Home / Jendela

Petantang-petenteng “Simpanan” Para Pejabat

Senjahari.com - 06/04/2023

Flexing Pejabat

Penulis : Dinda Pranata

Flexing pejabat! Jalan-jalan keluar negeri, jet pribadi, mobil mewah hingga tas Guchi menjadi sederet aset tak bergerak yang para pejabat, istri serta keturunannya miliki. Ke-glamoran mereka tentu menjadi sorotan para netizen yang bermata tajam. Utamanya saat para pejabat ini secara terang-terangan menunjukkan keglamoran itu.

Apalagi setelah ramai pemberitaan dari media, nyatanya yang melakukan gaya hidup mewah ini adalah para pejabat yang duduk di “singgasana” badan strategis. Badan strategis itu misalkan badan keuangan, hingga badan penyalur bantuan. Apa yang sedang terjadi pada mereka dan bagaimana kita menyikapi petantang-petenteng para pejabat?

Aristrokrasi Lintas Zaman

Sudah sejak dulu orang menggambarkan pejabat pemerintahan pihak yang memiliki beragam previlage. Bisa berupa kekuaatan, hak untuk mengumpulkan kekayaan hingga pengaruh di dunia sosial. Bukan hanya yang mengemban jabatan, tapi juga keluarga si pejabat. Kita bisa berkaca kembali pada sejarah-sejarah dunia ketika masa-masa imperium yang mana pemimpinnya adalah para aristokrat. Kita mengenalnya sebagai bentuk pemerintahan aristokrasi.

Apa itu pemerintahan aristokrasi? Pemerintahan Aristokrasi merupakan pemerintahan yang pemimpinnya berasal dari golongan tertentu dan dari kelas yang terbaik. Entah mereka terbaik secara intelektual, moral atau pun kemakmuran politik dan kekayaan. Pada tahun 1700-an pemerintahan aristokrat ini banyak kita temui pada negara-negara di Eropa.

Flexing Pejabat Lintas Zaman
Flexing Pejabat Lintas Zaman

Apakah Indonesia pernah menjadi negara Aristokrat? Pernah. Ketika sebelum merdeka dan lebih tepatnya pada saat negara kita ini masih berbentuk kerajaan-kerajaan. Pemilihan punggawa kerajaan biasanya berasal dari keluarga cendikiawan atau lingkup bangsawan itu sendiri. Kalau sudah begitu, kualitas dari pribadinya tidak terlihat, karena tertutup identitas latar belakangnya yang seorang bangsawan.

Baca juga: Joki Studi dan Ilusi Kompetensi. Mau Sampai Kapan Kompetensi Dikomersialisasi?

Jadi nggak heran, praktik aristokrasi yang ada ini rawan dengan korupsi dan kesewang-wenangan dari kalangan atas. Coba kita tengok kembali bagaimana sejarah mencatat kekejaman yang terjadi saat Indonesia berada dalam genggaman aristokrat yang tidak kompeten.

Misalkan penarikan upeti pada masa kerajaan yang melilit perut kaum petani atau rakyat kecil, yang nyatanya tidak untuk membantu rakyat. Selain zaman kerajaan, penarikan upeti yang menyengsarakan ini terjadi pada masa kolonial baik itu oleh penjajah atau kaum priyayi.

Kalau kita lihat bukankah ini tidak berbeda dengan kondisi di Indonesia sekarang?

Dari Upeti hingga Kebiasaan Flexing Pejabat

Tindakan penyelewengan pembayaran upeti yang terjadi di masa lampau, seolah menjadi kebiasaan yang “nikmat” bagi para pejabat. Bibit-bibit koruptor dan sikap flexing justru sudah terlihat dari zaman para raja-raja. Jika ada yang pernah membaca buku Max Havelaar karya Multatuli, pasti sudah nggak asing dengan perilaku para bangsawan yang bermewah-mewah dengan hasil kerja para rakyatnya. Pesta jamuan mewah untuk para tamu kerajaan hingga pakaian mewah sehari-hari para bangsawan, berasal dari pajak rakyat.

Apakah ini berbeda dengan flexing yang dilakukan pejabat dan keluarganya di era modern? Sebenarnya sama hanya dengan cara yang berbeda. Misalkan saja ketika baru-baru ini media sosial menyoroti gaya hidup mewah istri dari pegawai Kemenhub. Ada juga pamer harta dari pejabat bea cukai, jalan-jalan keluarga pejabat dengan jet pribadi, dan sebagainya.

Baca juga: Semua Orang Kepo, Tapi Enggak Ada yang Bergerak. Apa Itu?

Meski cara flexing di zaman raja diraja dengan era modern sekarang berbeda, tidak membuat istilah pamer kekayaan ini berbeda. Karena pola dan tujuannya tetap sama yaitu untuk menunjukkan, “ini lho aku! Aku si pejabat/bangsawan ….”

Jika dahulu mereka yang dirugikan oleh flexing bangsawan ini lebih banyak bergerak di bawah tanah, di zaman sekarang pelapor bisa terang-terangan membeberkan perilaku flexing itu.

Lalu apa alasan mereka (pejabat) melakukan flexing?

Glamor, Flexing Pejabat dan Eksistensi Orang Kaya Baru

Flexing dan Gaya Hidup
Flexing dan Gaya Hidup

Dalam bidang humaniora, perilaku manusia ini bisa kita kaitkan dengan banyak cabang ilmu dan banyak teori. Tapi tergantung dari apa yang mau kita gali dari fenomena ini. Kalau melihat flexing dari para pejabat yang berseliweran di media sosial, menegaskan bahwa ketika menjadi pejabat artinya menjadikan diri mereka sebagai “orang kaya baru”.

Dari kamus cambridge, istilah orang kaya baru ini tersemat pada mereka yang dulunya menjadi orang biasa kemudian menjadi orang kaya. Orang kaya baru ini seolah ingin menunjukkan eksistensinya di dunia dengan beragam cara salah satunya adalah flexing.

Baca juga: Pertanyaan Komparasi yang Menyulitkan. Apakah Memang Sesulit Itu?

Bagi pejabat yang menganggap dirinya orang kaya baru dan melakukan flexing, biasanya terdorong oleh keinginan agar diterima oleh lingkar sosialnya yang sama-sama pejabat dan orang kaya. Mereka menggunakan kekayaan sebagai simbol status sosial mereka.

Invitasi dan Diskusi

Edukasi kepada para petinggi saja tidak cukup untuk mengatasi masalah ini. Budaya pamer ini perlu disikapi secara serius dengan transparasi laporan kekayaan, serta seperangkat aturan mengenai besaran pengeluaran yang boleh dipakai oleh pejabat. Lalu juga bisa membatasi keluarga pejabat untuk tidak menerima endorsment dari produk-produk eksklusif, tapi boleh menerima endorsment untuk produk UMKM.

Lalu kita sebagai pengguna media sosial yang baik, tentu perlu memfilter konten informasi dari media sosial. Filter ini semata-mata agar menjaga kewarasan diri sendiri dan menghindari diri untuk terpengaruh pada perilaku flexing di media sosial.

Menurutmu bagaimana nih sahabat senja?

Source:
Nurhayat, Etty. & Noorrizki, Rakhmaditya Dewi. (2022). Flexing: Perilaku Pamer Kekayaan di Media Sosial
dan Kaitannya dengan Self-Esteem.
Jurnal Flourishing, 2(5), 368–374.
Mahyuddin, M. (2019). Social Climber Dan Budaya Pamer: Paradoks Gaya Hidup Masyarakat Kontemporer. Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, 2(2). https://doi.org/10.14421/jkii.v2i2.1086
www.kompas.com
www.thejakartapost.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Puji Wahyu Widayati

Sebenarnya nggak cuma di atas mbak, di bawahpun praktek KKN ini nyata seperti misalnya penerimaan karyawan walaupun bukan karyawan tetap ada saja titipan dari kerabat atau tetangga padahal kompetensinya diragukan. Jadi seharusnya para petinggi memberi contoh yang baik karena mereka adalah role model bawahannya.

1 Response