Penulis : Dinda Pranata
“Udah ngangkat anak aja buat pancingan!” seru kerabat di pojokan ruang tamu, saat sedang berkumpul dalam acara keluarga.
Siang itu sialnya matahari sedang terik, padahal pagi tadi gerimis sempat mampir menyapa halaman depan. Entah mengapa langit seperti memberi izin untuk berkunjung ke salah satu sanak saudara yang cukup aku hindari. Bukan anti. Bukan juga benci. Hanya sedikit jaga jarak seperti jargon truk di jalanan.
Sampailah mobil kami di pelataran rumahnya. Rindang dan asri. Punya dua pohon palem menjulang di kanan dan kiri sisi rumah. Perut atasku sudah keruh. Dengan sedikit malas aku membuka pintu mobil. Tanpa menunggu lama sambutan itu keluar dari mulutnya. Tak cuma satu mulut tapi dari banyak mulut.
Lebih Senyap dari Bisikan, Mendesak Somatik Bergerak
“Udah isi belum?” tanya kerabat lain.
“Itu lho si ABC udah isi satu bulan setelah nikah. Kamu kapan?” tanya kerabat satunya.
Baca juga: Review Animal Farm, Satir Manusia Dalam Animal Kingdom
Rupanya pertanyaan sejenis, dan kadang-kadang saran yang tanpa diminta, keluar begitu saja dari mulut para kerabat. Entah sekedar untuk basa-basi atau memang sepenasaran itu dengan isi perut orang yang sudah menikah.
Apa yang terjadi padaku—beberapa bulan setelah menikah—juga pasti pernah dialami oleh wanita-wanita lain entah dalam hitungan bulan bahkan tahunan setelah menikah. Aku tahu perasaan itu. Dan, kita yang mengalami itu adalah tokoh utama bernama Amara dari novel Lebih Senyap Dari Bisikan, versi kita sendiri.
Jauh dari kisah Baron dan Amara dalam novel Lebih Senyap dari Bisikan, aku menemukan banyak hal yang terlalu umum terjadi. Sepele. Tapi justru meninggalkan luka paling besar di individunya. Pernikahan beda agama yang tidak mendapat restu mami Amara. Kegelisahan Amara dan Baron yang tak kunjung dapat momongan sampai pihak-pihak yang kadang terlalu kepo dengan pasangan yang ‘anget-angetnya’ menjalani kehidupan bersama.
Akhirnya, ketika mereka sudah begitu pasrah akan keinginan mendapatkan buah hati, justru harapan mereka terwujud secara tidak terduga. Amara hamil dan melahirkan bayi laki-laki yang mereka beri nama Yuki.

Namun, masalah tak kunjung reda sesuai harapan. Tumpukan masalah datang tanpa salam bahkan lebih besar ketika Yuki hadir. Mulai kompleks. Semisal Bagaimana cara merawatnya; Bagaimana mereka akan membesarkannya (karena Amara dan Baron masih berpegang pada agama masing-masing setelah menikah); Bagaimana mengatasi anak rewel yang bahkan dengan cara-cara umum tidak berhasil, termasuk bagaimana mengatur keuangan dan tetek bengeknya.
Baca juga: Review Kitab Kawin yang Menunjukkan Sisi Lain Perempuan
Imaji dari satu per satu malasah di dalam kehidupan Baron dan Amara membekas. Lalu, menumpuk di dasar. Hening. Ketika semuanya meluap dan bocor di semua sisi-sisi kehidupan indah pasangan tersebut, pada halaman 140, perutku seperti di aduk. Ada sesuatu yang mendesak untuk keluar.
Luka Kecil yang Bisa Bernanah di Hati
Aku kira sudah lupa luka itu, tapi ternyata tubuhku yang lebih dulu mengingat momen itu. Aku mual. Bukan jijik, tapi asam lambungku naik. Aku kenal gejala itu. Asam lambung yang akan naik, dan perut bergolak ketika luka lamaku tersentuh kembali. Perasaan yang pernah kuhadapi bertahun-tahun lalu. Saat pertama kali statusku berubah menjadi ibu.
Aku merasa kehilangan sebagian dari diriku. Sesekali aku merasa tak berdaya. Lelah. Menghadapi bayi baru yang belum mengenal siang dan malam. Mengatasi rasa lelah seorang diri tanpa support sistem yang memadai. Belum lagi komentar-komentar njulid yang menganggapku ‘kurang ibu’ karena melahirkan secara caesar.
Kadang aku juga merasa dunia meninggalkanku karena mereka larut dalam bahagia atas hadirnya bayi mungil itu. Terpinggirkan. Tapi aku juga sadar, memang bayi itu menggemaskan dan membuatku ikut larut bahagia tanpa sadar. Aku merasa aneh dengan perasaanku sendiri. Ganjil. Dan sering mempertanyakan kewarasanku.
Itu juga yang terjadi pada tokoh Amara dalam novel itu. Ia mempertanyakan sikapnya yang berubah dan bagaimana ia menjadi begitu khawatir dengan hal-hal kecil pada Yuki. Termasuk pikiran-pikirannya sendiri dan hakikatnya sendiri sebagai seorang wanita. Buku setebal 150 halaman ini, bukan buku yang wah bahasanya juga cenderung sehari-hari dan ringan. Tapi buku setebal itu, justru penuh bagi seseorang yang pernah mengalami hal ‘keras’ dalam momen-momen hening pengasuhan anak.
Baca juga: Cecilia Dan Malaikat, Percakapan Ringan Antara Penghuni Surga Dan Bumi!
Dan saat tiba di puncak buku. Aku menutupnya selama beberapa hari. Belum tuntas. Aku mengambil jeda.
Buku yang Senyap, Tapi Riuh Menyentuh Air Mata

Buku karangan Andina Dwifatma yang terbit tahun 2022 dari penerbit Gramedia ini memang halamannya tak banyak. Namun, tetap riuh bukan dari bahasanya, tapi dari sensasi emosinya yang kuat. Karyanya tidak menggelegar, tapi dalam secara bobot emosionalnya.
Ketika membaca halaman pertama dan tengah aku tidak terpantik terlalu dalam, tapi ketika memasuki halaman delapan puluh, sembilan puluh dan seterusnya luka lama yang awalnya tak kuingat perlahan muncul ke permukaan. Gejala somatik membuatku harus berhenti menjelang akhir sebelum akhirnya melanjutkan kembali.
Tapi dari novel ini justru aku merasa mendapat teman. Teman yang mengatakan bahwa aku tidak sendiri. Teman yang memelukku bahwa apa yang kurasakan itu (tentang perasaanku, tentang hakikat kewanitaanku, tentang tubuhku) valid. Aku bisa perlahan kembali menyentuh luka itu, sambil mengatakan ‘hai luka, kamu itu nyata dan sekarang mari kita sembuhkan perlahan ya’.
Invitasi dan Diskusi
Buku ini tidak akan menawarkan solusi atas masalah rumah tangga. Buku ini bisa menjadi gambaran bagaimana kehidupan rumah tangga yang ideal itu sebenarnya relatif. Tidak ada yang benar-benar sempurna dan tidak ada yang benar-benar stabil sesuai dengan yang kita harapkan. Bahkan, luka yang ada di dalam dinamika rumah tangga ini bisa sangat hening, tapi lebih keras dari gosip tetangga.
Baca juga: Kucing Bernama Dickens: Kisah Peliharaan dan Proses Penyembuhan
Bagi siapapun yang sedang membaca novel ini dan punya pengalaman serupa, buku ini bisa kalian baca pelan. Tidak perlu terburu-buru untuk menyelesaikannya. Buku Lebih Senyap dari Bisikan tidak akan menghakimimu tapi bisa menjadi teman yang akan berkata, “tidak apa jika kau merasakan itu.”
Gimana nih gengs! Ada yang sudah baca buku ini? Ataukan ada buku yang membuatmu mengambil jeda seperti yang kulakukan? Bisa dong kalian berbagi di kolom komentar buat kita diskusikan sama-sama. Eits! Tetap berkomentar dengan bijak ya, semata-mata biar jejak digitalmu tetap bersih.
Happy Thursday! Jya, matta ne~
Comment
Andina Dwifatma!
Salah satu bloger favoritkuuu
kalo ngga kliru, dia lagi ambil program doktoral, ya?
memang “bernyawa” bangettt tulisan² Andina.
kita yg lagi baca tuh kyk serasa digiring untuk ngobrol ama doi
Aaakkk, mupeeenggg buat baca buku ini jugaaa.
Serius mbakkk?? Mbak Andina tuh blogger??
Nggak nyangka banget dia blogger lho..
Hu’um aku lihat di IGnya sepertinya mbaknya ambil PhD.
Ini salah satu penulis perempuan yang kukagumi selain Ratih Kumala… 😀
Bagus bukunya. Dari ringkasan yang diceritakan mb Dinda kebayang isi bukunya relate banget sama kehidupan ibu-ibu muda, atau yang baru punya momongan ya. Hampir semua perempuan yang baru melahirkan akan merasakan tiba-tiba dunianya berubah. Bahkan banyak yang babyblues syndrom, atau trauma punya anak lagi. Aku sendiri ceritanya “kesundulan”. Jadi belum habis lelah yg satu, datang kelelahan lainnya. Kalau support system kurang, akan jadi luka batin buat si ibu.
Semoga kita tetap jadi perempuan dan ibu yang kuat ya mbaak.. Semangaat !!
Semua yang dirasakan oleh tokoh Amara di buku ini, sepertinya cukup relate dan dirasakan oleh istriku sih. (Kecuali nikah beda agama yha, hehehe). Karena istriku pun kurang lebih merasakan begitu banyak kecamuk pikiran dari selitingan omongan tak menyenangkan dari sejak awal menikah. Dibilang jangan maen mulu lah, jangan miara kucing nanti susah hamil lah, hadeuh. Padahal kosong cuma 8 bulan, tapi pusingnya seakan sudah kosong bertahun-tahun. Ditambah lahiran sesar, bikin dia makin tambah alasan untuk insecure.
Makanya aku sbg suami pun sebisa mungkins selalu bantu sih. Sampai akhirnya sekarang udah ada anak pun, sedari brojol aku udah belajar untuk mandiin, ganti popok dan berbagai hal lainnya. Biar kelak kalau dia lelah, ya aku bisa langsung sat set menggantikan semua pekerjaannya.
(Walaupun ya sebenarnya saya juga lelah ya bu. hahaha)
Aku agak takut membaca buku ini, takut tidak bisa mengendalikan emosi apalagi kalo sudah mengenai perasaan sesama wanita. Semoga kehadiran buku ini bisa jadi teman bagi para wanita yang saat ini memang dituntut sempurna
Aku paling benci dengan mulut2 yg merasa diri mereka Tuhan , dan mempertanyakan hal2 yg sebenarnya hak veto Tuhan. Kapan nikah, kapan punya anak, kapan nambah anak dll. Cuma Krn alasan kesopanan aja mereka belum menanyakan kapan meninggal… Walaupun sebenarnya pertanyaan2 sebelumnya juga bisa dibilang ga sopan.
Pertanyaan yg mungkin sepele atau mereka anggab basa basi, tp bisa melukai orang yg menerima. Jangan sampai aku tanpa sadar melakukan hal yg sama…
Buku yg bikin aku ambil jeda ada 1. Bahkan bukan jeda, tapi menyerah untuk membaca 🤣🤣. Itu buku karangan Hitler, Mein Kampf.
Sumpah aku udah berusahaaaaa banget bangettttt, utk pelan2 baca bukunya, berusaha memahami, tapi memang ga jelas mbaa 🤣🤣🤣. Awalnya aku pikir terjemahannya yg kacau. Tp setelah baca review buku itu, even buku dgn BHS aslinya pun tidak bisa dipahami 😭😅😅. Pertanyaan ku cuma 1, apa kabar si translator setelah menterjemahkan buku yg tebalnya ngalahin Alquran 🤣. Baik2 aja ga kepalanya 🤭
Kalau nikah tapi beda keyakinan lalu punya anak, ya jadi begini. Semoga kelak anaknya gak bingung ikut yg mana.
Sebagai newly wed memang ada banyak tantangan ya, apalagi kalau belum hamil. Tekanan bisa datang baik dari keluarga sendiri maupun lingkungan. Abaikan saja.
Hmm mungkin hampir semua wanita yang sudah menikah, pernah berada di fase yang dialami Amara. Pertanyaan pembuka seperti ‘sudah isi belum?’ seperti kalimat ‘biasa’ bagi si penanya. Tapi itu seperti sembilu bagi yang ditanya. Duh, kalau bisa hindari membuka percakapan dengan pertanyaan begini. Pikirin perasaan orang lain.
Saya belum membacanya mbak, dan sepertinya buku ini membuka lama ya.
Biasanya membaca nonfiksi yang membuat saya berhenti sejenak untuk membaca, tetapi jika fiksi kebayakan mengalir begitu saja, dan sengaja saya memilih yang ringan saja temanya
Baca ringkasan buku ini jadi keinget masa2 punya bayi dulu. Rasanya campur aduk banget tuh pas jadi ibu baru..ada rasa senang, kepo, galau jadi satu..trus nih gak enaknya kalau ada orang luar yang ngerecokin cara kita ngurus anak
Saya mau baca juga…bukunya menarik banget temanya kaak
Kebetulan daku belum membaca buku ini mba, 150 halaman yang beneran bikin emosi naik-turun juga ya. Secara nggak mudah kembali merasakan luka lama, selaku pejuang dua garis aku paham betul gimana berisiknya sanak-saudara dan para tetangga menanyakan isi perut yang sudah menikah. Terutama para perempuan, akan sangat kenyang dengan tekanan.
Rupanya kedua pemeran utama dalam buku pun mengalami banyak fase pelik. Harusnya buku ini dibaca sama orang-orang yang suka usil dan kepo sama hidup orang, agar rasa empatinya terasah hehehe. Setidaknya bisa membayangkan andai posisinya ditukar. Buat kita yang pernah ada di posisi ini, tentu mengingatkan bahwa setiap fase kehidupan selalu ada lika-likunya.
Tidak ada yang benar-benar sempurna dan tidak ada yang benar-benar stabil sesuai dengan yang kita harapkan << kalimat ini seribu persen setuju, karena setiap kita diberi hadiah tersendiri untuk mengaturnya.
Lalu,
Buku yang senyam, riuh air mata seperti memanggil semua kenangan tentang seseorang. Pernah bersama tujuh tahun, tanpa ada luka tetapi keadaan menempatkan perpisahan karena perbedaan iman.
Ah hidup memang unik dan terima kasih untuk mengulas bukunya. Tanpa membacanya sudah terasa hidup dalam pikiranku.
Walau novelnya gak tebal tapi isinya gak membuat menyesal karena sudah membacanya ya Kak. Ciamik pula bahasannya, terlebih urusan pertanyaan sensi, soal “kapan”. Entah mengapa selalu ada saja pertanyaan basa-basi seperti itu ya dalam kehidupan
Ah, paham mengapa kisah fiksi ini terasa begitu mengena. Kita sering merasa terwakili dengan kisah2 tsb, terlebih ketika kita sendiri mempertanyakan, apakah wajar kita merasakan hal yg sepertinya jarang dibicarakan orang lain?
Sebenarnya yang membuat masalah ini runyam bukan diri kita, tapi orang-orang sekitar. Terus menerjang, bagaikan ombak yang terus menerjang batu karang. Akhirnya bolong juga. Semua diurusi dari masih lajang. Sudah punya pacar belum? Kapan nikah? Kapan punya anak? Kapan nambah anak terus tak ada habisnya.
Termasuk Masalah momongan adalah hal sensitif bagi seorang perempuan yang kodratnya Dnegan melahirkan dan menjadi seorang ibu.
Buku dengan genre begini biasanya bikin aku ke-triggered. Padahal bisa sangat relate ya, tapi justru karena ceritanya kadang terlalu dekat denganku jadinya kayak.. oh my, nggak di dunia nyata nggak di bacaan, kok dikelilingi problematika ginian semua? Huhu…
Tapi sebetulnya kalau sudah dicoba bisa larut juga sih, lagi-lagi penyebabnya karena relate, jadi bisa memahami isi cerita dengan cepat. Hmm, isu anak memang sensitif bagi yang belum, bahkan yang sudah punya anak sekalipun.
kehidupan tokoh Amara mungkin bisa sekilas mirip seperti baby blues ya mbak
ada kalanya hati senang, melihat orang lain menjenguk baby pastinya juga seneng. Tapi beban pikiran, hatii dari seorang ibu yang baru melahirkan bisa aja berkecamuk kesana kemari.
Kita hidup dengan jugment sekitar.
Dan secara gak sadar, nilai itu juga kita adopt untuk nge-judge orang lain melalui komentar tangan julid melalui medsos.
Suka sebel karena julidnya tampak nyata!!
Dan itu membuat pikiran pembaca ikutan kotor.
Semoga dengan membaca buku novel Lebih Senyap dari Bisikan, kita bisa sedikit demi sedikit mengubah perspektif hidup kita untuk gak terlalu banyak ikut campur dan mempertanyakan yang gak ada dalam hidup orang lain.
Gak sadar, kita jadi mengolok-olok Tuhan atas takdirnya.
Wuaaahh pertama lihat cover-nya simple tetapi menarik. Judulnya juga agak2 misterius dan mengundang buat dibaca nih 😀
Langsung dikasi konflik pernikahan beda agama yaa. Emang sih kasian anaknya jadinya huhu. Jujur aku lebih respek sama mereka yang beda agama lalu salah satu masuk agama pasangannya aja, terserah agama yg mana, untuk kemudian anak2nya bisa dididik dengan ajaran2 yang sama.
Soalnya udah sering kejadian di sirkelku anak2 yang kebingungan mau berkiblat ke mana krn masalah ini.
Hmmm apa di cerita itu alasan Tuhan kasi jeda dulu jangan langsung dikasi momongan biar mereka nyatuin visi dulu kali ya #sokteu =))
Tapi pada akhirnya mereka punya baby yaa, namjun justru segala konflik dimulai juga makin intens.
Penasaran endingnya gimana hehe. Aku jadi pengen nyari bukunya deh nanti mbak. Thank you ya info bukunya 😀
Kadang sebenarnya orang nanya nggak bermaksud menyakiti ya
Mereka hanya peduli dengan cara yang tidak tepat
Setidaknya baca buku ini bisa sejenak berpikir bahwa tidak sendirian mengalami luka yang begitu dalam
Masalah rumah tangga bukan seharusnya tidak ada sebab hidup ketika tak ada masalah itu juga tak normal
Sebab hidup itu sendiri pun sudah sebuah “masalah” karena dipergunakan untuk benar-benar menjadi manusia yang siap kembali atau sebaliknya
Amira tidak sendiri, jadi ibu itu proses yang tidak gampang, tetapi sayangnya tidak ada sekolah menjadi ibu ya, berat lho
Butuh support system yang bagus, terutama suami, tapi kalau suami ga peduli justru semakin berat bebannya
Seriously pengen baca bukunya, berasa curahan hatinya
23 Responses