Home / Gerbang / Headline

Tradisi Cowongan-Ritual Memanggil Hujan dan Simbolnya

Senjahari.com - 26/08/2022

Tradisi Cowongan

Penulis : Dinda Pranata

Masih ingatkah kalian dengan fenomena pawang hujan di Sirkuit Mandalika? Ritual memanggil hujan sempat menarik perhatian dari berbagai media baik lokal maupun internasional. Banyak orang yang merespon baik, ada juga yang merespon tidak baik mengenai tradisi memanggil hujan tersebut.

Bahkan baru-baru ini sebuah konten dari pesulap merah mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh mereka adalah sebuah trik belaka. Sejatinya tradisi memanggil hujan itu sudah ada sejak lama, bahkan profesi yang bernama pawang hujan lahir dari tradisi memanggil hujan masyarakat kuno. Salah satu tradisi ini bernama cowongan yang berasal dari Banyumas. Seperti apa tradisi ini? dan bagaimana kita menyikapi tradisi warisan leluhur ini?

Tradisi Cowongan dan Sebuah Boneka

Cowongan secara harafiah artinya cowang-coweng atau coretan-coretan di wajah boneka cowong. Tradisi ini biasanya menggunakan boneka cowong yang terbuat dari tempurung kelapa sebagai kepalanya. Bagian tubuh serta pakaiannya terbuat dari jerami, rumput, dedaunan atau kain. Boneka tersebut nantinya akan didandani dengan kapur sirih (mirip diberi bedak) seperti wanita. Boneka cowong ini juga berfungsi sebagai manifestasi Dewi atau bidadari.

Cowongan dan Ritual Memanggil Hujan
Cowongan dan Ritual Memanggil Hujan

Tradisi cowongan yang dilakukan oleh masyarakat Banyumas adalah salah satu bentuk ritual memohon perlindungan dan anugerah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Doa yang mereka panjatkan ini ditujukan kepada Dewi Sri atau dewi kesuburan menurut kepercayaan kuno. Menurut budayawan Banyuwas, petani dahulu sering melakukan tradisi ini untuk meminta hujan dan kesuburan pada sawah yang mereka tanami.

Tiap daerah di wilayah Jawa Tengah atau wilayah Cilacap yang juga memiliki tradisi serupa tidak sama dalam hal tata caranya. Walau begitu biasanya tradisi cowongan atau ritual memanggil hujan ini mereka lakukan saat musim kemarau panjang. Sebagai contoh tradisi cowongan di Desa Plana biasa tergelar pada malam Jumat kliwon sekitar bulan September-Oktober.

Baca juga: Tanya Kenapa-Wanita Lebih Emotional? ataukah Itu Hanya Masalah Persepsi?

Zaman dahulu ketika ilmu pengetahuan masih belum seperti era modern, para pemilik sawah atau penggarap lahan menggunakan panggilan atau tanda alam sebagai kompas. Bagaimana mereka memprediksi kapan turun hujan dengan mengamati bentuk awan, bahkan badai datang pun bisa mereka prediksi hanya dengan merasakan sensasi angin. Sudah umum bagi masyarakat kuno untuk mengamati alam sebagai tanda-tanda sehingga secara tidak langsung membuat ikatan antara manusia dan alam lebih kuat.

Ritual dan Semiotik Tradisi

Tarian Pemanggil Hujan
Tarian Pemanggil Hujan

Saat melakukan ritual ini, ada pawang sebagai pemimpin ritual dan juga penari cowong yang semuanya adalah kaum perempuan. Sebelum melakukan ritual ini, para pelaku tersebut harus melakukan beberapa syarat. Berdasarkan sebuah jurnal budaya pantangan para pelaku tradisi cowongan menjalankan puasa, tidak berhubungan badan, tidak sedang haid atau nifas (bagi penari cowongan) dan memiliki sikap yang baik.

Untuk melakukan ritual ini setidaknya ada beberapa peralatan yang perlu dipersiapkan seperti irus/siwur (gayung), peralatan sesaji seperti (dupa kemenyan, kembang (mawar, kantil dan kenanga) dan jajajan pasar). Selain itu, ada tembang atau syair-syair doa yang nantinya akan dinyanyikan saat proses ritual berlangsung. Biasanya ritual ini tidak hanya berfungsi sebagai acara sakral semata, tetapi belakangan ini sudah dipadukan dengan acara kesenian lain seperti gamelan. Tapi benarkah tradisi ini hanya berupa tradisi seni semata?

Tidak! Dalam studi budaya setidaknya ada suatu budaya ini memiliki simbol tertentu yang di dalamnya mengandung makna. Istilah untuk simbol yang ada dalam budaya itu adalah semiotik kebudayaan. Dalam tradisi cowongan setidaknya ada beberapa simbol seperti boneka cowongan, kemenyan, bunga bahkan para pelaku ritual ini sendiri. Inti dari tanda dari simbol-simbol tersebut adalah bagaimana tradisi ini mengajarkan untuk selalu hidup rukun dan welas asih. Selain itu, tradisi ini juga mengajarkan manusia untuk tetap melindungi alam semesta. Lantas bagaimana proses tradisi ini berjalan?

Prosesi Ritual yang Sakral Tapi Menghibur

Dalam sebuah jurnal budaya tahun 2017 menjelaskan bahwa tradisi ini setidaknya ada tiga tahap yaitu tahap persiapan, pelaksanaan dan tahap akhir ritual. Pada tahap persiapan biasanya pawang hujan dan boneka cowong akan melakukan semadi seperti di bawah pohon, di atas batu atau di pinggir sungai. Pawang ini akan meninggalkan boneka cowong di tempat semadi selama tiga hari, agar roh/bidadari/nini cowong bisa memasuki boneka ini.

Baca juga: Childfree-Salah dan Benar Dalam Keputusan.

Selanjutnya boneka cowong yang sudah terisi oleh roh nini cowong atau bidadari ini akan dibawa ke tempat acara berlangsung. Di tempat acara (cowong sewu) pawang akan membacakan mantra untuk memohon ampun atas segala dosa dan meminta agar Tuhan bersedia menurunkan hujan. Bersamaan dengan pembacaan mantra doa oleh pawang, ada para penari, dalang, sinden serta gamelan yang membuat ritual ini sakral tapi menghibur. Lalu bagaimana kita menyikapi fenomena pawang hujan ini khususnya tradisi memanggil hujan?

Tradisi memanggil hujan bisa berbeda di setiap wilayahnya, pun dengan nama serta tata cara pelaksanaannya. Saat ini tradisi cowongan atau ritual memanggil hujan sudah hampir punah dan tergantikan dengan seperangkat teknologi yang muktahir. Kita sebagai bangsa boleh saja mengkritik tradisi yang mungkin sudah usang, namun kita perlu ingat bahwa tradisi itu pernah menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan menambah khasanah budaya kita. Dari tradisi memanggil hujan sebenarnya kita belajar membaca pertanda dan bahasa alam, terutama ketika kita sedikit menggambil jarak dari teknologi.

Source:
kemdikbud.go.id
jawasastra.com
Fatmawati Ayu, Lynda Susana Widya. 2017. Struktur dan Makna dalam Ritual Memanggil Hujan (Cowongan) Di Banyumas: Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper: Purwokerto

Tinggalkan Balasan ke Anggita R. K. Wardani Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Di kita itu budaya seperti ini emang masih banyak. Kayaknya masih jauh buat orientasi scientific thinking.

di negara kita memang masih banyak yaa budaya seperti ini. Kadang gatau sih, harus percaya atau gimana.. tapi ya yaudah ajaa akhirnya 😀

Anggita R. K. Wardani

Tradisi pawang hujan itu memang udah ada sejak dahulu sih. Di masyarakat seperti jadi semacam mitos. Jadi mau percaya tapi kalau di agamaku kan syirik, mau ga percaya tapi selalu kebetulan bisa barengan sama hujan

3 Responses