Home / Pojokan

Resensi – Kisah Seorang Pedagang Darah. Krisis Kemanusiaan Di China Tahun 1960-an

Senjahari.com - 10/06/2019

Resensi – Kisah Seorang Pedagang Darah. Krisis Kemanusiaan Di China Tahun 1960-an

Penulis : Dinda Pranata

#Resensi kali ini membahas tentang sebuah novel karya Yu Hua yang berjudul Kisah Seorang Pedagang Darah yang menceritakan kisah kehidupan pria yang harus menjual darahnya untuk memenuhi kebutuhannya. Pemerannya utama dalam kisah ini adalah Xu Sanguan yang merupakan seorang pendorong gerobak ulat sutra di sebuah pabrik kain sutra. Sudah lama ia bekerja namun gaji yang diterimanya sangatlah sedikit dibanding dengan tenaga yang harus dikeluarkannya.

Hingga Ia bertemu dengan 2 orang teman yang bekerja sebagai petani dan memiliki profesi lain sebagai penjual darah. Mereka adalah Gen Long dan A Fang. Setelah mereka memberitahu Xu Sanguan bahwa dengan menjual darah ia bisa mendapatkan gaji yang lebih besar, Ia mencoba melakukan hal yang sama. Sejak saat itu hingga menjelang akhir novel pemeran utama tetap melakukan jual darah demi mencukupi kebutuhan kehidupannya.

Terkait #Resensi :
#Resensi Gambaran Kolonialisme Belanda Lewat Karakter Droogstopel Di Max Havelaar Karya Multatuli
#Resensi Bangsawan Pribumi Juga Memiliki Andil Dalam Kesengsaraan Rakyat di Zaman Kolonial – Max Havelaar Karya Multatuli
#Resensi Pendidikan Karakter Di Episode Kisah Karya Tetsuko Kuronayagi – Novel Totto-chan
#Resensi – Bumi Manusia, Sebuah Roman Cinta Pribumi Dan Peranakan Eropa.

Novel Yu Hua
Kisah Seorang Pedagang Darah By https://id.carousell.com

Krisis Ekonomi Era Rezim Mao Zendong

Kisah yang ditulis oleh Yu Hua ini terjadi ketika Revolusi kebudayaan pada tahun 1966 di Cina bergejolak. Pada revolusi kebudayaan ini banyak terjadi kekerasan dan krisis ekonomi yang membuat rakyat China mengalami kesengsaraan. Penggulingan kekuasaan pemerintah yang sedang menjabat hingga penghakiman dengan melecehkan dan menghinakan orang-orang bersalah yang dilakukan di depan masyarakat umum membuat situasi labil.

Krisis ekonomi yang melanda zaman Rezim Mao Zendong membuat banyak rakyatnya menderita. Hal ini terlihat dimana kondisi kehidupan Xu Sanguan yang menjadi buruh di pabrik kain sutra harus menjual darahnya ke rumah sakit demi menutupi kebutuhan sehari-harinya dengan Istrinya Xu Yulan dan 3 anak laki-lakinya.

Revolusi Kebudayaan pada masa itu menitik beratkan pada kemajuan pada sektor pertanian dibanding dengan sektor perindustrian. Pada bab pertengahan banyak rakyat China yang mengalami kelaparan akibat revolusi itu. Banyak pabrik-pabrik yang ditutup dan mereka hanya bisa makan bubur setiap hari selama hampir 1 tahun lamanya. Kemudian dibagian klimaks novel (hal.225) Anak Xu Sanguan yang bernama Xu Yile ketika sudah dewasa dan bekerja di pertanian harus menderita akibat kerasnya pekerjaan yang harus dijalaninya di bidang pertanian pada masa Rezim Mao.

Terkait #Resensi :
#Resensi Le Petit Prince – Dilema Orang Dewasa Dalam Cerita Seorang Anak.
#Resensi Habis Gelap Terbitlah Terang Sebuah Seruan Tentang Tradisi Dan Agama .
#Resensi Habis Gelap Terbitlah Terang – Surat Kartini Yang Mengkritik Budaya Senioritas.
#Resensi Idealisme Kemanusiaan Pada Tokoh Max Havelaar. Apakah Kemanusiaan Kala Itu Benar-Benar Mati ?

Baca juga: Resensi Bumi Manusia - Pandangan Pramoedya Ananta Toer Terhadap Pergundikan Kolonialisme

Kekerasan Kemanusiaan Yang Melanda Cina

Buku ini tidak hanya mengisahkan kehidupan pahit seorang bernama Xu Sanguan dalam menjalani kehidupan pada masa revolusi kebudayaan. Buku Novel karya Yu Hua ini juga menyorot bagaimana kekerasan akibat visi dari Mao Zendong yang ingin menghapus sisa-sisa budaya kapitalis pada rezim sebelumnya berdampak pada rakyat-rakyat sipil. Akibatnya banyak intelektual dari sekolah-sekolah turun dengan membentuk pasukan merah yang tersebar di seluruh China.

Pada bab 25 di novel ini, saat Revolusi kebudayaan mulai banyak terjadi kekerasan di China. Bahkan semua orang banyak yang meninggalkan rumahnya, polisi, pabrik, hingga orang berjualan pun tidak ada. Hanya banyak orang yang mengenakan ikat kepala merah yang kemudian dikenal dengan pasukan merah ini berkeliling.

…. Kalau ada orang yang dulunya menyakiti kamu, kamu tinggal tulis namanya saja di poster huruf besar, terus tempelkan di jalanan. Mau tulis tuan tanah yang masih berkeliaran juga boleh, mau tulis dia anti revolusi juga boleh, mau tulis apapun boleh. Belakangan ini yang banyak jumlahnya ya macam-macam kejahatan, bebas kamu ambil yang mana saja, lalu tuliskan besar-besar di atas poster, lalu tempelkan. Beres.

Xu Sanguan (hal.183)

Diketahui bahwa pada masa revolusi kebudayaan, orang yang bersalah dan tidak mematuhi prinsip-prinsip Mao akan dibawa oleh pasukan merah ini dan dilecehkan atau dihinakan di depan orang banyak di alun-alun. Tidak hanya itu, bahkan akibat kekerasan yang dilakukan pada rezim ini, tidak sedikit warga sipil yang mati akibat kekerasan yang terjadi.

Terkait #Resensi :
#Resensi Budaya Patriarki Di Abad Pertengahan Lewat Tokoh di Grand Shopy Karya Geogrette Heyer
#Resensi Mendalami Sifat Alami Anak-Anak Lewat Karya Tetsuko Kuronayagi – Totto Chan.
#Resensi Very Good Lives – J.K Rowling (Lewat Imajinasi Lampaui Kegagalan)

Sudah membaca buku ini, ayo bagaimana tanggapanmu ? Silahkan komen di kolom komentar ya !

Bagi kalian yang memiliki pertanyaan seputar wawasan dunia, bisa ditanyakan di kolom komentar. Kami akan membantu dengan menjawab pertanyaan kalian dan siapa tahu pertanyaan itu membuka wawasan bagi banyak orang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Ping-balik: #Resensi Bumi Manusia – Pandangan Pramoedya Ananta Toer Terhadap Pergundikan Kolonialisme

1 Response