Home / Jendela

Judul yang Penuh Harapan Tanpa Jaminan Realita

Senjahari.com - 25/07/2025

Cognitive Ease

Penulis : Dinda Pranata

Pagi itu aroma kopi menyeruak di atas meja menemani coffee break di pukul sembilan pagi. Di sekitarku, suara klak-klik dari tuts keybord berbunyi bersamaan dengan suara kringg dari telepon yang tak sempat diangkat. Semua sibuk.

Ruanganku seluas seratus meter persegi itu dengan lebih dari sepuluh karyawan dari berbagai devisi, berkumpul jadi satu. Mengamati mereka satu demi satu, dengan berbagai aktivitas dan pekerjaannya. Mataku kembali menatap layar laptop. Cukup lama. Bola mataku mengamati satu judul besar isu sosial di depanku.

Kedipan pertama aku tertegun dan pada kedipan kelima otakku terasa dipukul. Keras. Menoyor isi kepala sendiri. Judul semacam itu seringkali mengaburkan bagaimana realita bekerja. “Jodi!” seseorang memanggilku dari arah belakang. Pak Manager. Aku bangkit. Meski enggan meninggalkan kopiku, tapi aku tahu ini adalah realita.

Di balik Kesederhanaan Judul, Ada Keruwetan Realita yang Tak Berjudul

“Katanya lulusan IT bisa cepet dapat kerja! Boong banget!” seru Antok, “ini buktinya aku. Sudah lima tahun lulus dari universitas bergengsi tapi sampai sekarang cuma kerja untuk dipanggil wawancara aja.” Pria yang usianya hampir kepala tiga itu, memandangi kopi hitamnya. Rasanya nyaris sama dengan hidupnya yang serabutan. Berkendara kesana-kemari dengan stuker buntut tahun 2011 sebagai ojek online.

“Kok bisa ente, belum dapet kerja. Padahal ane baca banyak berita, justru lulusan IT kayak ente banyak yang cari. Apa jangan-jangan ente terlalu pilih-pilih?” tanya Pak Mahmud yang sama-sama ojek online. Usianya hampir sama dengan bapaknya di kampung, yang seorang petani desa.

Baca juga: Beli Mobil Tapi Garasi Nihil

“Bukan pilih-pilih, Pak,” sanggahnya, “aku ini sudah melamar banyak perusahaan dari yang besar sampai yang rintisan. Tapi, ya … tetep saja kalah saing sama para pelamar lain,” kata Antok. Ia merubah posisi duduknya. “Bayangin saja, pak. Satu kursi staff direbutin sama ratusan calon karyawan. Aku yang lulusan lama, pasti kalah lah sama lulusan yang masih kinyis-kinyis (baru).” Ia menghela nafas panjang.

“Lha, berarti judul beritanya boong dong kalau gitu?!” kata Pak Mahmud sambil memukul meja warung kopi itu.

Antok cuma menggeleng. “Aku cuma berharap bisa memperbaiki keadaan, Pak. Kasihan bapak di kampung,” jawabnya lirih. Mungkin ia merasa tertipu dengan judul berita itu. Judul sederhana dan memikat, tapi sering kali tak mewakili realita di lapangan.

Rasanya warung kopi berdinding bambu itu terlalu ramai, meski hanya dikunjungi segelintir orang dengan profesi yang sama.

Cognitive Ease: Penyederhanaan yang Menjanjikan, Seperti Lumpur Hisap Tak Berdasar

Ilustrasi Cognitive Ease Senja Hari

Ruang BK (Bimbingan Konseling) terlihat sepi. Pukul satu siang, Yudi duduk di sofa empuk dalam ruangan ber-AC itu. Punggungnya dingin. Tapi hatinya lebih dingin. Urat syarafnya tak sabar, ingin mengutarakan keinginannya pada guru BK. Pak Yayak.

Baca juga: Berdiri Seperti Pahlawan, Isi Kepala Jadi Sorotan

Akhirnya, Pak Yayak datang sambil membawa segelas teh hangat. “Jadi kamu sudah memutuskan mau ambil jurusan apa, Le?” tanyanya pelan. “Saya ingin mengambil jurusan IT!” sahutnya mantap. Yudi menunjukkan salah satu artikel yang ia baca.

Judul beritanya tercetak tebal dengan jumlah share yang sangat menggiurkan seribu tujuh belas kali. Tapi Pak Yayak hanya mengerutkan dahi. Ganjil. “Kamu ambil keputusan karena judul berita ini?” tanya beliau. Yudi mengangguk. Ia belum mencari tahu lebih dalam tentang jurusan itu. Belum tahu apa saja materinya, apalagi tantangannya.

Ada rasa yang janggal ketika Yudi melihat ekspresi Pak Yayak. “Aneh ya, Pak?” tanya Yudi. Pak Yayak menggeleng. Lalu, menghela nafas.

Nada suaranya rendah tapi terlihat bahwa apa yang disampaikan guru itu penting. “Apa kamu sudah mencari tahu lebih dalam tentang jurusan IT itu?” Mendengar pertanyaan Pak Yayak, si Yudi hanya menggeleng.

“Itu namanya Cognitive Ease. Kadang otak manusia tidak suka hal yang rumit. Ketika ada satu judul dengan kata ‘mudah’, ‘paling’ atau ‘cepat’ kita jadi mudah ikut arus dan percaya, tanpa bertanya lebih jauh tentang kebenarannya,” kata Pak Yayak kemudian. “Begitulah kata Daniel Kahneman. Banyak orang yang mudah percaya dengan judul yang menjanjikan seperti itu, yang seringkali tidak mewakili keadaan di lapangan. Bapak tidak mau, kamu jadi salah jurusan hanya karena kamu tak menggali lebih banyak,” imbuh guru berkaca mata itu.

Baca juga: Diskusi Sehat Bubar, Anggota Barbar

“Tapi Pak, saya takut nanti tidak bisa kuliah,” Yudi tampak kalut. Matanya berkerut tanpa kekhawatiran khas anak muda. Ingin segera. Mudah mengikuti adrenalinnya. Pak Yayak meyakinkah bahwa ia masih bisa kuliah, “tak apa terlambat tapi asal yakin,” begitu katanya.

Yudi mengangguk. Anak itu seperti membaca pengalaman dari mata gurunya.

Variabel Realita yang Tak Pernah Bicara

Satu kilo dari sebuah SMA Negeri, seorang bapak sedang termenung memandangi ayam bangkoknya yang jarang berkokok lagi. Entah kenapa, begitu senyap, bahkan di siang hari itu. “Jago … jago …,” panggil bapak Kusno di depan teras. “Kok kamu nggak mau lagi berkokok. Rumah ini jadi sepi,” katanya lagi sambil memandangi kurungan besar berkubah berwarna hitam.

Ayam itu hanya memainkan kepalanya ke kanan dan ke kiri pelan. Mirip gerakan patah-patah. Seperti patah hati Pak Kusno tentang anak lanangnya. “Apa kamu juga marah sama bapak?” tanya Pak Kusno. Ia menghela nafasnya lagi.

“Nggak kamu, nggak Ucok, ya sama-sama diam sama bapak,” katanya menatap daun-daun mangga yang bergerak mengikuti angin, “seandainya bapak nggak maksa Ucok buat ambil jurusan yang kata media itu gampang cari kerja, mungkin sekarang dia udah lulus dan bekerja. Nggak luntang-lantung kayak sekarang. Kuliah aras-arasen, hobinya balap liar di jalan raya tengah malam.”

Baca juga: Yang Dilihat Postingan, Yang Dihakimi Kehidupan

Namun anehnya ayam bangkok berkokok nyaring, seperti mengiyakan keluhan si bapak itu. Pak Kusno mengangkat alisnya. Matanya melotot, terkejut oleh kokok si jago. “Tuh kan, kamu juga menyalahkan bapak to,” kata Pak Kusno.

Harusnya aku itu tidak menelan mentah-mentah judul berita seperti makan lalapan. Aku terpengaruh dan terjerumus fenomena cognitive ease. Kadang ada saja realita yang sengaja tak bicara di dalam berita tersebut. Kayak contohnya ketimpangan lulusan IT dengan banyaknya lapangan kerja sampai tekanan mental atas ekspektasi masa depan. Ah, berita yang terlalu manis untuk menjadi kenyataan,” keluh Pak Kusno lagi.

Pria yang usianya hampir kepala tujuh itu, tak menyangka akan diporak-porandakan realita. Judul berita yang dibacanya memang terdengar manis, tapi lupa menyebutkan satu hal: kadang hidup itu tak segampang judul besar di headline.

Sederhana yang Manis, Jalan yang Tak Lurus

Puluhan kilometer dari warung langganan Antok, sekolah Yudi atau rumah Pak Kusno, gedung tinggi berlantai dua puluh berdiri di tengah kota. Mataku menatap ke arah jalan. Di lantai empat belas dari gedung itu, sebuah perusahaan di bidang IT tengah sibuk. Dering telepon tak henti berdering dari satu meja ke meja lain. Mengeluhkan layanan dengan emosi.

Beberapa ratus meter dari ruangan yang sibuk kulanjutkan menikmati seduhan kopi yang mulai mendingin. Terjeda panggilan atasan atas komplain software-nya yang ngambek di tengah jalan. Dari lantai ke empat belas itu aku bisa melihat betapa kecil sesuatu yang bergerak di bawahnya.

Baca juga: Ketahuan Salah, Ngeles Biar Lolos Dari Masalah!

Pikiranku masih terpaku pada judul headline besar yang dibacanya pagi tadi. Membelai lembut rasa idealisku untuk dijatuhkannya kembali ke realita. “IT memang dibutuhkan di era digital, tapi urusan mudah mencari pekerjaan itu perkara lain,” kataku sambil menatap benda-benda kecil di bawah jendelanya.

“Mereka yang menyederhanakan, melebarkan fenomena cognitive ease. Seringkali pembuat berita tak melihat banyaknya penolakan lamaran yang sudah diletakkan. Juga, tak melihat berapa banyak malam yang harus dihabiskan oleh mereka yang studi. Judul manis itu seperti memberi harapan muluk.” Kusunggingkan senyum pahit. Seperti kopi hitamku. Aku melirik name tag yang terpasang di leher. Jodi-Software Enginger. Bunyi huruf yang tertera di sana.

“Tak masalah menjelaskan dengan cara lebih mudah. Tapi, tidak perlu juga memotong realitas demi sebuah klik semata.” Aku menyudahi renungan siang itu. Menyesap kopi. Meremas cangkir kertasnya. Lalu, membuangnya di tempat sampah.

Gimana nih gengs tentang cerita fenomena cognitive ease-nya? Sering nggak menemukan tulisan atau artikel yang menggundang klik dengan judul yang nyaris sama dengan cerita di atas? Bisa dong berbagi insight kalian di kolom komentar. Apapun komentar kalian, yuk bijak untuk berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan. Ya, semata-mata biar jejak kalian tetap bersih.

Have a nice day! Jya, mata ne~~

Source:

Stadler, Matthias, et al. “Cognitive Ease at a Cost: LLMs Reduce Mental Effort but Compromise Depth in Student Scientific Inquiry.” Computers in Human Behavior, Elsevier BV, Nov. 2024, p. 108386. Crossref, doi:10.1016/j.chb.2024.108386.

https://medium.com/@wealthyliving/decoding-human-thought-a-summary-of-thinking-fast-and-slow-858723bf94e2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment