Penulis : Dinda Pranata
Nyonya Bovary salah satu roman dari sastra Prancis yang kubaca dalam kurun waktu yang lama. Ketebalan bukunya sih sedang sekitar 400 halaman, tapi ada sesuatu yang membuatku nggak klik dari segi pembawaan ceritanya. Meski begitu, aku tetep berusaha menyelesaikan bacaan ini karena kupikir akan menemukan sesuatu yang “wah” di ceritanya.
Seperti apa sih sinopsis dari Nyonya Bovary ini?
Nyonya Bovary antara Realitas dan Imaji Kehidupan Rumah Tangga
Kisah ini bercerita tentang seorang istri seorang dokter bernama Charles Bovary. Charles Bovary hidup di kalangan menengah ke atas yang mana ayahnya adalah seorang mantri (ahli pengobatan) yang kurang kompeten. Sementara ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang sangat hemat dan peduli pada pendidikan anaknya, tapi begitu materialistis.
Kedua orang tuanya membesarkan anak si Charles ini dengan cara yang berbeda, tapi berkat ibunya yang gigih mendidik dengan cukup, Charles tumbuh jadi pribadi yang malu-malu tapi cukup cakap.
Setelah ia menjadi dokter, kedua orang tuanya dengan menikahkannya dengan seorang janda kaya bernama Nyonya Dubuc. Lalu pindahlah si Chales Bovary ini ke kota Tostes di mana ia membuka praktek menggantikan dokter tua di kota itu.
Baca juga: Novel Heidi dan Jiwa Johanna Spyri
Sayangnya pernikahannya tak bahagia dengan Nyonya Dubuc. Nyonya ini terlalu kaku, membatasi gerak si dokter dan inginnya dilayani bak ratu. Akhirnya Charles merasa lelah hingga memilih diam atau sesekali mengutuk dalam hati. Hingga suatu ketika ia menerima pasien bernama tuan Rouault—seorang pemilik tanah pertanian kaya—di Les Bertaux, Charles bertemu dengan anak gadisnya yang cantik jelita bernama Emma Rouault. Jatuh cintalah mereka berdua.
Perselingkuhan dan Permainan Asmara
Sering kali Charles berbohong kepada Nyonya Dubuc sejak pertemuannya dengan Emma. Menggunakan dalih mengobati tuan Rouault yang kaya, Charles pergi diam-diam untuk berkasih-kasihan dengan Emma. Perselingkuhan secara halus pun terjadi.
Tapi namanya angin nggak bisa ditangkap, juga asap nggak bisa digenggam. Gerak-gerik perselingkuhan Charles terbaca oleh Nyonya Dubuc yang menyebabkan si Janda ini sakit dan meninggal. Sepeninggal si Janda, Charles pun menikahi Emma dan menjadikannya Nyonya Bovary Muda.
Emma yang berfikir bahwa dia memang mencintai Charles. Tapi ternyata cinta yang dia rasakan berbeda dengan buku-buku roman yang ia baca. Pernikahan dia dan Charles mulai terasa “lempeng-lempeng” saja. Ia jadi melakukan hal monoton sehingga ia jatuh dalam depresi yang membuatnya pindah dari Tostes ke Yonville dan bertemu dengan Leon serta Rudholpe.
Permainan cinta terlarang Emma Bovary dan drama kehidupan rumah tangga semakin liar. Tak hanya menyesatkan Emma dan Charles, tapi juga tragedi yang menanti mereka di depan.
Baca juga: Novel Emma: Idealitas Wanita di Era Victoria
Apa yang bisa kita bedah dari buku ini?
Gaya Hidup, Gambaran Gender sampai Moralitas
Nyonya Bovary salah satu novel terkenal dari Gustave Flaubert di akhir abad ke-19. Pembuatan novel ini bukan cuma lewat imajinasi dari pengarangnya sendiri, tapi melalui pengamatan terhadap dinamisnya kehidupan di Perancis yang terepresentasikan lewat rumah tangga Nyonya Bovary.
- Masalah Gaya Hidup
Di Prancis pada abad ke-19 kaum-kaum borjuis sangat senang hidup bermewah-mewah dan berfoya-foya. Flaubert mencoba mengkritik gaya hidup mereka yang digabarkan melalui beberapa tokoh seperti Emma, lalu ada Leon, Rudholphe, Nyonya Dubuc, dan lainnya. Selain itu, pada abad ke-19 ini juga di Perancis terjadi transisi masa pemerintahan yang cukup singkat, sehingga sosial budaya ini cepat sekali berubah. Menjelang akhir abad-19 saja, munculnya aliran positivisme (pergerakan pola pikir yang menentang gereja dan mendukung ilmu pengetahuan dari kaum intelektual). Nyonya Bovary ini salah satu karya yang dipengaruhi oleh aliran ini.
Saya heran dewasa ini, pada abad kecerahan ini, orang masih saja melarang sebuah hiburan intelektual yang tak ada bahayanya, yang mengajarkan yang bermoral, bahkan yang kadang-kadang sehat, bukan begitu, Dokter?
Nyonya Bovary halaman 300
- Budaya Patriaki dan Pandangan Misogis
Buku ini pun cukup membuatku berkerut dahi ya. Penggambaran kaum perempuan dari novel ini sebagian besar tidak tergambar dengan positif.
Baca juga: Resensi Budaya Patriarki Di Abad Pertengahan Lewat Tokoh di Grand Shopy Karya Geogrette Heyer
Dalam beberapa tokoh saja, misalnya nyonya Lefrancoise (pemilik penginapan) tergambar sebagai perempuan yang tak bisa apa-apa, lalu Emma digambarkan sebagai sosok perempuan yang sentimentil, dan beberapa lagi.
Penggambaran ini memang sesuai dengan kondisi akhir abad ke-19 yang mengagungkan kaum laki-laki yang serba bisa.
- Book Shaming
Istilah ini pasti sudah tidak asing bagi para bookish. Book Shaming sendiri adalah sebuah pandangan yang melecehkan tentang bacaan yang dibaca orang. Nyonya Bovary ini contoh yang kuat di mana pengaruh aliran Romantisme dan aliran Positivisme ini saling beradu.
Dinamika kehidupan sosial orang-orang di Prancis dan peningkatan literasi tentang bacaan ilmu pengetahuan, membuat beberapa orang (utamanya kaum gereja dan intelektual) memandang remeh karya sastra dan seni. Akhirnya memicu pandangan orang yang sering membaca roman akan memiliki moral yang jauh dari realita. Tokoh yang sering beragumen mengenai hal ini adalah si Apoteker (Tuan Homais).
Apa kesanku setelah baca buku ini?
Baca juga: Emotional Blackmail-Ketika Emosi Diperas seperti Cucian
Kegiatan Baca yang Maju Mundur
Baca novel Nyonya Bovary ini kalau kuingat lagi, ada yang bikin tertawa. Baru beberapa halaman aku cukup mengerutkan dahi. Mengerutkan dahi karena ceritanya nggak menarik? Nggak.
Tapi, ada beberapa catatan kritis untuk buku ini:
- Terjemahannya yang perlu diperbaiki
Ini point utama yang aku kritik. Sebuah buku terjemahan, akan tersampaikan maksudnya ketika informasi isi buku sampai pada pembaca. Ini yang nggak sampai seutuhnya ke aku dari buku Nyonya Bovary. Yang aku jelaskan di atas juga aku ambil dari pemahaman yang aku baca sampai akhir buku. Alasan terbesar kenapa aku bacanya juga maju mundur alias kadang males mau melanjutkan, ya karena terjemahannya yang kurang sesuai.
- Isi buku yang cukup misoginis ya
Kadang agak resah juga sih baca buku ini. Aku cukup merasa remuk sebagai perempuan saat Charles ini nggak bisa apa-apa dan kehilangan logikanya. Padahal kenyataannya lelaki di Era itu tergambar sebagai pria yang logis dan Bovary ini pun tak ubahnya seperti Emma yang juga berselingkuh.
- Bahasa yang “lebay” dan kata-kata yang tak perlu.
Nyonya Bovary ini lahir ketika ada dua aliran bersinggungan dalam dinamikan sosial di Prancis akhir abad ke-19. Jadi rasanya pengkategorian apakah dia masuk aliran sastra positivisme atau romatisme kurang pas. Di satu sisi ia punya ciri khas gaya bahasa romantisme era Victoria dan satu lagi dari ciri khas konteks yaitu aliran positivisme.
Baca juga: Resensi-Santai Aja, Namanya Juga Hidup. Komik Ringan Tentang Kehidupan!
Meski begitu kenapa aku akhirnya melanjutkan?
- Berawal dari pemikiran, “apakah sebuah buku yang isinya nggak bagus benar-benar nggak ada manfaatnya?” Aku jadi belajar juga bahwa buku yang terjemahannya kurang pun, ada sesuatu yang bisa aku ambil.
- Rasa penasaran dari karya sastra Perancis yang jarang kunikmati. Ini kedua kalinya aku menikmati novel sastra Perancis setelah Emile Zola. Dan menurutku kalau terjemahannya ok, buku ini mungkin bisa mewakili pemikiran penulis yang hidup dalam dinamika kala itu.
Invitasi dan Diskusi
Mungkin ada nih dari kalian yang pernah baca buku Nyonya Bovary? Gimana kesannya?
Buku ini bisa di baca di ipusnas (perpustakaan digital punyanya perpus nasional) lho. Gratis dan gampang banget.
Comment
Buku yang memiliki kritik sosial di dalamnya memang memiliki daya tarik tersendiri sih. Karena biar bagaimanapun pengalaman, dinamika sosial, hingga keadaan suatu negara suatu penulis akan mempengaruhi penulis dalam mengungkapkan keresahan dalam setiap karyanya.
1 Response