Penulis : Dinda Pranata
Srekkkk!
Suara itu selalu terdengar di pojokan paling sunyi. Lebih tepatnya suara lain terbungkam. Disuruh diam. Kertas itu selalu mengomel jika tak ada yang membuka. Mengeluh.
“Dia itu cuma membeliku untuk pajangan! Cih! Mending aku pergi saja ke pasar loak!” omelnya.
Aku mendengar? Tidak. Cuma merasa bersalah setiap aku melewati rak buku di pojokan kamar. Tak pernah menyentuh raknya bahkan buku di dalamnya. Dan akhirnya, dengan segala kesadaranku kembali membuka si buku bersampul biru.
Aku duduk di kursi panjang sebelah rak buku. Membuka halaman pertama, kedua, ketiga dan aku tak bisa berhenti. “Baru tahu ya aku bisa menghipnotismu?” katanya sedikit menyombongkan diri.
Meski dia suka mengomel, tapi diam-diam semua omelannya membuatku jatuh cinta. Meski bukan pertama kali.
Nostalgia Ingatan di Pojok Kamar
Pojokan kamar yang menghadap ke timur, dekat dengan jendela besar yang menghadap ke kolam teratai di depan rumah. Sudut nyaman yang dibuat bapak karena, aku tak suka belajar menghadap tembok. Bukan karena takut, tapi karena terlalu monoton.
Baca juga: Review Bukan Pasar Malam: Dari Filsafat, Profesi Sampai Politik
Bentuk tembok keras, putih dan tak menarik. Setidaknya untuk mataku yang terlalu manja.
Namun sepeninggal bapak dan ibu, pojokan kini berdebu. “Kalau kau tak lagi membutuhkanku, maka biarkan aku pergi ke loakan! Di sini kotor!” keluhnya, “kau tahu aku alergi debu. Lihatlah, badanku berjamur!”
Buku itu terus mengomel. Memintaku mengambil salah satu dari mereka. Kuambil buku bersampul biru bergambar kucing, lalu duduk di kursi itu. Kegiatan membaca bukan lagi sekedar mengamati huruf atau memahami frasa-frasa di dalamnya. Di sudut itu aku belajar menangkap imaji juga mengolah narasi sebuah buku. Menepikan setiap makna dan realitas dunia nyata.
Tidak mudah. Hanya berusaha peka. Karena buku-buku yang cerewet itu, seringkali berceloteh mengapa ia tidak dimaknai sebagaimana realitas atau hanya dianggap sebagai kisah-kisah absurd yang barangkali tanpa makna.
Celotehan para buku itulah, rubrik pojokan ini lahir. Bukan untuk mengulas dengan cara biasa tapi sudut ini mencoba menepikan makna, sembari menangkap realitas kehidupan dari isi bukunya.
Baca juga: Kucing Bernama Dickens: Kisah Peliharaan dan Proses Penyembuhan
Isinya? Tak ada unsur akademis. Bukan juga kaku seperti pakem review yang semestinya. Bisa jadi isinya adalah kegundahan si buku akan dunia. Bisa juga nostalgia pembaca akan kenangan-kenangan kecil dalam isi sebuah buku.
Lalu, mengapa menepikan makna dalam sebuah buku itu penting? Bukankah yang terpenting adalah isinya?
Berbagi Ulasan Dan Ruang Ekspresi

Di tengah banjir konten cepat saji dan ulasan yang kadang terasa akademis, ada kerinduan yang perlahan muncul. Ya, rindu pada cara lama membaca. Pelan. Penuh jeda dan memberi ruang pada rasa. Membaca bukan sekadar memahami isi buku, tapi juga mengizinkan diri berekspresi. Entah merenung atau malah tersesat dalam satu kalimat yang menggema.
Banyak buku bicara hal besar tentang hidup dan kematian, tentang cinta dan kehilangan, bahkan tentang absurditas gosip ibu-ibu kompleks yang lebih dramatis dari drama Korea. Tapi yang sering kita cari bukan hanya ringkasan isi buku. Bukan juga yang sibuk mengejar likes atau validasi pintar, melainkan mereka yang membaca dengan jujur dan kadang diam-diam tersentuh di halaman lima puluh tujuh.
Pojokan hadir sebagai ruang untuk menyuarakan pengalaman membaca yang utuh dan manusiawi. Sesekali tak masalah untuk menjadi ganjil. Karena itu adalah seninya. Di Pojokan menjadi tempat di mana literasi adalah proses mengalami dan memahami, bukan menguasai atau memamerkan.
Baca juga: Cecilia Dan Malaikat, Percakapan Ringan Antara Penghuni Surga Dan Bumi!
Rubrik ini tidak menilai buku dari kesempurnaan. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang ingin semuanya rapi dan hebat, Pojokan justru memeluk retakan-retakan kecil yang justru menjadi bagian dari seni bercerita itu. Kadang, bisa saja satu frasa sederhana yang retak menurut dunia, ternyata mampu menyusup ke dalam hati, mengubah pandangan, dan menemani malam-malam yang sunyi.
Ada beragam genre akan hadir di sini: fiksi dan non-fiksi, romansa dan klasik, buku baru maupun yang sudah lama berdebu. Buku populer maupun yang nyaris tak terdengar, semuanya punya tempat di Pojokan. Sebab di ruang ini, semua buku punya hak untuk didengar.
Sapaan Dari Senja Hari
“Jadi kau mau menjadi temanku?” tanya si buku padaku, ketika aku menatap sampul buku biru itu cukup lama.
“Aku kira membaca seorang diri tidaklah menarik,” kataku kemudian.
“Noted!” kata si buku, “kau bisa foto aku dan bagikan isi kepalaku pada semua orang. Maka kau tidak lagi merasa menjadi penikmat kesendirian.” Ia setengah terkekeh mendengar gumamku. Merasa kalau aku begitu idealis tapi juga tak polos.
Baca juga: Review When Marnie Was There, Benang Merah Anak Kesepian
Ikan terpancing, ungkapan itu cocok untukku. Dengan merogoh saku celanaku, kuambil ponsel dari dalam. Cekrek! Flash menyala dan foto buku itu tertangkap di kamera. Pena di tangan, kertas bergesek dan saat itulah sebuah ulasan kecil lahir di pojokan yang sedikit berdebu itu.
Jika kau merasa sudut pojokan di Senja Hari bisa menjadi temanmu. Mari kita duduklah sebentar. Boleh bawa minuman hangatmu untuk teman berbagi ketika bacaanmu terlalu dalam untuk dinikmati. Kami dengan senang hati menyambut siapapun untuk berbagi tanpa ingin menggurui atau menghakimi.
Gimana nih gengs? Sudah baca buku berapa hari ini? ataukah ada yang baru mulai baca satu halaman? It’s ok kok. Mau itu baru mulai atau sudah punya jam terbang tinggi, kita bisa saling berbagi cerita di kolom komentar ya. Eits! Apapun pengalaman membaca kalian, yuk bisa untuk saling support dan nggak menghakimi ya dengan berkomentar bijak. Ya, semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih.
Happy monday! Jya, mata~
Comment
Kalau baca buku, aku lagi membiasakan paling nggak 5 halaman. Apalagi koleksi buku banyak yang belum dibuka hehe
Kalo untuk buku jadi lebih susah untuk fokus dan membacanya, lagi sering bacakan buku untuk anak-anak akhir-akhir ini
Menarik. Betul juga, jika buku bisa bicara mungkin dia akan protes jika dibeli tapi tidak dibaca. Saya sekarang jarang baca buku, tapi membacakan buku untuk anakku. Nggak tahu berapa halaman sehari.
Aku juga seneng banget kalau baca buku menghadapi ke luar alias halaman gitu. Kalau ini justru ada kolam teratai nya, makin semangat dong. Kadang suasana menarik yang bikin makin semangat baca lho.
Selalu menyempatkan diri membaca, walau tidak setiap hari dan sekali duduk tidak habis sebuku. Makasih sudah mengingatkan saya tidak seorang diri..
Jlebb! Aku tertohok. Berasa disentil juga, padahal buku-buku di rak masih banyak yang baru dipinang tapi belum dibuka, aku udah pengen meminang buku lainnya. Makasih remindernya mbak, jadi inget belum baca buku hari ini (dan kemarin-kemarinnya lagi).
Saya juga suka membaca, sehari paling beberapa halaman. Saat ini target satu bulan, satu buku. Mudah-mudahan nanti bisa lebih banyak lagi. Setelah membaca, diusahakan untuk menuliskan ulasannya. Untuk mengikat memori juga berbagi.
Naah, ini ada lho tipe orang yang seneng membeli buku tapii mager buat membacanya. Jadi ditumpuk aja jarang dibaca. Seperti kisah di atas ini.
Bener ya mbak,,, meski informasi bergerak begitu cepat up to date, tapi tanpa diimbangi literasi baca apa jadinya. Pemikiran jadi kurang asyik untuk diajak debat
Tulisan yang dalam tapi hangat, seperti secangkir teh di sore hari. Pojok yang diceritakan di sini seperti ruang kecil yang menyimpan banyak rasa dan kenangan. Selalu suka gaya narasi Kak Dinda
Memang belum ada minuman hangat saat ini, tapi berbagi tentang bacaan, rasanya aku siap kembali dari nol setelah sekian lama hiatus tak berkesudahan. Saatnya kembali menyapa rak di pojokan untuk kembali hidup dan berteman
Pagi tadi sembari menunggu antrian di RS, aku baca buku TTS eh bukan baca berarti ya, mengisi TTS 🙂
Saat ini di rumah aku sedang nyortir buku. Perpustakaan sekolah anakku meminta hibah buku (non-fiksi) dan aku ingin menyisihkan beberapa koleksi bukuku untuk disumbangkan, sesuai motto kegiatan ini “Sekali hibah, ribuan wawasan menjadi berkah” . Insya Allah
Suka banget sama kata-kata “sekali hibah, ribuan wawasan menjadi berkah” dan beneran lho itu mbak. Aku pernah denger salah satu bookstagramer bilang kalau buku itu masih tersier bagi beberapa pihak karena harganya yang nggak murah. Tapi dengan adanya hibah, itu bisa jadi berkah bagi mereka yang ingin menambah wawasan. 🙂
Aku pun rindu membaca buku dengan suasana hati tenang dan tenteram. Selama ini koleksi bukuku juga seperti kurang diperhatikan. Wah, seandainya mereka bisa bicara, pasti sudah mewek2 minta dibaca oleh kita ya mbak hehehe. Aku sempat mampir ke Gramedia Depok, ternyata ada tempat duduk buat pengunjung untuk baca buku sebelum dibeli 😀
Di tengah hiruk pikuk dunia dan kecepatan akses informasi, punya waktu dan tenaga untuk membaca buku dengan seksama dan hanyut di dalamnya adalah sebuah privilege yang harus dimaknai dan disyukuri, yuk baca buku
Tulisannya bagian dari perenungan harian agar tetap positif dalam beraktifitas harian
bagian dari perenungan harian agar tetap positif dalam beraktifitas harian
17 Responses