Penulis : Dinda Pranata
Ketika SMA saat pelajaran sejarah bangsa Indonesia tahun 2007, aku dan beberapa teman sekelas, yang saat itu mengambil jurusan IPS, sempat mempertanyakan mengapa banyak sekali lubang dalam kisah sejarah di masa orba. Sebut saja pada peristiwa pembantaian yang terjadi antara tahun 1965-1966 yang menyasar pada orang-orang yang (entah) simpatisan PKI, orang PKI dan organisasi GERWANI, yang terjadi tanpa peradilan yang sah dan adil. Termasuk peristiwa Talangsari di Lampung tahun 1984.
Namun setiap kali mempertanyakan lubang kosong dalam catatan sejarah, jawaban guru kami seolah menggantung dan hanya menjawab sebatas, “karena situasi yang tidak stabil pada masa itu” atau sebatas “karena peralihan kepemimpinan”. Ini belum lagi dengan bahan ajar yang isinya tidak banyak memuat fakta-fakta terbaru tentang sejarah bangsa. Entah mungkin ada pertimbangan di dalamnya ya. Inilah yang ada dalam buku Namaku Alam karya Leila Chudori.
Apa saja isinya? dan bagaimana kesan setelah membaca buku ini?
Sagara Alam dan Nasib Keturunan Tapol
Tokoh dalam buku ini bernama Segara Alam yang merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak sulungnya adalah Bunga Kenanga (Yu Kenanga), kakak keduanya adalah Bulan (Yu Bulan) dan dirinya. Ia lahir sekitar tahun 1963-an yang mana saat itu terjadi serangkaian dinamika perpolitikan antara orde lama dan orde baru. Alam memiliki kelebihan dalam ingatannya, ia bisa mengingat secara detail apa yang ia lihat, atau bahasa kerennya photograhic memory.
Sayangnya kehidupannya dilaluinya tanpa kehadiran sosok ayah, yang samar-samar ia ingat wajahnya. Dalam kisah hidupnya, ayah Sagara merupakan seorang wartawan, yang tertangkap dan akhirnya dieksekusi oleh pemerintah karena dianggap simpatisan PKI. Bahkan ketika ia masih bayi seorang tentara pernah membawa ibu, kakak sulung dan kakak keduanya untuk diinterograsi. Seringkali si Alam ini kesulitan menerima perlakuan orang-orang terdekatnya. Orang terdekatnya secara terang-terangan memberi cap “keluarga pengkhianat negara”, “keluarga tahanan politik” yang membuat hidup mereka semua tidak tenang.
Baca juga: Tulang yang Bercerita Tentang Jagal di Murambi
Alam sering terlibat perkelahian dengan Irwan. Irwan adalah sepupunya dari pihak sang ibu, yang merupakan anak seorang jenderal. Sepupunya ini sering menyebutnya anak pengkhianat negara. Puncaknya ia harus pindah ke SMA Putra Nusa berkat adik dari kawan bapaknya. Di sekolah itu Alam bertemu dengan Amelia, Arini, Kemal, Dara Ariani dan seorang guru sejarah yang menyadarkannya menjadi pribadi yang kritis namun tetap merunduk di balik jati dirinya. Kehidupannya menjadi lebih berwarna khas anak SMA.
Bittersweet ala anak SMA tahun 80-an lah! Ah kalian baca aja deh!
Dinamika Politik Orba dan Politisasi Pelajaran Sejarah
Novel Namaku Alam ini mengambil sudut pandang orang pertama, yaitu Segara Alam yang memiliki memori fotografik. Ia bisa mengingat serangkaian kekejaman yang terjadi pada masa Orba melalui cerita orang-orang terdekatnya, sembari ia menggali sejarah keluarganya yang merupakan anak musuh politik pemerintah yang berkuasa.
Buku setebal 289 halaman ini cukup mengaduk emosi meski tak sedalam karya Leila Chudori yang berjudul Laut Bercerita. Dinamika politik yang tersentralisasi pada kaum militer ini benar-benar penuh kekerasan terhadap kaum sipil yang memiliki pandangan berbeda atau mengutarakan kritik pada pemerintah.
Belum lagi peradilan yang tidak adil terhadap mereka yang tidak sejalan dengan pemerintah, menyebabkan banyak pelanggaran HAM yang (mungkin) sampai sekarang belum menemukan titik terangnya. Sebut saja kekerasan HAM saat terjadi pembantaian tahun 1965-1966 terhadap orang-orang yang pemerintah anggap sebagai simpatisan PKI.
Baca juga: Lorong Waktu-Epidemi Athena. Penyebab Epidemi Yang Masih Menjadi Misteri!
Tak hanya itu, masih segar dalam ingatanku dan mungkin sebagian besar kamu yang membaca sejarah ketika tahun 1990-an atau 2000-an, buku-buku sejarah pada masa itu rasanya terlalu overpround terhadap pemerintah orde baru (Soeharto) khusus-nya pada bagian pemberontakan PKI. Seolah ia yang paling berjasa dalam pemberantasan PKI. Pun dengan isi sejarah yang rentan tidak objektif sehingga mengaburkan fakta-fakta sejarah yang perlu terus diperbarui dalam buku ajar pelajaran tersebut.
Namun pernahkah kita semua bertanya, mungkinkah penumpasan PKI itu berdiri sendiri tanpa pihak ketiga, yang mana saat itu dunia barat tengah menghadapi perang dingin antara US dan Uni Soviet? Belum lagi proses intimidasi terhadap keluarga terduga simpatisan yang tidak manusiawi, serta stigma yang warga negara berikan pada para warga sipil yang menjadi terduga simpatisan PKI, yang membuat hidup mereka tidak tenang.
Apa menarikanya buku Namaku Alam ini?
Namaku Alam: Review PoV Senja Hari
Point plus yang membuatku merasa nyaman membaca buku ini:
- Kisahnya berlatar tahun 1980-an dan mengambil sudut cerita di masa SMA. Tahu dong ya, bagaimana begajul-nya anak SMA yang menjadi anak setengah dewasa. Aku suka persahabatan geng dari Alam yang isi-nya anak-anak berbobot semua, meski beberapa di antara mereka ini ada yang tipe-tipe rebellion.
- Bahasa khasnya Leila dari kumpulan cerpen Malam Terakhir, Laut Bercerita hingga yang terbaru Namaku Alam ini terlihat banget. Lugas, tidak bertele-tele dan tepat sasaran. Selain lugas, aku kira bacaan ini termasuk bacaan ringan yang enggak banyak diksi rumit.
- Alur yang maju mundur tapi enggak bikin pembaca pusing. Tahu dong kalau cerita dengan alur maju mundur itu salah satu cerita enggak semua penulis bisa menyajikan dengan apik. Selain kudu tahu sela kapan memasukkan unsur masa lalu, juga komposisi cerita antara masa lalu dan masa sekarang tetap berimbang.
Point yang buat aku agak kurang sreg dari buku Namaku Alam:
Baca juga: 24 September, Kelahiran Penulis The Great Gatsby.
- Narasi dan situasi anak SMA tahun 1980-an yang kurasa kurang dapat. Misalkan tentang bagaimana perawakan seragam, guru-guru di era itu yang tidak tergambar. Secara personal aku kurang bisa mengimajinasikan bagaimana anak-anak di era tahun 1980-an berpenampilan, apalagi adanya penggunaan bahasa prokem (gaul) yang sebenarnya membuatku lebih mudah membayangkan anak-anak era tahun 2000-an.
- SMA Putra Nusa yang menurutku sangat imajinatif ya. Aku mengira sekolah jenis ini sangat amat jarang ada, di di tahun-tahun kelam di bawah Orba. Aku menduga sekolah ini merupakan wujud idealisme dari penulis yang mengharapkan pendidikan sejarah dan siswa untuk lebih kritis terhadap isu-isu sejarah yang sering kali mudah terpolarisasi oleh politik tertentu.
Invitasi dan Diskusi
Setelah membaca buku ini, aku jadi berfikir bahwa pelajaran sekolah jangan hanya terpusat pada modul buku ajar. Sesekali guru sejarah bisa menggunakan bahan bacaan seperti novel berlatar sejarah yang sekarang sudah sangat banyak kita peroleh daripada jaman orde baru berkuasa.
Adakah yang sudah membaca atau lagi on going bacanya? Bisa kok berbagi apa yang kalian suka dari buku ini. Bagi yang mau masukkan novel Namaku Alam dalam wishlist, kalian bisa beli secara online atau di toko buku di kota kalian.
Source:
https://www.dw.com/id/keterlibatan-jerman-dalam-pembatantaian-pasca-g30s-1965/a-55099809
https://turnbackhoax.id/2018/01/18/edukasi-berita-palsu-yang-memicu-pembantaian-perang-dingin/
Swastika, Kayan, DKK. (2017). Peran Central Intelligence Agency (CIA) Dalam Peristiwa Penggulingan Presiden Soekarno Tahun 1955-1968. Jurnal Pendidikan dan Humaniora Vol. 5 No.1, 1-12 (Akses tanggal 18 Desember 2023)
Comment
Wow sepertinya menarik walaupun ada minusnya. Gak kebayang kalau jadi anak tapol…
membaca review “Namaku Alam” di blog kamu beneran ngasih gambaran seru tentang novelnya! Suka banget dengan cara kamu menyampaikan kesan dan pendapat kamu tentang ceritanya.
Pertanyaan nih, menurut kamu, apa yang bikin “Namaku Alam” beda dari novel-novel lainnya? Atau mungkin ada karakter atau momen tertentu yang jadi favorit kamu? Makasih ya udah nge-review novel ini. Jadi pengen baca sendiri nih setelah baca ulasan kamu!
Ah, Leila S Chudori, ada satu noveletnya dulu sangat kusuka, tapi sudah lama juga tak kubaca novel2nya. Terima kasih review novel Leila yg satu ini ya.. penasaran pengen baca juga euy..
mungkinkah penumpasan PKI itu berdiri sendiri tanpa pihak ketiga, yang mana saat itu dunia barat tengah menghadapi perang dingin antara US dan Uni Soviet? Pertanyaan ini menggugah untuk merenung lebih dalam tentang konteks sejarah penumpasan PKI. Memang, tidak bisa diabaikan bahwa saat itu dunia tengah diliputi oleh ketegangan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang mungkin mempengaruhi dinamika politik di Indonesia. Proses intimidasi terhadap keluarga terduga simpatisan PKI dan stigmatisasi terhadap warga sipil yang menjadi terduga, benar-benar menciptakan suasana mencekam dan sulit bagi mereka untuk hidup dengan tenang. Poin-poin ini menyoroti aspek kemanusiaan yang tidak bisa diabaikan dalam penanganan konflik politik, dan perlu dipertimbangkan dalam konteks sejarah yang lebih luas.
Kisah novel tersebut seperti lanjutan cerita dalam novel ” Tapol” dimana sang tapol harus menjalani hidup berat hanya karena menjadi simpatisan di era 1965.
Novel-novelnya Leila S Chudori kebanyakan bercerita tentang sejarah politik Indonesia ya. Aku juga pernah baca yang Laut Bercerita sama Pulang. Ceritanya juga mirip seperti ini. Aku suka karena bisa memberikan sudut pandang baru tentang sejarah Indonesia.
seru kayaknya bukunya ada unsur sejarah politiknya kaya gini. Karena jarang baca yang kaya gini jadinya penasaran
Aku kalau ngomongin sejarah suka roaming. Terus ada satu Guru yang cerita sejarah tuh asyik banget. Jadi suka. Sekarang kadang baca-baca sejarah. Makin seneng kalau bahasanya ala novel. Namaku Alam, nanti kucari deh. Penasaran juga
Saya mengalami masa orba, masa reformasi dan sekarang. Jaman orba memang terasa terlalu melebihkan penguasa. Mungkin karena saat itu kebebasan berpendapat masih dikekang. Melanggar dikit langsung dibungkam.
Adanya novel dengan tokoh segara alam ini jadi mengingat masa saya saat berseragam juga
Buku-buku sastra dan fiksi yang berlatar sejarah itu menarik ya. Beberapa karya Leila saya juga suka. Buku yang diulas ini belum baca. Tapi saya pernah riset banyak soal peristiwa masa orba yang dibahas. Memang ngeri-ngeri gitu.
Sama, beberapa waktu lalu saya mencari buku sejarah yang lengkap. Tapi gak menemukan. Bahkan ketemu buku sejarah orde baru tapi penulisnya malah kebanyakan orang luar negri. Aneh kan?
Tema bukunya cukup berani ternyata. Hingga kini, penulis yang mau menuliskan tema politik dan sejarah masih tidak banyak.
Walaupun ada momen yang daku belum paham di tahun² yang disebutkan, paling memang kudu banyak baca sejarah lagi sih, dan melalui buku ini meski disajikan dalam bentuk fiksi jadi punya gambarannya
AKu suka banget sama novel atau cerita sejarah. Dari review bukunya keliatannya seru ya. Semoga bisa berkesempatan baca bukunya
Review bukunya lumayan lengkap lumayan kebayang nih alur ceritanya seru juga penasaran kisah lengkapnya aku tuh jadi kepengen beli
Membahas sejarah seperti PKI itu kadang ngeri, kayak apa rasanya zaman itu. Padahal udah merdeka tahun 45 tapi masih saja ada perselisihan.
Review tentang novel “Namaku Alam” benar-benar ditulis dengan rapi sehingga membuat orang ingin membacanya ya
Apakah semua buku karya Leila Chudori ini selalu berlatar sejarah?
Aku salut sekali karena kembali mengangkat sebuah kisah yang tak biasa. Karena seringkali kita melupakan sebuah peristiwa di tahun-tahun tertentu dan serasa kembali disegarkan.
Kalau untuk pembaca karya beliau pemula, lebih baik ke novel “Namaku Alam” dulukah?
Hmmm gimana ya karakter zaman orba terkesan diktator. Belum lagi soal PKI yang melakukan pembantaian habis habisan. Rasanya pelajaran sejarah seolah ada yang tertutup tutupi, jadi ya ngggak salah kalo pelajaran ya itu itu saja
Hmmm gimana ya karakter zaman orba terkesan diktator. Belum lagi soal PKI yang melakukan pembantaian habis habisan. Rasanya pelajaran sejarah seolah ada yang tertutup tutupi, jadi ya ngggak salah kalo pelajaran ya itu itu saja
Karena kurang luasnya pembahasa dan segi pelajaran atau guru yang menguasai di bidang itu
Kayanya bagus nih novel. Jadi coba pengen baca ini novelnya. Tapi cek dulu harganya, hehehe
Buku ini sangat menyentuh. Kisah Alam sebagai anak seorang tapol menghadirkan perspektif yang jarang kita dengar. Melalui narasi yang jujur dan menyayat hati, kita diajak merenungkan dampak sejarah kelam bangsa pada generasi penerus. Kritik terhadap pendidikan sejarah yang disampaikan juga sangat relevan. Kita perlu mereformasi pendidikan sejarah agar lebih inklusif dan tidak hanya berpusat pada kemenangan.
Aku suka banget cara kamu menyampaikan review dari buku ini. Berasa ngalir aja gitu, kita dibawa suasana seolah olah kita membaca dan merasakan itu, padahal ini baru baca reviewnya doang loh 😀
Jadi tertarik saya buat baca baca lagi
Saya bisa membayangkan gambaran anak SMA di tahun 80an. Ya meskipun saya masuk SMA di awal 90an. Menarik nih cerita sejarah. Memang sih dulu tuh kalau belajar sejarah di sekolah selalu membosankan. Lebih suka menyimak diskusi atau membaca dari buku
Memang banyak lobang pada pelajaran sejarah Indonesia ya..Aku setuju kalau guru sejarah bisa menggunakan bahan bacaan seperti novel berlatar sejarah untuk mengimbanginya. Meski memang harus pilah-pilih juga kuatir mendeskreditkan pihak tertentu
Aku belum pernah baca karya Leila yang ini. Gara-gara gak nyaman baca laut bercerita, aku jadi maju mundur mau baca karya Bu Leila yang lain. Tapi kalau melihat ulasan Kak Dinda, sepertinya novel ini lebih ringan dari laut bercerita ya, meski permasalahannya berat. Terima kasih ulasannya.
Pelajaran sejarah itu seru ya. Banyak hal untuk didiskusikan, belum lagi perbedaan pendapatnya. Nah aku setuju banget nih novel yang membahas sejarah bisa jadi bahan pembelajaran juga untuk belajar sejarah, biar nggak bosan juga kan. Dikemas dengan gaya bahasa yang menarik.
Sejauh ini saya belum pernah baca karyanya Leila Chudori. Menarik juga ini novel tentang Namaku Alam. Baca reviewnya saja ternyata tak cukup, pengin beli novelnya juga.
Wah, buku ‘Namaku Alam’ bikin nostalgia dengan setting SMA tahun 80-an. Gaya bercerita Leila Chudori bikin kita mikir kritis, keren deh!
Iya lhoo banyak buku sejarah tahun 90 an atau 2000 an yang overproud terhadap pemerintahan orba apalagi pemberontakan PKI. Makanya nonton film dokumenter eksil, bisa memberi insight yang berbeda. Jadi mungkin bisa yah pelajaran sekolah menggunakan bahan bacaan novel juga, past ngga ngebosenin.
Hmm mendadak berat kepalaku Kak
Soalnya selalu menghindar kalau berbau sejarah
Dulu sangat trauma dengan gurunya
Makanya mungkin kebawa sampai sekarang
penasaran jadinya untk membaca buku ini, apalagi bercerita banyak dan sudut pandang si penulis sebagai orang pertama, kalau menilik dari review kakak sepertinya kita bakal mendapatkan sudut pandang baru mengenai masa sejarah zaman dahulu
Apa penulisnya angkatan yg lebih muda? Jadi kurang bisa menggambarkan anak SMA tahun 90-an. Saya yang SMA tahun 90-an saja enggak tahu gimana gaya anak SMA 80-an. Selisih satu dekade ‘kan?
Novel yang menarik, sama seperti novel Leila S. Chudori yang lain. Omong-omong, photographic memory itu terasa seperti dua sisi pisau ya. Di satu sisi menguntungkan, di sisi lain jadi mengerikan karena nggak bisa melupakan kejadian yang bisa menimbulkan trauma.
Poin terakhir setuju si. Sepertinya guru guru sekarang kalau nerangin pelajaran sejarah terlalu textbook. Terlalu bergantung pada buku paket.
Dan menariknya, siswa zaman dulu tuh lebih kritis dibanding siswa zaman sekarang hahah. Menarik nih bukunya.
Leila Chudori memang terkenal di setiap ceritanya yang to the point dan ga bertele-tele, tapi karena ceritanya sangat kaya bisa sampai 400an halaman dalam satu novel, termasuk di novel Namaku Alam
Saya suka novel berlatar sejarah, apalagi kalau penyampaiannya nggak membosankan. Sepertinya novel namaku alam ini juga menarik dan nggak membosankan.
38 Responses