Penulis : Dinda Pranata
Momen tujuh belasan membawa euforia yang luar biasa bagi warga Indonesia. Bagaimana tidak, ada pentas seni suara jepret kamera terdengar cukup riuh. Belum lagi supporter dari lomba yang ternyata lebih heboh berteriak dan mengambil pose selfie dengan berbagai gaya, demi mendapatkan tangkapan foto yang keren. Mereka tidak terlalu peduli dengan cuaca yang labil dari pagi ke tengah hari, asal hasil dokumentasi acara tujun belasan pun sesuai harapan.
Dari sini kita sebetulnya kita sudah menyadari bahwa orang Indonesia itu memiliki dua hal yang tak terpisahkan. Cuaca yang labil dan kemampuan warga yang suka selfie. Meski selfie tak melulu buruk, tapi apa jadinya kalau dua hal yang berbeda ini bertemu dalam kondisi yang tak mengenakkan? Ini bisa jadi malapetaka dong ya.
Lo, memang ada hubungan apa antara selfie dan cuaca labil?
Kebijakan ‘Bakar, Shoot, Share‘
Kalau kita menonton drama televisi pastinya ada adegan-adegan yang mengaduk emosi. Ini seperti cuaca yang sedang melanda Indonesia dan hampir seluruh belahan bumi. Di pagi hari cuaca bisa mendung dan dingin yang membuat kita memakai jaket tebal. Lalu siang harinya cuaca jadi terik dan panas, sampai jaket yang kita bawa hanya jadi beban bawaan.
Belum lagi pas acara tujuh belasan, matahari di tengah hari begitu terik sampai-sampai beberapa hutan dan lahan jadi ikutan terbakar “semangat tujuh belasan”. Tapi ada yang lucu dan pahit dari “terbakarnya semangat para hutan dan lahan” ini?
Baca juga: Energi Terbarukan Indonesia dan Petualangan Avatar
Misalkan nih kalau saat berjalan-jalan melewati lahan kering yang banyak tumpukan rumput, tiba-tiba saja kamu melihat ada percikan api yang berubah besar, apa yang akan kamu lakukan? Banyak orang pasti akan memilih berlari menyelamatkan diri atau berlari berusaha memadamkan api.
Sayangnya ada juga beberapa orang, yang justru menganggap karhutla itu sebagai ‘kado’ yang luar biasa untuk mereka abadikan dalam bentuk selfie yang dramatis. Ini pernah terjadi di tahun 2019, yang mana sekelompok wanita berfoto selfie di tempat kebakaran hutan terjadi. Tak cukup sampai di sana, mereka malah menyebarkan foto itu ke media sosial.
Foto yang beredar di dunia maya ini pun mendapatkan banyak respon dari warganet yang heran dengan sekelompok orang ini. Banyak yang bertanya-tanya apa yang mendorong sekelompok wanita rela menghadapi bahaya itu? Ataukah ini bentuk ekspresi dramatis mereka yang sedang ‘terbakar’ amarah akibat lahan itu terbakar?
Konsep ‘Bakar, Shoot, Share‘ mungkin terdengar seperti judul acara reality yang mengandung humor bernada satir. Tapi karhutla di Indonesia ini bukanlah acara humor yang mengundang gelak tawa, tapi perlu kita sikapi secara serius. Sejak Januari sampai Juli 2023 saja sudah tercatat 211 kasus karhutla dan ini hampir sama dengan total kasus yang terjadi di tahun 2022. Kasus karhutla ini bukan saja karena fenomena alam tapi juga ada campur tangan manusia. Kalau sudah begitu lucunya ada di mana?
Karhutla di Tujuh Belasan
Semangat tujuh belasan yang biasanya bisa membuat kita senang, berbeda ketika pohon-pohon di hutan dan lahan hijau yang terbakar semangat. Saat pohon, hewan dan tumbuhan kita yang cantik jelita “terbakar semangat” yang ada semua ekositem bumi dalam keadaan darurat. Coba deh kita jabarkan:
Baca juga: Green Kitchen: Saringan, Tungku dan Rasi Bintang
1. Maunya Make Over Wajah Lahan, Tapi Gagal
Karhutla ini semacam proses make over ala manusia. Tapi bukannya membuat wajah hutan jadi cantik malah berubah gosong. Pohon-pohon berubah jadi abu, lalu tanah hutan berubah legam, kasar dan berkeriput. Belum lagi aneka ragam hewan berubah gosong. Apa menurutmu make over itu cantik dengan membakar hutan?
2. Maunya jadi “Hot Trending”, yang berujung “Global Warming”
Sudah banyak lo kasus-kasus karhutla yang melibatkan perusahan-perusahaan yang maunya jadi paling hebat. Ya, dengan meluaskan proyek-proyek strategis seperti food estate demi mengejar “hot trending” sebagai negara tertangguh masalah pangan. Sayangnya caranya yang membakar lahan/hutan malah meningkatkan efek gas rumah kaca. Status “Hot Trending” pun gagal diraih, dan status itu berganti jadi si paling “Global Warming”.
3. Maunya sehat, tapi jadi darurat
Hutan itu ibarat pabrik kesehatan yang tiap hari menghasilkan udara bersih. Tapi kasus karhutla membuat pabrik sehat itu jadi pabrik penghasil penyakit. Asapnya saja sudah mengandung bahan kimia berbahaya seperti karbonmonoksida, formaldehida dan banyak partikel beracun lain. Partikel ini bisa membuat mata, hidung, organ paru bahkan jantung makhluk hidup dalam kondisi darurat.
4. Maunya Tank Air Penuh, Tapi Malah Susut
Hutan memiliki peran penting dalam menjaga siklus air. Kebakaran hutan mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air hujan, menyebabkan erosi dan kekeringan. Ini berdampak pada pasokan air bersih untuk masyarakat dan pertanian di sekitar wilayah karhutla. Nah ini bisa jadi ironi, maunya kita jadi negara paling tahan urusan pangan, tapi tank air susut perkara karhutla. Terus mau bagaimana?
5. Maunya Untung tapi Buntung
Karhutla dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan. Karhutla bisa membuat jalannya perekonomian lumpuh dari terganggunya transportasi perihal asap. Lalu berkurangnya aktifitas manusia untuk mengolah pertanian, perikanan atau sektor industri lain. Belum lagi jaringan telekomunikasi yang bisa ikut “oleng”. Kalau sudah begitu manusia makan apa? Dan hewan serta tumbuhan bisa ikut “puasa”. Belum lagi untung yang jadi buntung ini, berubah ke kasus sikut antar tetangga yang berhubungan dengan lahan.
Baca juga: Mengintip Green Receipt di Dapur Bumi, Mau Menu Apa Hari Ini?
Selfie Anti-Mainstream
Kalau mau bandingin lebih enak mana sih, selfie dengan latar karhutla yang dramatis atau selfie dengan latar hutan/lahan yang adem? Maunya selfie dengan latar hutan yang adem tapi dramatis bisa enggak ya?
Jawabannya bisa kok. Coba bayangin kita berfoto sambil mandi matahari di tengah hutan bambu. Lalu bisa juga kita memotret diri sambil berfoto bareng monyet kasmaran di tengah hutan. Contoh foto itu lebih adem ketimbang foto dramatis pakai latar karhutla ‘kan?
Kita ini mesti bangga-tapi jangan sombong-menjadi salah satu negara yang menduduki hutan terluas di dunia nomor sembilan. Kita juga boleh bangga kalau kita menjadi negara hutan tropis terbesar ke-3.
Kekayaan sumber daya alam yang besar, baik itu hewan serta jenis tumbuhannya, menjadikan negara kita cukup terpandang di negara lain. Hutan tropis kita berperan penting untuk mengurangi efek rumah kaca yang berakibat pada global boiling. Selain itu, hutan tropis Indonesia membantu menyediakan sumber air, ketika tetangga kita di Afrika bisa dengan iri melihat ketermelimpahan air di negara ini.
Tapi kalau kita terus menggemborkan bahwa kita kaya akan kekayaan alam, kekayaan budaya atau bahkan kaya akan hutan yang hijau, kita tidak akan belajar untuk menumbuhkan rasa saling menjaga satu sama lain.
Baca juga: Inferno Hutan dan Lahan: Jangan Sampai Lakukan Hal Sederhana Ini!
Ini terbukti dari banyaknya pihak-pihak yang sering kali memberikan sugesti bahwa Indonesia minim karhutla dari negara tetangga lain. Lalu secara serampangan menggunakan sugesti itu, untuk membenarkan pembakaran hutan.
Ada juga pihak-pihak yang sering kali menggembor-gemborkan pesan bahwa Indonesia ini kaya sumber daya alam, sampai akhirnya mengeksploitasi tanpa memperbaiki keadaan ekosistem yang mereka pakai.
Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi fenomena karhutla?
Recycle Lahan, Tak Cuma Sampah
Banyak lo proyek-proyek di Indonesia ini tergolong sekali pakai. Coba deh tengok berapa banyak lahan mangkrak dan tak terurus gara-gara proyek. Proyek yang berkembang sering kali jadi produk sekali pakai, yang kalau ditimbun jadi sampah dan polusi.
Ketika para pecinta lingkungan sibuk berkampanye untuk me-recycle sampah, harusnya nih para pemangku kebijakan juga ikut berkampanye tentang me-recycle lahan. Biar lahan yang tertimbun itu tidak mengakibatkan polusi yang disebabkan oleh pengalihfungsian lahan.
Misalkan saja menggunakan lahan tidur untuk proyek-proyek food estate. Jika tidak lahan tidur itu luasnya tidak seberapa di beberapa titik, bisa lo dimanfaatkan untuk program swadaya/swasembada proyek ketahanan pangan.
Selain menjadi sarana recycle lahan, program ketahanan pangan yang melibatkan warga secara aktif, bisa sekaligus mengedukasi bahwa merawat lingkungan sama pentingnya dengan mengenyangkan perut.
Invitasi dan Diskusi
Ketika ada orang yang begitu kehilangan ide dengan menyalakan tombol shoot, saat ada api membakar hutan. Lalu dengan wajah sumringah di foto, mereka menekan tombol share di media sosial dengan caption memprihatinkan. Maunya sih jadi kelihatan keren dan beken, tapi malah jadi jengkel.
Di sisi lain kadang ada orang yang dengan sigapnya memadamkan api dan mereka yang berjibaku berusaha menjaga agar api tak melahap hutan, sering kali tak tertangkap kamera. Lalu siapa yang lebih keren?
Daripada menyalakan tren “Bakar, Shoot, Share”, mendingan jadi trendsetter “Padamkan, Shoot, Share” kita bisa #BersamaBergerakBerdaya menjaga hutan #UntukmuBumiku.
Source:
www.bbc.com/indonesia/articles/c2l9qzp91eqo
www.lestari.kompas.com/read/2023/08/19/233000586/ada-6-titik-rawan-karhutla-di-tol-trans-sumatera-ini-upaya-hk?page=all
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/08/18/luas-kebakaran-hutan-indonesia-capai-90-ribu-hektare-sampai-juli-2023
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230706143844-20-970249/karhutla-meluas-di-bulan-juni-momok-el-nino-dan-pola-jelang-pemilu/2
Comment
Masalah hutan mmg seolah tak pernah habis. Selalu adaaa saja masalahnya. Sebagai orang yg jauh dari hutan, kita pun wajib mendukung kelestarian hutan dg cara2 yg kita bisa. Sebab, kita yg jauh dr hutab pun menikmati manfaat hutan.
Tidak habis pikir pada orang-orang yang ingin eksis dalam situasi yang genting seperti itu. Tindakan seperti itu sama saja mengantarkan nyawa karena sudah pasti mendatangkan hujatan dari banyak orang.
Karena sudah sering terjadi setiap tahun, masalah hutan ini malah jadi sebuah lelucon satire ya. Memang sih, menyindir pemerintah untuk berbuat lebih, tapi apa yang dilakukan itu juga tidak timbulkan dampak positif untuk semangat berikan angin perubahan. Malah orang pada fokus untuk buat leluconnya ketimbang aksi perbaikannya..
Gimana ya, aku sebetulnya nggak berani mengomentari kelakuan orang2 di sosmed pribadi mereka. Tapi jujur agak aneh ketika melihat orang2 di foto yang selfie dengan latar karhutla. Maksudnya apa ya? Maaf, kok kayak nggak ada simpatinya gitu. Iya gak sih? Di tengah isu pemanasan global dan segala bencana yang ditimbulkan, ada segelintir orang yang menganggap karhutla sebagai tontonan bahkan seperti lelucon kayak gitu. Miris sekali…
Nah kan, bener! Rada aneh dan agak kurang etis kan ya. Saya sendiri yang baca dari sumber media besar saja agak wow kok. Di tengah isu yang sedang hot-hotnya, orang² ini seolah kehilangan ide konten. 🥲
Saya juga tak habis mengerti dengan trend bakar shoot share. Maksudnya apa coba, para anak muda berpikiran pendek itu.
Karhutla masih jadi kasus serius apalgi di musin sekering ini. Berbahaya sekali kalau bermain api. Bahkan buang puntung rokok pun bisa jadi kebakaran.
Iyaa kadang heran sama orang-orang yang selfie dengan latar karhutla. maksudnya apa coba-_- ga ada rasa simpatinya. Karhutla ini masih jadi kasus yang serius apalagi di musin kemarau gini. Hiksss
Sebenarnya semua pihak termasuk semua lapisan masyarakat bisa turut serta dalam pencegahan kebakaran hutan. Tak hanya sosialisasi untuk masyarakat sekitar hutan tapi juga semua orang bisa membagikan informasi tentang pencegahan kebakaran hutan, misalnya lewat artikel atau media sosial juga ya kak
Musim kemarau gini kita harus care banget sih sama lingkungan. Terutama yang lokasinya deket hutan. Jangan sampai melakukan hal yang menimbulkan api seperti membuang puntung rokok sembarangan apalagi membakar api.
9 Responses