 pernah sendiri dirumah tiba2 ada tikus, yng dateng sampek mertua sama temen2 suami huhu sangking takutnya

Dian Restu Agustina

Baru tahu fakta-fakta soal tikus. Di saat yang sama aku barusan ke dapur neriakin tikus yang masuk (lagi) ke area rumah bagian belakang ini. Lagi banyak tikus di sekitarku, sebab tanah kosong di seberangku persih dialihfungsikan jadi pool taksi listrik. Jadilah segala hewan yang dulu tinggal di kebon itu, pindahan ke komplekku. Biawak lalu lalang, tikus wara-wiri…hiks

Jika manusia diibaratkan tikus, bisa jadi tidak ada yang sudi mendoakan. Misalnya seperti koruptor, maling negara dll. Sebagai hewan, tikus barangkali masih mendapat doa dari manusia saat tikus ada faedahnya di momen2 tertentu. Cerita ini cocoknya untuk para penjahat sih 😀

Seperti biasa, tulisan Kak Dinda always deep. Pilihan diksinya mengalun nyaman dan penuh filosofi.

Habis baca jadi kepikiran, kasian banget nasib si tikus dan bagaimana posisi kita sendiri selama ini yang sering men-judge kehadiran si tikus. Tapi saya sendiri punya pengalaman digigit tikus waktu mau pegang dia. Salahnya megang awalnya dari ekornya, eh dia berbalik dan langsung ngegigit

Sebagai ibu-ibu yang tiap hari nggak jauh-jauh dari cucian, dapur, dan suara bocah, kadang kita tuh gampang banget kehilangan ruang untuk “merasakan”. Padahal hal sesederhana ngeliat tikus pun bisa bikin hati kita kek diingatkan ,kalau makhluk yang paling kita hindari pun punya cerita. Dan bisa kita beri doa

Aku gak pernah terpikir utk doain tikus, beneran deh soalnya aku geli sama hewannya. Abis baca ini auto mellow ya. Kalo tikus itu jadi manusia pasti sedih bgt, kematiannya itu gak ada yg menangisi apalagi mendoakan. Makasi reminder melalui tulisan ini ka.

Ya ampun kus… kudoain di kehidupan yang akan datang kamu tetep jadi tikus versi terbaikmu aja hehe
Serius deh jadi manusia itu susah apalagi setelah dewasa beuhh rasa ingin reinkarnasi jadi tikus beneran yg ga perlu uang hahaha

Wah, agak berat nih artikelnya soalnya aku pernah kerja di pest control alias pembasmian hama. Tikus memang dikategorikan sebagai hama namun dia juga binatang ciptaan Tuhan. Namanya makhluk hidup akan terus berkembang biak. Tapi ya namanya rantai kehidupan, keberadaan tikus juga berguna untuk memangsa hewan lain misalnya.

Tulisanmu nih bikin nambah insight baru yang agak gimana gitu. ngga pernah tuh alam pikiranku buat mendoakan tikus. Yaaa bener, padahal mereka ngga salah juga karena hanya mengikuti alur rantai makanan. Tapi kemaren aku baca salah satu postingan di threads, ada seorang bude yang sengaja memberi makan tikus yang sering lewat. Ya! Dia memeliharanya. Katanya sih, daripada nyolong makkanan ngga jelas.

Setiap kali melihat tikus mati tergeletak di jalan raya karena ditabrak, jujur aku terenyuh entah kenapa aku menatapnya penuh kepiluan. Bener yang mereka rasakan, sudahlah bentuknya nggak bagus, dibenci manusia, bahkan saat mati pun malah dapat rutukan bukan doa baik.

Makasih mba, sudah mengingatkan. Sebagai mahluk hidup yang berakal tentu selayaknya saat melihat tikus mati stop merutuki, cukup doain yang baik karena mereka ada pasti semesta punya peranan buatnya juga. Setidaknya lewat tulisan mendalam ini jadi berpikir dan mulai berempati lagi pada semua mahkluk.

Saya termasuk yang jijik sama tikus. Tapi, saya juga percaya dengan siklus rantai makanan. Kalau jumlahnya tidak seimbangan, maka bisa terjadi berbagai masalah.

Tukang Jalan Jajan

Terharu sekali membaca kisah ini. Kadang kita lupa bahwa setiap makhluk hidup, sekecil apa pun, memiliki kisahnya sendiri. Mendoakan seekor tikus mati, meski terdengar sepele, justru menunjukkan empati dan kemanusiaan kita. Ini pengingat indah bahwa kasih sayang bisa diberikan pada siapa saja. Terima kasih sudah berbagi sudut pandang yang begitu mendalam.

Gak pernah terpikir untuk doain tikus mbak. Krn yang ada di rumahku mereka itu mengganggu, bikin barang berjatuhan, makan bahan² makanan di dapur, ngacak² tempat sampah, ngebolongin pintu… Dan tikus itu mati pun karena kami pasang perangkap. Sorry kalau terlihat sadis karena membunuhmu yaa tikus pengganggu. Tapi aku sadar kok klo tikus itu makhluk Allah, yg pasti ada manfaatnya untuk keseimbangan alam.

Semua makhluk hidup membawa misi kebaikan masing-masing
Tidak ada hak kita menghakimi sekecil apapun
Mendoakan yg terbaik sesuai fitrah nya sebagaimana Pencipta membuatnya adalah sebijak bujaknya makhluk yg berakal

Muhammad Rifqi Saifudin

Kadang, sesuatu yang sederhana atau bahkan hal-hal yang tidak terpikirkan, bisa jadi punya makna mendalam bagi diri kita atau sekitar, ya kalau diresapi tiap hari memang penuh arti

Agustina Purwantini

Wah, aku gak tahu harus berkomentar/berpendapat apa. Aku takut dengan semua binatang, apalagi tikus yang kerap bikin aku lari tunggang langgang.😭😭 Namun yang jelas, walaupun tak pernah mendoakannya, aku tak pernah menyakitinya. ‘Kan gak berani mendekat …

16 Responses